x

Bem UI melakukan aksi tolak reklamasi teluk Jakarta di car free day, Jakarta, 10 April 2016. TEMPO/Mawardah

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Reklamasi, Kontroversi Sejak Zaman Soeharto, Siapa Terlibat?

Intervensi perusahaan swasta dalam proyek reklamasi di Jakarta pernah terjadi pada kasus Pantai Indah Kapuk. Siapa yang terlibat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Proyek reklamasi Teluk Jakarta sudah kontroversial sejak awal. Intervensi perusahaan swasta dalam proyek reklamasi di Jakarta pernah terjadi pada kasus Pantai Indah Kapuk (PIK). Beberapa kali Tempo menulis kontroversinya, termasuk pada rubrik Lingkungan edisi 29 Januari 1994 dengan judul "Menelusuri Angke dan Reklamasi PIK".

 

Cerita berawal pada 1984, ketika Departemen Kehutanan memberikan izin kepada PT Mandara Permai untuk membangun proyek PIK di atas hutan Muara Angke. Perusahaan ini kemudian menguruk rawa di pinggir pantai dan sepanjang jalan tol Sedyatmo. Ini jalan menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Rencananya di lahan seluas 1.100 hektare itu bakal dibangun 10 hotel berbintang, 10 perkantoran, 10 kondominium, dan kompleks permukiman dengan 12 ribu unit rumah. Kompleks ini akan dilengkapi sebuah taman laut, sebuah marina (bandar kapal yacht), dan lapangan golf (18 lubang). Proyek senilai Rp 3 triliun ini mentereng, baik anggaran maupun desainnya.

 

Investor proyek PIK adalah Grup BCA, Lim Sioe Liong, Sudwikatmono, Ibrahim Risyad, Brasali, Sofjan Wanandi, Subagja, Budiman, Atang Latief, Mochtar Riadi, Sukrisman, dan Ciputra.

 

Banyak yang curiga keluarnya izin kepada PT Mandara Permai tak lepas dari kedekatan pemilik perusahaan dengan Presiden Soeharto. Sudwikatmono adalah sepupu Soeharto. Sedangkan Om Liem dan Ibrahim Risyad adalah sahabat Soeharto. Lahan untuk proyek itu adalah hutan Muara Angke, tempat hidup aneka satwa dan daerah tangkapan air jika terjadi banjir di sekitarnya.

 

Akal-akalan korporasi itu terkuak ketika Kepala Badan Pertanahan Nasional Soni Harsono menangguhkan pemberian sertifikat tanah bagi lahan PIK. Soni kecewa karena, hingga 1992, konsorsium konglomerat itu belum memenuhi janji menyediakan tanah pengganti yang luasnya satu banding satu untuk wilayah Jakarta dan satu banding dua bila di luar Jakarta.

 

Kontroversi lain dari proyek ini adalah ancaman rusaknya ekosistem di kawasan itu. Banyak yang khawatir kemungkinan tenggelamnya jalan tol Sedyatmo, yang menghubungkan Jakarta dengan Bandara Soekarno-Hatta. Pada saat pengurukan, puluhan truk besar membawa ribuan ton pasir. Pengembang ceroboh karena daerah penyangga cagar alam, yang sebenarnya harus dipertahankan keasliannya, ternyata ikut diuruk.

 

Sebelum ada pembangunan, kawasan PIK merupakan rawa-rawa. Rawa ini semula berfungsi menampung luapan air dari Cengkareng Drain. Dengan adanya reklamasi, luapan air dari Cengkareng Drain akan menggenangi kawasan industri dan kawasan penduduk di luar PIK. Sedangkan permukiman PIK, karena menggunakan sistem polder (pengatur ketinggian air tanah), bebas dari banjir.

 

Pihak Badan Pengendalian Dampak Lingkungan menilai reklamasi PIK dapat menyebabkan aliran air pasang-surut dari darat ke laut terputus. Pihak Mandara Permai menampik semua kekhawatiran itu, termasuk terjadinya banjir. Kekhawatiran itu tak beralasan, begitu dalihnya. Pihak Mandara sesumbar akan menjaga ketinggian air tanah dengan mempertahankan rawa-rawa selebar 20 meter. Bila kemarau tiba dan air rawa turun, air akan dipompa dari Cengkareng Drain.

 

Soal pembangunan kota di atas hutan bakau itu, menurut pihak PIK, telah sesuai dengan rencana umum tata ruang 1985-2005 untuk Jakarta Utara dan rencana bagian wilayah kota Kecamatan Penjaringan. "Kami tidak akan membangun kalau tidak mendapat izin dari pemerintah (pemerintah daerah DKI—Red.)," kata pihak Mandara.

 

Keterangan ini didukung pihak pemerintah DKI. Menurut Wakil Gubernur DKI Ekonomi dan Pembangunan Tb. Rais, selain diperuntukkan bagi tempat rekreasi, cagar alam, bisnis, dan pelabuhan, kawasan Jakarta Utara diizinkan untuk dikembangkan menjadi daerah permukiman. "Persaingan semakin ketat. Karena itu, kita perlu mempunyai keunggulan," ujar Rais.

 

Namun kasus PIK memberi petunjuk tentang betapa lemahnya kontrol pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan di lapangan oleh pemerintah DKI. "Amdal itu, ya, seperti SIM. Kalau punya SIM, apa selalu benar?" kata Kepala Biro Bina Lingkungan Hidup pemerintah DKI Jaya, Aboejowono.

 

*) Artikel ini terbit di rubrik Tempo Doeloe majalah Tempo edisi 11 April 2016.

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu