x

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly saat mengikuti rapat koordinasi dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 25 Januari 2016. Rapat tersebut membahas penetapan Prolegnas P

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merindukan DPR Anti-eulogia

Joko menyarankan agar DPR cukup membuat 3-5 UU setiap tahun, namun betul-betul diperhatikan kualitasnya dan bersinggungan langsung pada kepentingan rakyat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo meminta DPR agar tidak memproduksi terlalu banyak undang-undang. Ia menyarankan agar wakil rakyat cukup membuat tiga hingga lima UU setiap tahun, namun betul-betul diperhatikan kualitasnya dan bersinggungan langsung dengan kepentingan seluruh rakyat. Sontak kritik tersebut disanggah balik DPR, mengingat dalam penyusunan UU juga melibatkan unsur pemerintah. Ada bahkan yang menyeretnya ke bumbu politis, bahwa saran Presiden tersebut cerminan posisi tawar politik  presiden di hadapan lawan politiknya.

Suatu analisis yang tendensius untuk urusan terkait relasi kolegial politik. Padahal, Jika dicermati secara jernih, tak ada yang salah dengan saran tersebut. Justru sebagai pemimpin dan mitra DPR, Presiden memiliki alasan untuk menginginkan parlemen efektif menggodok RUU menjadi undang-undang yang berimplikasi bagi kemaslahatan rakyat. Melihat kritik tersebut sebagai verbalisme politik oposisioner juga berlebihan, sebab pemerintah juga dalam menjalankan kebijakannya tak selalu bermandikan cahaya eulogia (pujian) atau luput dari kritik publik. Kritik, sejauh sebagai sebuah wadah deliberasi untuk membangun keseriusan dan langkah maju pemerintahan tentu konstruktif.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harus diakui sejauh ini DPR memang tengah menjadi sorotan. Dari tahun ke tahun kinerja para legislator selalu “berlangganan” rapor buruk. Misalnya Lembaga Poltracking pada Maret 2015 pernah mencatat tingkat ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR menempati urutan tertinggi (66,5 persen), kemudian disusul parpol (63,5 persen) dan Polri (55,9 persen)..

Tahun ini, ada 40 RUU yang masuk Prolegnas. Artinya, setiap bulan DPR dan pemerintah harus menuntaskan sedikitnya 3 RUU agar target Prolegnas 2016 terpenuhi. Mencermati  tahun-tahun sebelumnya, pencapaian target legislasi selalu jeblok. Tahun lalu, dari 37 RUU dalam Prolegnas, DPR dan pemerintah hanya mampu menyelesaikan 17 RUU. Selain dari sisi pencapaian jumlah, kualitas RUU juga dipertanyakan mengingat tak sedikit UU yang kemudian digugat ke MK. Menurut statistik, dari jumlah UU yang diajukan uji material ke MK, 30%-nya dibatalkan.

Dalam hal penyerapan aspirasi rakyat, menurut Formappi, penggunaan saluran reses, pesan singkat, website, ataupun surat untuk memperjuangkan kepentingan konstituen belum efektif berjalan karena tidak disertai dengan respons dan upaya publikasi hasil penjaringan aspirasi ke publik. Hingga memasuki Masa Sidang IV (bulan Mei) 2015 misalnya, hanya dua Undang-undang (UU) yang sanggup diselesaikan oleh wakil rakyat dari total Prolegnas 2015 sebanyak 37 UU.

Selain itu, menurut Formappi dari 4,7 triliun anggaran yang dialokasikan untuk DPR, peruntukan anggaran yang langsung terkait dengan tiga fungsi DPR hanya 15 persen, sedangkan 85 persennya untuk anggaran di luar urusan tiga fungsi DPR, sehingga tidak heran jika dulu sempat muncul dana 12,45 milyar untuk pembelian kasur 560 anggota dewan atau dulu kita juga mendengar ada anggaran pewangi ruangan dan tisu toilet yang mencapai 2,3 milyar setahun, hingga dana untuk makanan rusa. Semua ini menunjukkan bahwa wakil rakyat kita masih memposisikan dirinya sebagai trustees representation (bertindak atas nama diri dan kepentingannya), tanpa berdiskusi lebih dahulu dengan rakyat, ketimbang sebagai delegate representation, yang secara obyektif mewakili aspirasi dan kebutuhan konstituennya (Andeweg dan Tomasen, 2005).

Singkatnya, alih-alih sebagai penjaga moral publik yang mampu mengukir perubahan dan membangun nilai-nilai populisme dalam seluruh kerja politik perwakilan, DPR cenderung membiarkan dirinya terjangkit politik komersialitas yang membebani uang rakyat dan negara (F Hardiman, 2009:191). Padahal menurut Evo Morales, kerja politik sejatinya adalah 'ilmu melayani rakyat dan bukan hidup dari (uang) rakyat'. Dalam kenyataannya bisa kita lihat sendiri, di mana rakyat hanya dibutuhkan suaranya pada saat pemilu, namun setelah pemilu, para politisi sepertinya asyik dengan kepentingan parsialnya.

Kita merindukan DPR yang antipujian. Daripada melanjutkan pembangunan megaproyek yang kelak bikin citra DPR megap-megap di hadapan rakyat karena dianggap melukai sensifitas dan keadilan sosial, lebih baik fokus dulu pada pencapaian efektifitas kinerja dengan memaksimalkan fungsi utama (legislasi, kontrol, dan penganggaran) lewat efektifitas kerja Tim Percepatan Legislasi yang sudah dibentuk dan diketuai Wakil Ketua DPR Fadli Zon dengan memanfaatkan anggaran serasional mungkin untuk mengerahkan energi terbaik menyelesaikan target prolegnas. Upaya ini juga harus dikontrol secara ketat oleh Badan Peningkatan Kinerja DPR agar pencapaian target kerja terutama prolegnas bisa terukur dan dapat dimonitor langsung oleh konstituen dan seluruh rakyat.

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu