x

Ananda Badudu bersama Rara Sekar Banada Neira tampil dalam peluncuran cd dan buku Prison Songs: Nyanyian Yang Dibungkam, di Jakarta, 21 Agustus 2015. Lagu-lagu yang dinyanyikan merupakan karya para tahanan politik 1965 dan Orba. Tempo/Dian Triyuli Ha

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yus Badudu dalam Ingatan Ananda Badudu

Gurunya guru Bahasa Indonesia, J.S. Badudu atau Yus Badudu dalam ingatan sang cucu, Ananda Badudu, kerap 'mengunyah' kamus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kabar itu menyentak Sabtu lalu sebelum melewati puncak malam. Sang guru Bahasa Indonesia, Jusuf Sjarif Badudu atau Yus Badudu wafat pada Sabtu, 12 Maret 2016 pada pukul 22.10. Setengah jam setelahnya, kabar itu dihantar oleh cucunya ketujuh, Ananda Badudu di media sosial. Ananda, personel band Banda Neira mengabarkan bahwa popanya –demikian ia memanggil sang kakek- berpulang dalam usia 89 tahun di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat karena komplikasi penyakit.

Beberapa jam kemudian, kabar itu menyebar secara viral. Semua merasa berduka dan berutang ilmu kepada sosok besar dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Ananda, yang menjadi juru bicara keluarga,  membuat siaran pers yang menjelaskan aktivitas popa sepanjang hidupnya mengabdikan diri dalam kesusastraan dan Bahasa Indonesia. Ucapan duka dan terima kasih dialamatkan kepada Yus yang sudah ditinggal wafat istrinya, Eva Henrietta Alma Koroh pada 16 Januari lalu.

Ananda menuturkan Yus sudah beberapa hari terakhir dirawat inap di rumah sakit karena serangan stroke. “Sudah sepuluh tahun terakhir popa terserang stroke. Itu yang menyebabkan kesehatan popa terus turun,” kata Badudu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yus Badudu lahir di Gorontalo pada 19 Maret 1926. Sepanjang usianya, Yus terus menyalakan api untuk kemajuan Bahasa Indonesia. Yus selalu mengajarkan Bahasa Indonesia meski tengah berada di rumah. Meski tak terlalu kaku, Ananda menyebut kakeknya adalah polisi bahasa di rumah keluarga besar di Bandung.

“Misalnya, ketika saya bilang, ‘Bikinin,’ popa yang mendengar lalu mengoreksi, ‘yang benar bikinkan’. Tapi gak sering karena popa kan memang jarang berbicara di rumah,” kata Ananda.

Ananda menuturkan, meski ia berbeda rumah dengan popanya yang tinggal di Bandung, ia kerap menyempatkan waktu menengok sang guru besar itu. Perjumpaan berkala ke rumah popanya ini untuk ‘melestarikan’ tradisi meriung di ruang tengah di rumah sang guru besar itu.

“Waktu saya kecil dulu, 20 tahun lalu, sering ada diskusi saat Natal dan Lebaran. Popa mendongeng banyak hal dengan tokohnya Abu Nawas,” kata Ananda.

Menurut Ananda, ‘mengunyah’ kamus menjadi makanan sehari-hari Yus dan menantunya yang bernama Murwidi Udi Narwono. “Oom Murwidi ini kebetulan satu rumah dengan popa dan punya bisnis penerbitan. Mereka paling sering ngobrol soal kamus  bahasa.”

Yus, kata Ananda, gemar membuat kamus. Yang paling monumental adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dirilis oleh penerbit Sinar Harapan pada 1994. KUBI menjadi pegangan penulisan diktat, seminar, serta menjadi bahasa tutur resmi di perkuliahan. KUBI merupakan hasil revisi dari Kamus Modern Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Sutan Mohammad Zain pada 1952.

Karya-karya lain yang sampai dicetak puluhan kali adalah buku Sari Kesusastraan Indonesia 1-2. Buku ini sudah dicetak hingga 49 kali selama 38 tahun dari 1957-1995.

Dalam ingatan Ananda, setiap ‘proyek’ membuat kamus, kegiatan Yus adalah mengkliping koran. Guru besar pertama di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran ini  gemar menangkap kata-kata yang hidup di masyarakat. “Saat itu masih menggunakan media cetak, sehingga harus mengkliping koran. Kata-kata baru yang baru didengar popa dimasukkan dalam kamus.”

Tapi, kegiatan mengkliping koran ini mulai jauh berkurang pada 2000 pertengahan. “Sejak 2004-2005, popa terserang stroke yang menyerang ingatannya sehingga susah mengingat dan ngobrol. Ingatannya terus menurun sampai tidak lagi mengenal anak dan cucunya,” ujar Ananda sedih.

Meski tak lagi mampu mengingat keturunannya hingga wafat, Ananda merasakan tinggalan popa yang besar. “Popa selalu mengajarkan bahwa bahasa itu hidup dan berkembang.” Ajaran ini terpatri kuat dalam ingatannya.

“Ini mempengaruhi gaya bertutur saya di media sosial dan di Banda Neira. Saya berusaha untuk selalu bangga berbahasa Indonesia. Tidak pernah tergoda untuk berbahasa Inggris,” kata Ananda.

Kepada Yus, kita sudah selayaknya berterima kasih untuk pelajaran agar tidak berbahasa sesat.

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu