x

Pengemudi bus transjakarta jurusan Kota-Blok M menggunakan pakaian adat Papua saat mengemudi di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (21/4). Penggunaan baju daerah guna memperingati Hari Kartini yang jatuh pada hari ini 21 April. Tempo/Tony Hartawan

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Kartini, Gerwani, Hingga Menteri Urusan Peranan Wanita

Tulisan Tempo memaparkan sejarah perjuangan wanita dan pertumbuhan organisasi wanita di Tanah Air, sejak di Aceh tahun 1614 hingga 1970-an.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada peringatan Hari Kartini 1978, majalah Tempo membuat tulisan panjang dengan judul "Wanita: Masih Bisa Bergerak?". Saat itu Presiden Soeharto baru melantik Lasiyah Soetanto sebagai Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Soeharto tidak menggunakan kata "perempuan". Tersirat juga bahwa urusan wanita dianggap selesai dan yang masih diperjuangkan adalah "peranan wanita". Tentunya dalam pembangunan sesuai dengan jargon rezim Soeharto.

Meski demikian, di antara tokoh pergerakan wanita pada 1970-an, masih terdapat penilaian bahwa perjuangan emansipasi sebenarnya belum usai. Ada, misalnya, pikiran tentang hukum waris nasional yang bisa menyamakan kedudukan wanita dan pria dalam pembagian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada pula kenyataan diskriminasi kedudukan pria dan wanita sehubungan dengan hukum adat. Lalu Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII) membicarakan untuk pertama kali masalah poligami dalam kongresnya. Belum lagi proses disahkannya Rencana Undang-Undang Perkawinan 1974.

Selain itu, ada dugaan bahwa peran wanita menurun. Di desa-desa, dengan adanya huler dan pemakaian parang untuk menuai padi benih unggul, bukan lagi ani-ani, menyebabkan kaum wanita yang dulu menumbuk padi dan aktif dalam panen kini kekurangan tugas. Di kota-kota, bersama surutnya peran organisasi kemasyarakatan, kehadiran kaum wanita sebagai faktor independen lebih digantikan oleh kaum wanita sebagai istri. Di sini orang kemudian teringat berbagai organisasi wanita yang tumbuh belakangan ini, yang terutama berciri departemen atau angkatan.

Tulisan Tempo memaparkan sejarah perjuangan wanita dan pertumbuhan organisasi wanita di Tanah Air, sejak di Aceh tahun 1614 hingga 1970-an. Dalam kongres di Sala pada 1946 berhasil dibentuk federasi bernama Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Anggotanya dari Persatuan Wanita RI (Perwari), 'Aisyiah, PPII, Muslimat NU, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Wanita Katolik, Persit, Bayangkari, Pertiwi, Jalasenastri, Dian Ekawati, Wanita Marhaen, dan sebagainya.

Untuk membela wanita dalam rumah tangga, Perwari membentuk Biro Perkawinan sekaligus membela para wanita yang dicerai secara sewenang-wenang. Sayang, ketika Perwari gigih berjuang, pada 1954 Bung Karno melangsungkan pernikahannya dengan Nyonya Hartini. Maka Perwari melancarkan protes bertubi-tubi, meminta agar Nyonya Hartini diceraikan. Akibatnya: Perwari digencet. Lebih-lebih setelah Gerwani (yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia) mendapat angin dalam kehidupan organisasi wanita ataupun politik.

Pada 1959-1965, banyak usaha membelokkan arah Kowani yang independen ke kiri—terutama atas usaha Gerwani. Ini lebih terlihat tatkala Nyonya Hurustiati Subandrio memegang tampuk pemimpin. Selama periode itu pula Kowani praktis lumpuh. Kegiatannya tak lebih dari melahirkan berbagai pernyataan politik.

Pada awal Orde Baru, baik sendiri-sendiri maupun membawa bendera Kowani, kaum wanita bergerak di bidang sosial, seperti Keluarga Berencana, pendidikan, kependudukan, serta kesejahteraan ibu dan anak, mendirikan rumah perawatan wanita jompo, juga menggelar berbagai seminar dan lokakarya.

Agaknya sejarah berulang. Hampir serupa dengan keadaan menjelang Pemilihan Umum 1955 (yang melahirkan organisasi wanita sebagai pengumpul massa), menghadapi Pemilu 1971 dan 1977, berbagai organisasi wanita muncul.

Organisasi di departemen itu berfederasi ke dalam Dharma Wanita, yang bukan anggota Kowani. Sedangkan yang ada kaitannya dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berinduk pada Dharma Pertiwi (anggota Kowani) dan Ikatan Kesejahteraan Keluarga Hankam—bukan anggota Kowani.

Istri menteri atau pejabat menjadi ketuanya. Tidak penting apakah sang nyonya memang mampu atau tidak. Kalau sudah demikian, apakah pergerakan (bukan perkumpulan) wanita pada 1970-an sudah maju?

*) Versi asli artikel ini muncul di Majalah Tempo edisi 18 April 2016. Terbit di sini dengan sedikit perubahan.

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler