x

Iklan

Muhammad Luthfi Aldila

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Reklamasi, Korupsi, dan Pilkada DKI

dari reklamasi berujung ke indikasi korupsi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dilahirkan dan dibesarkan di ibukota indonesia memang memberikan banyak keuntungan bagi saya. Tentu bukan keuntungan macam bisa mengunjungi lantai surga Alexis seperti yang acap disebut-sebut dalam konflik kalijodo yang lalu. Bukan. Tapi keberuntungan bahwa segala isu tentang jakarta merupakan isu terseksi yang selalu bisa dijadikan pemantik diskusi di setiap warung kopi. Meskipun sudah beberapa tahun belakangan ini saya tidak merasakan persis bagaimana perkembangan demi perkembangan ibukota secara langsung, tetapi saya bisa mengamati bagaimana perkembangan terkini ibukota melalui headline news media kenamaan nasional. Jangankan persoalan dengan skala besar, persoalan yang benar-benar-sangat sepele dan terkategori sebagai junk news pun saya yakin akan tetap dijadikan headline news oleh media-media nasional.

Seolah setiap jengkal dari jakarta merupakan bahan berita yang layak untuk disajikan kepada publik nasional. Belum jika berbicara mengenai media online yang biasa merujuk status FB, Path, dsb sebagai berita dengan judul yang ‘fenomenal’ dan sudah bisa ditebak isinya. Sudah lelah saya melakukan hela-hembus napas panjang atas kelakuan media-media demikian. Hingga tidak heran sejak lama istilah satir “jakarta adalah berita nasional” tetap eksis. Tapi sekarang saya sedang tidak ingin menulis panjang lebar tentang media-media seperti ini. Saya bukan ahli yang bisa berkomentar lebih dalam layaknya narasumber-narasumber yang ada di Indonesia Lawyer Club maupun berkomentar satir nan cerdas ala-ala mojok dot co, beritagar dot id atau banyolan pecah ala posronda dot net. Karena saya paham bahwa judul tulisan saya saja membahas seputar isu DKI. Jika saya malah banyak membahas mengenai media padahal judulnya tentang DKI, bisa-bisa saya persis seperti apa yang digambarkan banyak meme tentang ‘salam pramuka’ pada captionnya: “liat judul salam pramuka, isinya siksa kubur”.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

BACA: POLEMIK: Agama Tidak Relevan Pilih Pemimpin yang Amanah

Saat ini saya sedang ingin membahas mengenai tiga topik terhangat yang saling berkaitan antara satu sama lain. yakni mengenai Reklamasi pantai ancol Jakarta, topik mengenai korupsi yang melibatkan M. Sanusi, anggota komisi D DPRD jakarta yang juga adik kandung dari M. Taufik selaku ketua DPRD yang pernah tersandung korupsi saat menjabat KPUD DKI. Dan terakhir, pembahasan sedikit bumbu mengenai Pilkada DKI yang belakangan sedang panas-panasnya dipanasi hingga kepanasan oleh media arusutama nasional.  Untuk isu yang pertama, saya rasa membahasnya sekaligus dengan isu kedua akan lebih seru sebab reklamasi yang akan saya bahas berkaitan langsung dengan dugaan dicokoknya M. Sanusi oleh KPK. Terlebih, saya meyakini. Penetapan tersangka merupakan pintu masuk sesungguhnya dari drama tarik-ulur reklamasi 17 pulau di pantai utara jakarta.

Seperti yang diketahui, Mohammad Sanusi adalah Ketua Komisi D di DPRD DKI Jakarta yang membidangi pembangunan. Saat ini Komisi D tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara (RZWP3K) dan revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantai Utara Jakarta. Pembahasan rancangan perda tersebut masih tarik-ulur. Selain belum bertemunya kata sepakat antara DPRD dan pemprov DKI, reklamasi juga menyita perhatian para aktivis lingkungan dan para warga pesisir pantai ancol DKI. Bahkan juga menyita perhatian menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastut. Untuk urusan reklamasi ini, dengan lantang saya katakan sikap saya. Bahwa saya berada di pihak aktivis lingkungan, warga pesisir dan menteri Susi untuk menolak reklamasi!. Markobar! Mari kita kobarkan #JakartaTolakReklamasi!

Herannya saya. Jika diamati lebih serius. Gubernur Ahok selalu berlindung dibalik aturan pelaksana dari aturan yang pernah diteken pada era presiden Soeharto yakni Peraturan presiden nomor 52 tahun 1995 tentang reklamasi pantai utara jakarta. Ia selalu beralasan bahwa perencanaan konsep sudah matang sejak lama. Atas sebab itulah ahok bersikeras bahwa ia hanya melaksanakan tugas untuk mereklamasi saja. Padahal jika ditinjau lebih dalam, ada dua kejanggalan. Pertama, dari segi validitas dasar hukum. Begini. Saya kurang paham, apakah perkataan ahok selama ini bahwa Perpres 52 tahun 1995 yang disebut-sebutnya merupakan ‘pijakan’ dalam mereklamasi pantai utara jakarta itu benar? Maksudnya, apakah yang ia maksud itu perpres tersebut merupakan landasan yuridis resmi? atau yang ia maksud hanya perencanaan konsep reklamasi dari perpresnya saja yang akan ia gunakan? Sebab Jika kedua pernyataan tersebut benar merupakan alasan ahok dalam memberikan izin reklamasi melalui penerbitan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 kepada PT Muara Wisesa Samudra selaku anak usaha Agung Podomoro Land. Maka perlu saya tegaskan bahwa langkah tersebut sungguh sangat menyesatkan dan dapat dikatakan telah batal demi hukum!.

Perpres 52/1995 sudah sejak lama dianulir dengan keluarnya pasal 72 huruf c Perpres 54 tahun 2008 tentang Penataan Kawasan Jakarta, bogor, depok, tanggerang, bekasi, puncak, dan cianjur. Dengan dianulirnya perpres tersebut, maka secara otomatis aturan pelaksananya pun seharusnya ikut teranulir. Sedangkan jika saja kita ber-khusnudzon bahwa ahok hanya menggunakan konsep reklamasi dari Perpres 52/1995, maka betul-betul celaka langkah a quo. Kondisi jakarta pra-1995 tentu sangat berbeda dengan kondisi jakarta sekarang. Perbedaan itu sangat mencolok dari segi geografis, lingkungan, sosial, ekonomi, dan juga situasi politiknya. Atau, dari segi yang tidak banyak orang singgung: segi oseanografisnya.

Ah, tidak perlu berat-berat membahas perbedaannya. Orang yang paling awam pun saya yakin akan berpikir bahwa 21 tahun sejak tahun 1995 itu artinya berubah. Tidak sama. Tidak statis. Begitu juga logika berpikir yang digunakan oleh para ahli dibidang hukum ketatanegaraan ketika membuat sebuah rancangan aturan. Bahwa semua produk hukum pasti akan menyesuaikan perkembangan zaman. Aturan hukum ada sebagai alat rekayasa sosial. Sebagai kaidah, sebagai petunjuk, dsb,dsb. Mereka yang pernah mengikuti mata kuliah pengantar ilmu hukum pasti paham pusingnya. Bahwa setiap produk hukum akan direvisi pada waktunya ketika aturan tersebut dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Atas dasar demikian, mahasiswa hukum yakin bahwa tidak ada produk hukum yang statis berlaku kecuali kitab suci Al-Quran. Dan juga KUHP peninggalan belanda(?). Oleh sebab itu, tentu tidak masuk akal jika ahok masih bersikeras memberikan izin reklamasi pulau yang merupakan bagian dari pengembangan properti Pluit City yang investasinya diperkirakan mencapai Rp 50 triliun tersebut.

Kemudian kejanggalan kedua yakni dari segi keabsahan reklamasi. Selama ini sepertinya ahok lupa bahwa untuk urusan mengeluarkan Izin Pelaksanaan Reklamasi dan pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi telah diatur dengan jelas dalam Perpres 122 tahun 2012 tentang reklamasi di pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan turunan dari pasal 16 ayat 2 Undang-Undang no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dengan jelas disebutkan siapa yang berwenang memberikan Izin Pelaksanaan Reklamasi ini yaitu Mentri dalam hal ini Mentri Kelautan dan Perikanan bukan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Lagipula, dari aspek perizinan seharusnya ahok juga memperhatikan beberapa hal mendasar yang telah disyaratkan oleh Perpres 122/2012. Yakni (a), pengembang harus mengantongi izin lokasi dan wajib melakukan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk memastikan bahwa rencana reklamasi itu tidak merusak lingkungan sekitar. Dan (b) pengembang harus menyusun rencana induk reklamasi. Dimana dalam rencana induk tersebut, pengembang harus menjelaskan berapa luas pantai yang akan ditimbun pasir atau diuruk, serta asal material yang diambil untuk menimbun. Setelah kedua syarat terpenuhi, baru izin dapat keluar dan reklamasi dapat dijalankan. Tapi faktanya kini reklamasi nampak tergesa sekali. Seakan ahok ini tidak mau kalah dengan mantan atasannya yang baru saja meresmikan wahana kereta cepat jakarta-bandung. Yang menjadi pertanyaan sederhana. Apa yang ingin ahok kejar? Punya hutang balas budi dengan developer kah? Bisa jadi. mungkin saja selama ini sang developer atau aktor intelektual lainnya punya misi terselubung dengan ahok. Kong kalikong diantara para kingong terasa amis tercium. Bisa saja para developer selama ini menyokong finansial bagi ahok untuk menjadi DKI-1. Bisa jadi.

Tapi tunggu dulu. Ada yang harus saya tegaskan meski sedikit terlambat saya tuliskan. Untuk anda yang mengaku teman ahok, maka saya mohon pengertian anda. Harap dipahami bahwa saya bukan buzzer ahok. Pernyataan saya sebelumnya sudah saya teliti dalam skripsi saya. Pernyataan saya bisa dipertanggungjawabkan selama saya menyandarkan pada spekulasi pribadi. Kesimpulan dari penelitian saya mengungkapkan. Bahwa ada beberapa ciri korupsi politik atau korupsi kewenangan. Dimana perpotongan yang terjadi ialah persoalan jual beli wewenang. Jika saya amati dengan mata telanjang, maka nampak jelas ada yang tidak beres dari proyek reklamasi 17 pulau ini. Utamanya dari ketergesa-gesaan gubernur dalam menerbitkan izin. Dan ‘tekanan’ yang dilakukan oleh PT Agung Podomoro Land agar pengundangan Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda 8/1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dapat berjalan lancar. Menyimak penetrasi kotor yang dilakukan oleh PT APL ini, saya jadi teringat cerita dosen HTN saya dulu mengenai langkah serupa yang dilakukan oleh management Solo Paragon ketika ingin membangun gedung tertinggi di solo tapi terganjal perda. Seketika juga, selayaknya sulap. Dalam waktu singkat. Perda baru gol. Pada zamannya, hotel solo paragon menjadi gedung pencakar langit tertinggi di solo. Prestasi penyuapan terlicik yang pernah saya ketahui di solo. Sehingga, tak berlebihan jika antara PT APL dan solo paragon menurut saya memiliki kesamaan pandangan. Yakni sama-sama aktor terjadinya korupsi politik!

Dari dimensi yang lain. Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK kepada M. Sanusi, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja dan Trinanda Pihantono selaku karyawannya memang telah membuka mata kita. Bahwa atas nama pembangunan, masyarakat kecil selalu berada di pihak tertindas. Kongkalikong diantara kingkong memang pintar mengelabui masyarakat dan media agar segera lupa ingatan. Semoga saja kita bisa selalu dianugerahi pengetahuan dan sikap kritis yang konstan untuk selalu melawan atas setiap penindasan atas nama pembangunan.

 

Bola panas pilkada DKI

Dugaan saya, sejak dicokoknya M. Sanusi dan para petinggi PT APL. Setelah ini akan banyak isu yang berkembang mengenai keterlibatan ahok pada proyek tersebut. Toh, ahok sendiri yang menunjukkan keras kepalanya. Jangankan aktivis lingkungan, Menteri kelautan dan perikanan pun dilawan argumen oleh beliau. Seakan ia rela pasang badan dan nyawa demi keberlangsungan proyek reklamasi ini. Maka tidak heran, akan banyak muncul para ahli politik yang mendadak hadir memberikan opini nya mengenai sepak terjang ahok di pilkada DKI 2017 plus bumbu spekulasi jika elektabilitasnya akan menurun. Isu ini juga tentu akan menjadi bahan terempuk untuk digoreng oleh lawan politik ahok yang bersemayam di jakarta keren, sahabat sandiaga uno, suka haji lulung, wanita emas, hingga sang prof berbaju miki mouse. Jakarta pun kembali makin panas. Setara dengan fenomena pilpres dan fenomena equinox. Maka bagi anda yang sedang mengamati perkembangan kasus reklamasi dan pilkada jakarta. Tidak lupa saya ingatkan anda. Bahwa saat ini, bola panas sedang menggelinding liar di ibukota. Sebelum mengenai para makmum komisi D DPRD, bisa jadi akan mengenai gubernurnya terlebih dahulu. Maka berhati-hatilah.  Jangan melulu simak uttaran. Sekali-kali simak perkembangan kasus reklamasi pantai jakarta uttara. #JakartaTolakReklamasi

Ikuti tulisan menarik Muhammad Luthfi Aldila lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu