x

Iklan

Tiara Galistya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semangat Kartini dan Harapan Kesetaraan Gender Masa Kini

Meneladan Semangat R.A. Kartini untuk Maju dan Memberdayakan Diri Perempuan untuk Meraih Kesetaraan Gender di Masa Kini dan Masa Mendatang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cita-cita luhur dan semangat yang digagas oleh pahlawan perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini (R.A. Kartini) selaras dengan target pembangunan manusia yang tertuang dalam program pascaMDG’s, Sustainable Development Goals (SDG’s) dimana salah satu tujuan yang ingin diraih adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Namun, akan menjadi ironi apabila semangat emansipasi R.A. Kartini hanya diperingati secara seremonial setiap 21 April oleh putra-putri Indonesia yang duduk di Taman Kanak-Kanak dengan berparade mengenakan busana tradisional, sementara nyatanya ketimpangan gender masih terasa di negara yang telah merdeka selama lebih dari 70 tahun.  

Indeks Pembangunan Gender

Berdasarkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) 2014 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai ukuran dimensi pembangunan manusia yang melibatkan unsur gender di dalamnya, terlihat bahwa pencapaian IPG di Indonesia menunjukkan trend meningkat, dari 89,42 di tahun 2010 menjadi 90,34 di tahun 2014. Namun, hal ini tidak serta merta menunjukkan keberhasilan upaya pencapaian target kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Menilik data publikasi Human Development Report 2014 yang diterbitkan oleh UNDP, IPG tahun 2013 Indonesia (92,28) berada pada peringkat 98 dari 149 negara. Dalam kawasan ASEAN, capaian IPG Indonesia masih berada di bawah Thailand (99,03), Filipina (98,89), Brunei Darussalam (98,08), Singapura (96,71), dan Malaysia (93,50). Posisi IPG Indonesia hanya berada sedikit di atas Kamboja (90,86) dan Timor Leste (87,47). Selain itu, masih tingginya disparitas pencapaian IPG antar provinsi di wilayah barat dan wilayah timur Indonesia menjadi salah satu penyebab belum tercapainya kesetaraan gender secara nasional. Provinsi-provinsi dengan capaian IPG tertinggi di Indonesia meliputi DKI Jakarta, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Bali. Sedangkan, provinsi-provinsi dengan capaian IPG rendah antara lain Papua, Papua Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Gorontalo.

Ketenagakerjaan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu bentuk ketimpangan gender yang masih belum terpecahkan hingga kini adalah dari sisi ketenagakerjaan. Berdasarkan data Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) Agustus 2015, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki mencapai 82,71 persen sementara TPAK perempuan hanya 48,87 persen. Kondisi ini bahkan menurun dibandingkan kondisi Agustus 2014, dimana TPAK perempuan 50,22 persen. Perlu menjadi catatan, sebagian besar perempuan yang bekerja di Agustus 2015 termasuk kategori pekerja rentan (pekerja bebas atau pekerja keluarga/tidak dibayar) yaitu hampir dua pertiga perempuan bekerja (62,22 persen). Dari sisi upah diterima, upah tenaga kerja perempuan juga masih berada di bawah upah tenaga kerja laki-laki dengan ratio sekitar 0,86. Ketimpangan gender dari sisi pendapatan ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan lebih banyak dialami oleh kaum perempuan. Hal yang sama pernah dinyatakan oleh Diana Pearce pada periode tahun 1970-an yang mengungkap bahwa feminisasi kemiskinan merujuk pada kenyataan bahwa sebagian besar warga miskin berjenis kelamin perempuan.

 

Pendidikan

Selain masalah ketenagakerjaan, aspek pendidikan juga turut berkontribusi terhadap upaya pencapaian kesetaraan gender di Indonesia. Meskipun pemerintah telah melaksanakan program pendidikan dasar, wajib belajar 9 tahun untuk seluruh warga negara tanpa diskriminasi gender, belum meratanya pencapaian pendidikan antara perempuan dan laki-laki tercermin pada beberapa data. Pada tahun 2014, angka melek huruf perempuan lebih rendah (93,45 persen) dibandingkan laki-laki (96,79 persen). Rata-rata lama sekolah perempuan juga lebih rendah (7,85 tahun), sedangkan laki-laki mencapai 8,61 tahun. Secara nasional, perempuan berumur lima tahun ke atas yang tidak/belum pernah bersekolah lebih banyak (9,25 persen) daripada laki-laki (5,83 persen). Perempuan berumur 15 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah lebih tinggi (22,38 persen) dibandingkan laki-laki (15,87 persen). Serangkaian data tersebut dapat menjadi refleksi sejauhmana program pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah mampu memberikan kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki.

