x

Iuran BPJS Kesehatan Diusulkan Naik 43 Persen

Iklan

Yessi Crosita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pasien Memang Tak Akan Pernah Setara dengan Dokter

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial alias BPJS merupakan revolusi besar di bidang asuransi sosial, untuk ketenagakerjaan dan untuk kesehatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjelang tahun baru 2016, ada dua orang kawan menulis status di media sosial. Keduanya kawan baik saya yang sama-sama aktif di kegiatan sosial, kritis dan pendidikannya baik, bahkan di atas rata-rata. Keduanya juga kira-kira punya tingkat kehidupan sosial ekonomi yang sama, termasuk kelas menengah. Tidak terlalu kaya, namun juga tidak kekurangan. Di tengah-tengahlah. Kebetulan, keduanya menulis status tentang situasi yang hampir sama: ada kerabat yang sakit dan harus dirawat di rumah sakit.

Yang satu, sebut saja Mawar (jangan sampai dia tahu kalau saya menulis tentang statusnya di sini), membawa kerabatnya ke sebuah rumah sakit swasta yang cukup ternama di kawasan Jabodetabek. Tentu, dia berpikir rumah sakit swasta ini akan memberikan pelayanan yang baik. Namanya juga rumah sakit swasta, tentu asumsi kita, pelayanannya akan lebih baik ketimbang rumah sakit negeri alias milik pemerintah. Eh, ternyata dia salah. Lewat statusnya di media sosial, dia mengeluh panjang lebar soal biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit swasta itu yang harganya selangit. Mending kalau cuma mahal. Yang dia keluhkan adalah minimnya informasi dari pihak rumah sakit soal kenapa biaya sebesar itu harus dia keluarkan. Dia diperlakukan seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan hanya perlu membuka dompet dan menyerahkan berapa pun uang yang diminta. Pendeknya, dia kesal sampai ke ubun-ubun, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena kesembuhan kerabatnya ada di tangan para dokter di rumah sakit swasta itu.

Kawan kedua, sebut saja namanya Melati, punya pengalaman serupa tapi tak sama. Kerabatnya kebetulan juga sakit, di kota lain di Jawa Barat. Dia langsung membawa kerabatnya ke rumah sakit negeri, milik pemerintah di Bandung dan mendaftarkan pasien ini dengan kartu BPJS. Semua anggota keluarganya memang sudah lama dia daftarkan ke BPJS, selain skema asuransi kesehatan lain dari kantor tempatnya bekerja. Rupanya kawan ini percaya bahwa pengeluaran untuk pelayanan kesehatan itu harus disiapkan jauh-jauh hari dengan skema mencicil. Jangan sampai kaget dan tak punya uang ketika mendadak ada keharusan pergi ke dokter atau rumah sakit. Melati menulis status tentang bagaimana baiknya pelayanan kesehatan yang dia terima di rumah sakit negeri dengan biaya BPJS. Tentu, karena sudah rutin membayar premi setiap bulan, ketika dirawat dia tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Tidak gratis. Itu keliru. Yang benar, biaya kebutuhan pelayanan kesehatannya sudah dia bayar dengan mencicil setiap bulan lewat pembayaran premi BPJS.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu, ada faktor lain di kisah dua kawan saya yang tak bisa dikomparasikan begitu saja. Tapi, satu persoalan mendasar di sini adalah persepsi tentang pelayanan kesehatan. Mawar menganggap pelayanan kesehatan adalah komoditas yang seharusnya bisa dia beli ketika harganya cocok di kantong. Dia tak merasa perlu untuk ikut skema asuransi apapun, karena menganggap posisi pembeli pelayanan kesehatan alias pasien, setara dengan penjual alias rumah sakit dan dokter. Di sini kawan saya itu keliru. Dalam pelayanan kesehatan, pasien tidak pernah bisa sejajar dengan dokter, karena dia dalam posisi amat membutuhkan kesehatan dan kesembuhan. Dia tak akan pernah bisa menawar, mencari harga yang lebih cocok untuk pelayanan kesehatan yang dia terima. Kalau dia melakukan itu, belanja ke beberapa dokter sebelum membeli, kondisi kesehatannya bisa memburuk dan terlambat untuk ditangani.

Karena tidak setaranya posisi dokter dan pasien itu, kita membutuhkan pendamping, untuk mewakili kita, para pasien. Pendamping yang paling tepat adalah asuransi. Pihak asuransi akan memastikan kita mendapat pelayanan kesehatan yang kita butuhkan, dengan harga yang paling masuk akal, karena asuransilah yang akan mengeluarkan biaya. Dia berkepentingan menekan biaya pelayanan kesehatan menjadi serasional mungkin. Tapi bukankah asuransi juga bisa memperdaya kita? Karena itu dibutuhkan regulasi dan intervensi negara. Negara berkepentingan menjaga kesehatan warganya agar selalu produktif. Untuk itu, dibutuhkan skema asuransi kesehatan nasional, dimana warga yang kaya bisa mensubisidi yang ekonominya lemah. Itulah BPJS.

 

Tentu masih banyak ada kelemahan dari sistem BPJS. Pelayanannya perlu terus ditingkatkan. Harga paket pelayanan kesehatan yang dia bayarkan pada dokter dan rumah sakit perlu diperbarui agar dokter dan rumah sakit juga mendapat imbalan yang sepadan. Sistem pencegahan atau preventif dengan sistem kapitasi di puskesmas dan dokter keluarga perlu diperkuat agar tidak banyak pasien yang harus ke rumah sakit untuk fungsi kuratif. Tapi, fakta bahwa kita punya BPJS adalah sesuatu yang patut kita apresiasi. Tinggal kita mau memperkuatnya atau tidak.

 

Ikuti tulisan menarik Yessi Crosita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB