x

Mohamad Sanusi memasuki gedung sebelum pemeriksaan oleh penyidik di Gedung KPK, di Jakarta, 5 April 2016. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Iklan

Deni Iskandar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Reklamasi, Cukong dan Hukum Mati!

Perilaku korupsi, yang terjadi dalam tubuh pemerintah di negeri ini, rupanya belum bisa diatasi dengan baik, dan belum bisa memberikan efek jera.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

oleh: Deni Iskandar 

Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perilaku korupsi, yang terjadi dalam tubuh pemerintah di negeri ini, rupanya belum bisa diatasi dengan baik, dan belum bisa memberikan efek jera kepada pemerintah. Pekan lalu, kamis, 31/3/2016, KPK menangkap satu Anggota DPRD DKI Jakarta, M Sanusi dan menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus suap sebesar Rp 2 miliar secara berkala.

Persoalan Reklamasi Pantai Teluk Jakarta,  rupanya tidak berbanding lurus dengan apa yang diharapkan, dan melahirkan imbas yang buruk, dalam perjalananya. selain tidak berorientasi pada kepentingan umum, Reklamasi juga, syarat akan kepentingan elit dan kelompok. Tidak heran ketika dalam pelaksanaannya, terjadi kongkalikong antara pejabat publik di parlemen dengan cukong.

Terjadinya kongkalikong antara pejabat publik dengan cukong, yang melibatkan pejabat publik M. Sanusi sebagai tersangka ini disebabkan karena pertama, belum adanya penegakan hukum yang secara tegas dan saklek, memberikan penekanan pada koruptor agar tidak korupsi, misalnya, penegasan hukum  bagi koruptor, harus di Hukum Mati !. Kedua, hukum tidak menjadi panglima dan tidak bersifat "Leviattan" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. dan ketiga, keberpihakan pemerintah cenderung lebih berat kepada cukong-cukong, dibandingkan kepada masyarakat.

Ketiga poin ini, merupakan hal yang paling penting untuk dibenahi oleh negara. Meskipun dalam prakteknya "Hukum Mati" bagi koruptor, merupakan hal yang utopis, dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun bukan tidak mungkin, upaya ini bisa dilakukan oleh pemerintah. Selama pemerintah memiliki komitmen yang sama untuk meciptakan pemerintahan yang bersih.

Sebagai Negara Hukum, Indonesia harus memiliki Hukum yang jelas dan kuat. Penguatan Hukum ini penting dilakukan oleh pemerintah, agar slogan Negara Hukum di Indonesia bukanlah pepesan kosong. Karena bagaimana pun semakin kuat hukum di negeri ini, maka sistem pemerintahan pun akan baik.

Tertangkapnya pejabat publik pekan lalu, memberikan sinyal yang kuat, bahwa hukum di Indonesia Lemah. ! Melihat kenyataan ini, seharusnya masyarakat paham, bahwa pelaksanaan reklamasi, tidaklah murni untuk kepentingan masyarakat. dan Reklamasi jelas harus di Tolak !.

Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh KPK, kepada DPRD DKI, pekan lalu, bukanlah hal yang pertama kali dilakukan. Jauh sebelum itu, KPK sudah banyak menyeret pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi. persoalan ini terjadi karena penegakan hukum di Negeri ini, belum tegak dan saklek.

Secara alamiah, persoalan korupsi, sudah menjadi sifat dasar manusia, jika kita membaca pandangan manusia menurut Thomas Hobbes, manusia memiliki potensi yang besar dalam mencapai segala hal, manusia mampuh bergerak menuju objek-objek tertentu yang dia inginkan  dan menjauhi objek-objek lain, yang tidak dia inginkan, dengan begitu, manusia bisa menjadi srigala bagi manusia lain. (Henry J. Schmandt: 2009).

Maka sudah menjadi hal yang wajar, ketika manusia memiliki sifat rakus, dan mementingkan diri sendiri, namun hal ini bisa hilang, tatkala manusia melakukan perjanjian sosial, dalam pandangan Hobbes, perjanjian ini disebut sebagai "Kontrak Sosial" yang dibuat oleh manusia secara kuat, mengikat dan Leviattan. Dalam konteks Indonesia, "Kontrak Sosial" ini termaktub dalam Undang-undang atau hukum.

Dengan adanya Hukum, maka seharusnya manusia tidak melakukam hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Indonesia seharusnya Hukum di Indonesia bersifat "Leviatan" mengikat, bagaikan monster yang bisa menerkam, siapa pun yang melanggarnya, baik yang melanggarnya, dari kelas bawah, menengah maupu  kelas atas. Seharusnya hukum di negeri ini, berjalan seperti itu. dan "leviatan" merupakan keharusan, agar keadilan dapat terwujud.

Begitu pun persoalan Reklamasi. Dalam perjalanannya reklamasi, banyak menabrak dan melewati aturan. Jika memang pemerintah komitmen dengan masyarakat, maka seharusnya reklamasi dihentikan. Sekalipun Reklamasi terus dilanjutkan, maka konsekuensi logis yang akan dirasakan oleh masyarakat, terutama masyarakat disekitaran pesisir, yakni tersingkir.

Agenda reklamasi ini, hanya akan dapat dinikmati oleh masyarakat kelas atas (elite). dan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan ini, hanya satu, yakni menolaknya. Penolakan ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara.

Pertama, mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, agar tidak mengesahkan dan merevisi Raperda tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi DKI Jakarta dan Raperda tentang rencana kawasan tata ruang kawasan strategis pantai Jakarta Utara.

Kedua, semua elemen masyarakat harus menjadi control sosial, bagi pemerintah, dan harus secara masif, melakukan perlawanan. agar pemerintah Provinsi DKI Jakarta, membatalkan agenda Reklamasi Pantai Teluk Jakarta tersebut.

Pelaksanaan reklamasi pantai teluk jakarta, sebenarnya, bukanlah solusi yang palIng tepat dilakukan oleh pemerintah. Sebab reklamasi akan menyebabkan dampak. Dalam meretas persoalan kemiskinan dan mengurai kepadatan penduduk di Ibukota,  seharusnya pemerintah provinsi memberikan solusi lain, tidak mesti reklamasi.

 

 

Ikuti tulisan menarik Deni Iskandar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB