x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Hidangan Menuju Langit

Bagaimana kita menikmati hidangan yang tak menggetarkan lidah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Beritahu aku apa yang kamu makan, dan akan kuberitahu siapa dirimu.”

--Jean Anthelme Brillat-Savarin

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suatu ketika, saya menunggu giliran untuk makan—bukan di rumah, tapi di tempat makan yang lumayan terkenal di Yogyakarta. Saya datang ke tempat ini sekedar untuk memenuhi rasa ingin tahu: apa yang membuat tempat makan ini dikunjungi begitu banyak orang sehingga harus mengantri untuk dapat giliran makan?

Apakah karena hidangannya betul-betul lezat ataukah lantaran suasana restoran yang bernuansa Jawa. Mengantri hingga satu jam untuk dipanggil dan boleh menempati tempat duduk merupakan pengalaman aneh. Saya sebenarnya bisa mencari tempat makan lain, tapi saya memaksakan diri untuk tetap menunggu.

Setelah dipanggil dan memperoleh tempat meja makan, saya masih menunggu lagi disodori menu—sekitar seperempat jam dan langsung membayar. Setengah jam kemudian, makanan dan minuman yang saya pesan baru diantar ke meja. Memang menghabiskan waktu, tapi saya tetap berusaha mencari sisi positifnya: belajar menahan lapar—ketika saya datang ke restoran ini lewat tengah hari, saya sudah dalam keadaan lapar.

Hidangan itu akhirnya datang ke meja saya. Sebelum menyantap, saya mencoba mencium aromanya dan menatap piring, dan saya merenung: “Inilah buah hasil kerja saya, inilah berkah yang dilimpahkan kepada saya.” Makan dan minum lebih dari sekedar urusan perut—melampaui yang ragawi hingga mencapai yang transenden.

Mengambil sesendok makanan dan menyuapi diri sendiri, mencecapi rasanya dan berusaha menemukan sensasinya. Entahlah, saya lantas bertanya-tanya: “Apa yang membuat tempat makan ini dikunjungi begitu banyak orang bila piring dan gelas itu tidak mengantarkan sensasi yang mengesankan?”

Bahkan, sensasi dalam menikmati hidangan seyogyanya dimulai sejak mencium aroma dan memandang penyajiannya apakah mengundang selera. “Kamu makan pertama kali dengan hidung dan matamu sebelum dengan mulut dan lidahmu,” begitu kata-kata yang saya ingat entah dari siapa. Aroma yang sedap mengundang hasrat dan memompa lapar semakin lapar.

Ketika semua indera itu tak menemukan sensasi luar biasa, makan mungkin terasa tidak betul-betul nikmat—namun saya lantas teringat, itu terjadi jika kita merasakannya secara ragawi semata. Saya berusaha terus berlatih cara menyantap yang berbeda namun mampu mengantarkan kita melampaui yang ragawi, sekalipun bila hidangan itu tak sanggup menggetarkan lidah.

Bagi sebagian orang, makan tidak selalu mampu melepaskannya dari lapar—bahkan, ketika makanan dan minuman itu mengundang keluar air liur lewat aroma, warna, kesegaran, dan rasa yang seakan tertangkap oleh mata (padahal penyajian hidangan sanggup menipu lidah). Bagi yang lain, segala atribut itu tidak begitu penting.

Kenyang atau belum, pada galibnya, berpulang kepada pikiran, kembali kepada bagaimana kita memandang makan dan minum: apakah untuk menutup lapar dan dahaga semata? Mengapa berhenti makan sebelum kenyang dianggap kesalihan? Akhirnya, saya meninggalkan tempat makan ini tanpa kenikmatan kuliner yang dapat dikenang, walau saya belajar lebih banyak perihal menahan lapar. (sumber ilustrasi: dieteticdirections.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB