x

Iklan

Mohammad Yusron

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gerakan Perubahan, Kontra Hegemonik dan 'Kekitaan-isme'

Rebut wilayah hegemoni adalah tugas yang tidak mudah dan remeh temeh. Kelas hegemonik adalah kelas-kelas yang kokoh, berdiri bersama menuju perubahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, berapa butir elemen gerakan pengusung perubahan hingga hari ini. Dari ujung barat sampai ujung timur kian menjamur elemen gerakan perubahan. Mulai dari kelompok pekerja, petani, mahasiswa, seniman, agamawan, budayawan bahkan non-pemerintahan yang lainnya terbentuk secara organisasional. Akan tetapi, suara lirih dari dalam jurang penindasan masih berbunyi dan menanyakan – dimana dan apa yang kalian semua lakukan di saat proses penindasan terjadi?

Sekian kelompok gerakan perubahan wajib menjawab pertanyaan itu, apabila masih setia menyatakan dirinya sebagai pembebas dan perubah atas kondisi objektif struktur sosial yang carut marut adanya.

Sudah sering dibicarakan disana-sini bahwa elemen gerakan merupakan alat dongkrak kemajuan dari bawah ke atas. Berarti disini kita bisa katakan bahwasannya, keberpihakan mereka tanpa terkecuali pastilah disisi rakyat. Apa-apa yang itu merupakan kepentingan rakyat dan untuk hajat hidup orang banyak, yakini pasti disuarakan olehnya. Begitupun apa-apa yang tidak menguntungkan dan atau menindas rakyat banyak, adalah letupan amarah baginya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lantas apa sulitnya, sekian gerakan perubahan membawakan sajian berupa kesejahteraan dan perubahan bagi rakyat yang dipuja-pujanya? Kini bukan lagi ‘revolusi nasional’ terlebih dulu yang harus disegerakan. Kiranya yang paling tepat untuk selekasnya dilakukan tanpa mengulur waktu adalah ‘refleksi nasional’.

Hegemonik ‘Setan’ dan Tandingan

Tidak terbantahkan lagi, keberadaan kekuasaan yang berada di atas rakyat menghimpun daya upaya untuk mengamankan posisi dan citranya di mata rakyatnya. Dengan artian, ia harus tetap tidak pindah posisi dan perannya dalam memimpin sebuah negara.

Menggunjing posisi dan sifat negara untuk kali ini bukan suatu kedurhakaan yang baru. Sudah banyak yang terbang memperhatikan posisi dan sifat negara atas dan dari adanya rakyatnya sendiri, pula kelompok kepentingan dominan.

Dari pembacaan Hamza Alavi kita didekatkan pada sifat-sifat khusus negara – yang kenyataannya – ialah tidak semerta-merta menjadi alat dari kelompok kepentingan dominan. Berikut negara hanya sebatas arena pertentangan kelas tersendiri dimana elit-elit politik turut berebut ruang di tampuk pemerintahan negara. Ini merupakan upaya untuk bagaimana memiliki potensi akses yang berlebih terhadap kebutuhannya yang lain setelah kekuasaan. Hingga wajar, acap kali terlihat sikut-sikutan terjadi dalam arena politik di setiap ringnya.

Bertolak dari sifat kasaran negara diatas, bisa saja justifikasi terhadap negara adalah ia punya otonomi relatif di atas rakyatnya serta diseberang atau mungkin bahkan dibawah kelompok kepentingan dominan atau borjuis dalam bahasa marxian. Sekaligus, ia pula secara tegas mempunyai alat untuk mempercepat ataupun memperlambat kemauannya dengan imperatif strukturalnya. Dua hal ihwal ini sebenarnya sudah cukup, untuk bagaimana negara mampu mengkondisikan tempat dan posisinya di mata rakyat dan kelompok kepentingan. Akan tetapi, kemerasaan kurang ekstrim membuatnya (negara) memasang hegemonik-hegemonik di setiap relung kehidupan rakyatnya.

Sejak dalam kebutuhan mendasarnya, rakyat telah di perdaya hingga sekian luas alam sadarnya diselimuti kabut ketidaksadaran. Dibantu secara massif terutama melalui dan dengan pendidikan serta transformasi informasi dan pengetahuan di media, sekolah maupun perguruan tingginya.

Didalam pendidikan, negara memaksa pendidikan untuk terasing dari dirinya sendiri bahkan sejak dalam konsepsi apalagi ideologinya. Hingga wajar, kerap kita lihat gerakan perubahan pula sibuk mengupayakan diri untuk merubah secara total pendidikan yang ada hari ini.

Upaya perubahan yang perlu didesakkan kepada wilayah pendidikan bukan lain adalah untuk mewujudkan satu kekuatan baru yang itu berupa ‘hegemonik tandingan’. Sebab diyakini, hegemonik setan dari pihak-pihak berwatak setan pula hanya bisa dilawan dengan hegemonik tandingan atau dalam istilah gramscian disebut ‘counter hegemonik’. Namun hanya saja, kekuatan yang dimaksud sekaligus di nanti-nantikan itu belum diketemukan hingga hari ini. Hingga sekian persoalan struktural bahkan didalam pendidikan dan pengetahuan sendiri belum juga teratasi.

Kekitaanisme Kurang Berada

Belajar dari sejarah; sumpah pemuda, perjuangan menggapai dan mempertahankan kemerdekaan dan penggulingan Soeharto, kiranya ada satu bahasan yang perlu dan mau tidak mau harus direfleksikan bersama oleh elemen-elemen gerakan perubahan. Keberagaman yang niscaya tersemai ini bukan kemudian menggiring kepada suatu perselisihan kekanak-kanakan dan atau perpecahan. Sentimental antar sesama elemen gerakan perubahan, saling tuding menuding akibat adanya kesalahan, serta diskursus yang tidak menyatukan pandangan tidak bedanya dengan perselisihan kekanak-kanakan yang justru membawakan kebesaran elemen gerakan perubahan kepada perpecahan hingga menjadi serpihan-serpihan kecil sejarah.

Sudah barang tentu, kesemua keberhasilan generasi (gerakan perubahan) yang tercatat dalam sejarah tidak lepas dari paham ‘kekitaanisme’. Dimana paham tersebutlah yang mengantarkan elemen-elemen yang beragam menuju kekuatan besar yang mampu menandingi kekuatan daya upaya dari negara dan kelompok kepentingan dominan. Jika seandainya ‘kekitaanisme’ diakui sudah beradanya, maka kemerasa-cukupan diri atas keberadaannya sudah pasti salah fatal. Keberadaannya harus senantiasa ditingkatkan hingga menjadi sebuah tank tempur besar dengan kekuatan besarnya yang mampu mengamburadulkan proses penindasan diatas massa rakyat. Dari logika ekonomi-korporasi menuju kelas hegemonik. Dan itu tidak tanpa menyertakan rakyat sebagai pengemudinya pula. Untuk rakyat tertindas, oleh rakyat tertindas dan berdasarkan konteks ketertindasannya masing-masing. Tank hanya butuh satu. Tetapi moncong tembakan lebih daripada hanya satu.

*Oleh : M. Ma’sum Yusron

Ikuti tulisan menarik Mohammad Yusron lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler