Kutulis sajak ini buat Yusril Ihza Mahendra, orang yang kuhormati dan fasih berkata-kata. Aku terkejut saat kubaca judul berita "Yusril: Kapasitas Walikota Kok Jadi Presiden" (tempo.co 25 Maret 2016). Kutulis sajak ini dengan rasa hormatku.
.......
cintai pemimpinmu jangan jadikan Tuhan
hormati dia jangan nistakan
pemimpinmu jawaban Tuhan mu
atas tangis doa harapan dan luka lakumu
yang engkau panjatkan di dingin sunyi
yang engkau simpan di bilik-bililk sepi
pemimpinmu wajah negerimu
dia lahir karena hasrat dan nafsu
yang terlempar di jalan-jalan
dalam amuk tawa dan hujatan
pemimpinmu perekat negerimu
pembimbing pengayom sahabat sejati
taati dia itu kewajibanmu
taati dia jangan lebihi hukum negeri
cintai pemimpinmu jangan jadikan Tuhan
pergauli dia jangan biarkan kesepian
pemimpinmu manusia sepertimu
pahami dia pahami dirimu
dia punya hasrat dia punya nafsu
dia punya cinta dia punya cemburu
pemimpinmu bagian jiwamu
yang engkau lepas saat merindu
dia kuat karena cintamu
dia lemah karena amukmu
cintai pemimpinmu jangan jadikan Tuhan
belajarlah padanya dengan cinta dan penghormatan
pemimpinmu manusia luar biasa
ia membawa asa berjuta manusia
ia rela berjalan memikul beban
yang engkau timpakan dalam kegembiraan
pemimpinmu manusia luar biasa
ia terus bekerja bekerja dan bekerja
tetap tersenyum walau dicibir dan dihina
tetap tersenyum walau difitnah dan diadu domba
cintai pemimpinmu jangan jadikan Tuhan
dekati dia jangan acuhkan
pemimpinmu manusia biasa
bisa menangis bisa tertawa
jangat takut seribu pasukan
sapalah dia dengan tawa dan kesedihan
cintai pemimpinmu jangan jadikan Tuhan
ingatkan dia jika berbuat kesalahan
pemimpinmu manusia biasa
bisa tergoda harta dan kuasa
jangan takut seribu pasukan
ingatkan dia dengan cinta dan kebaikan
(nasehat untuk buyung dan upik)
...........
Bung Yusril, membicarakan pemimpin itu gampang-gampang susah. Gampang mengatakannya susah memahaminya. Mudah sekali mengatakan pemimpin A, B, atau C melakukan begini dan begitu, harusnya begini dan begitu. Sesekali, perkataan itu diselingi makian dan hujatan sehingga mengundang perhatian. Namun, seringkali kita tak (mau) bisa memahami siapa dan mengapa pemimpin kita. Seringkali pula, kita memujanya seperti dewa atau Tuhan yang jauh di langit kebenaran.
Sajak di atas adalah mengenai pemimpin dan bagaimana kita mencoba memahaminya. Dia bukan tentang penguasa yang kini hiruk pikuk dalam dunia perpolitikan. Membicarakan pemimpin kini memang tak bisa lepas dari soal politik. Namun, saya sama sekali tak punya niatan untuk meniru ucapan Jhon F Kenedy, “politik itu kotor dan biar puisi yang membersihkannya.”
Perlu sapu yang lebih kekar, tegar, dan kasar untuk membersihkan kotoran itu. Sementara, sajak itu hanyalah nasihat kecil untuk Buyung dan Upik, yang mungkin terlalu lembut dan lemah untuk hati serta gendang telinga yang mengeras. Untuk membaca, mendengar, dan memahami puisi perlu hati yang jernih. Tapi jangan khawatir, setelah seribu puisi diperdengarkan, mungkin hati yang membatu itu akan berlubang juga, seperti tertimpa tetesan air berjuta tahun.
Bung Yusril, puisi di atas adalah tentang pemimpin dan bukan tentang penguasa. Dua jenis manusia yang sering kita campur-adukkan. Pemimpin adalah orang yang bisa memimpin, dengan atau tanpa kuasa. Dia lahir karena kemurahan Tuhan setelah mendengar doa-doa kita, harapan kita, luka hati, tingkah laku kita. Pemimpin itu dilahirkan dan pendidikan melengkapinya. Pemimpin adalah kebaikan bagi bangsanya.
Penguasa ialah orang yang memegang kuasa. Kuasa yang yang didapat bisa dengan bermacam cara: politik, warisan, atau mungkin kudeta. Penguasa tak selalu bisa jadi pemimpin karena tak ada kewajiban hati untuk menjalankannya. Kuasa yang dipegangnya itulah yang mengaturnya. Bisa jadi, penguasa hanya sekedar robot dari kekuasaan yang dipegangnya.
Karena dilahirkan, kehadiran pemimpin sudah bisa dilihat sedari awal, dari lingkungan bermain hingga ke tingkat negara. Kehadirannya membawa kesejukan dan manfaat bagi orang di sekitarnya. Kehadirannya membawa pengayoman, keadilan, dan persatuan bagi bangsanya. Pendidikan yang diterimanya, akan melengkapi apa yang telah Tuhan karuniakan kepadanya.
Penguasa tak punya keistimewaan semacam itu. Kekuasaan yang dipegangnya, menentukan seperti apa dia. Ketika dia memegang kekuasaan ekonomi jadilah dia penguasa ekonomi, ketika memegang kekuasaan politik jadilah dia penguasa politik, ketika memegang kekuasaan guru jadilah dia guru yang berkuasa. Kekuasaan yang dipegangnya itulah yang menentukan jati dirinya. Bung
Bung Yusri, dalam pandangan Jawa, pemimpin itu menempati posisi mulia. Ki Hajar Dewantoro menggambarkannya dengan kalimat yang indah, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani.” Suatu gambaran ideal pemimpin yang harus memberi contoh dan teladan, melakukan dan mendorong kebaikan. Pemimpin adalah panutan, pengayom, dan motivator bagi yang dipimpinnya.
Mengacu pada kalimat indah itu, penguasa digambarnya sebaliknya. “Ing ngarso mumpung kuasa, ing madyo mbangun angkoro (griyo), tut wuri anggrogoti.” Plesetan ini tentu berangkat dari realitas yang ada, bahwa negeri ini mulai banyak dipegang para penguasa, dengan sifat aji mumpung, memupuk harta, dan berperilaku koruptif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘memimpin’ di antaranya diartikan memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun,menunjukkan jalan, dsb), membimbing, juga memandu, dan melatih (mendidik, mengajar, dsb). Mengacu pada pengetian ini, pemimpin bisa diartikan orang yang menuntun, menunjukkan jalan, membimbing, memandu, juga mendidik yang dipimpinnya.
Hasil kepemimpinannya tentunya sesuai dengan apa yang dilakukannya. Namun, berdasar kata bimbing, didik, pandu yang lebih condon ke makna positif. Bimbingan, didikan, panduan jika dipaksakan berkonotasi negatif, lebih tepat disebut ‘penjerumusan’. Karena itu, hasil kepemimpinan sudah seharusnya berkonotasi positif. Dengan demikian, berlakulah kalimat indah Ki Hajar Dewantoro, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani.”
Kata ‘penguasa’ dalam KBBI, diartikan orang yang menguasai, orang yang berkuasa (untuk menyelenggarakan sesuatu, memerintah, dsb). Penguasa juga diartikan pemegang kekuasaan. Sementara kekuasaan di antaranya diartikan ‘kuasa’ (untuk mengurus, memerintah, dsb) kemampuan untuk menguasai pihak lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, kharisma, atau kekuatan fisik.
Jika dikaji lebih dalam, makna penguasa memang lebih garang daripada pemimpin. Ia mengandung makna menguasai atas yang lain berdasarkan kewenangan yang dipegangnya, termasuk kekuatan fisik. Ia juga menempatkan manusia dalam posisi ‘atas’ dan ‘bawah’ sesuai sifat kekuasaan yang bisa memaksa. Dengan demikian, penguasa tidak bisa serta merta disebut pemimpin karena sifat kuasa yang menentukan itu.
Pemimpin atau Penguasa?
Saat ini, kalau kita mau jujur, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin untuk kebaikan negeri ini. Saya tak mau terlibat dalam polemik apakah telah terjadi krisis kemimpinan. Ini karena banyak yang melontarkan pendapat itu justru sedang sibuk mengejar kekuasaan. Jadi bisa saja berlaku ungkapan, ”menepuk air di dulang, mata jua kena pacaknya”.
Para pengejar kekuasaan sering membingungkan kita. Mengemas isu dalam kalimat perjuangan, menjatuhkan yang lain hanya untuk menarik perhatian. Namun, setidaknya kita telah punya pegangan bahwa pemimpin itu memperlakukan jabatan sebagai amanah yang diperoleh dengan cara-cara yang baik, halal, dan berkepribadian. Mereka yang beragama tentu tahu makna tiga kata itu.
Kita memang membutuhkan lebih banyak pemimpin lagi agar warga negeri ini lebih terayomi; punya panutan, pelipur lara, serta pendorong di tengah himpitan kesulitan dan kesedihan. Kita butuh pemimpin yang punya hati dan bisa merasakan apa yang kita butuhkan; mau mendengarkan, mau melihat, dan mau instropeksi. Kita tak butuh orang yang membanggakan retorika, kekayaan, kekuasaan, keahlian, ke’ngganteng’an. Kita tak perlu kesombongan dan caci maki, kita perlu kerendah-hatian.
Namun, semua itu kembali ke pertanyaan, sudahkah kita memahami siapa pemimpin kita? Pemahaman ini akan menentukan wajah negeri ini. Jangan kultuskan karena dia juga manusia, jangan rendahkan karena ia manusia luar biasa. Namun, jangan pula keliru menyamakan pemimpin dan penguasa. Entah, Bung Yusril masuk golongan mana.
Teriring rasa hormat dari desa
Salam
Ikuti tulisan menarik mohammad mustain lainnya di sini.