 

Keikutsertaan dalam politik dan pemerintahan

Aspek lain yang ikut menjadi bahan renungan adalah keterwakilan perempuan dalam ranah politik maupun pemerintahan belum bisa dikatakan setara dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah wakil perempuan yang duduk  dalam lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Dimana pada lembaga eksekutif, dari 34 kementerian di Kabinet Kerja 2014-2019 hanya ada 8 kementerian yang dipimpin oleh menteri perempuan, dari 34 provinsi tidak ada satupun gubernur perempuan, dan dari 511 kabupaten/kota hanya ada 24 bupati/walikota perempuan. Sedangkan untuk lembaga legislatif, tidak ada pimpinan MPR periode 2014-2019 yang berjenis kelamin perempuan dengan jumlah anggota perempuan hanya 18,93 persen dari total anggota MPR. Kondisi serupa terlihat pada jumlah anggota perempuan yang hanya 17,32 persen dari total anggota DPR dan 25,76 persen dari total anggota DPD.

 

Kekerasan Terhadap Perempuan

Selain ketimpangan gender yang muncul di sisi ketenagakerjaan, pendidikan, dan keterwakilan dalam politik/pemerintahan, permasalahan lain yang juga patut untuk segera diatasi demi terwujudnya kesejahteraan perempuan adalah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan (KTP). Catatan tahunan (CATAHU) Tahun 2014 oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa KTP terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2014, tercatat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan dimana sebelumnya di tahun 2013 mencapai 279.688 kasus. Kondisi ini jauh dibandingkan sepuluh tahun lalu (2004), yaitu 14.020 kasus. Data dan analisis yang dihasilkan menggambarkan situasi darurat kekerasan seksual. Ditambah lagi, angka ini merupakan suatu fenomena gunung es. Masih banyak perempuan yang tidak mampu dan tidak berani melapor ke lembaga pengada layanan ataupun pihak berwenang lain karena berbagai alasan dan pertimbangan.

 

Tingkatkan Kapasitas Diri

Serangkaian analisis terhadap berbagai aspek menunjukkan bahwa kesetaraan gender yang utuh di Indonesia masih menjadi harapan hingga kini. Namun, menunggu hingga hal ini dapat terwujud dan hanya menyerahkan prosesnya pada pemerintah dan lembaga terkait tentu bukanlah hal yang bijak. Peran aktif perempuan menjadi salah satu kunci bahwa harapan akan kesetaraan gender di Indonesia benar dapat terwujud. Alangkah lebih baik selain mengurus urusan domestik rumah tangga, perempuan ikut berpartisipasi secara ekonomi demi peningkatan kualitas hidup keluarga. Namun, bukan tentang memperdebatkan pilihan seorang perempuan untuk bekerja atau menjadi ibu rumah tangga yang lebih penting. Tidak hanya memiliki pendidikan yang cukup, tetapi juga mampu meraih pendidikan tinggi itulah yang jauh lebih penting dan wajib untuk disadari terutama dari diri perempuan terlebih dahulu. Perempuan Indonesia harus mampu memberdayakan dirinya sendiri dengan memiliki pengetahuan luas yang dicapai dari pendidikan yang baik serta menguasai berbagai bidang keterampilan maupun bisnis sehingga mampu mandiri dan kreatif.

Pendidikan tinggi sangatlah berperan membuka wawasan dan pola pikir perempuan Indonesia. Namun, saat keterbatasan muncul hingga membuat sulit untuk meraihnya, masih banyak alternatif lain yang bisa dilakukan. Berdasarkan berbagai biografi tentang R.A. kartini, salah satu yang patut menjadi teladan adalah Beliau rajin dan banyak membaca. Meskipun hanya bersekolah hingga usia 12 tahun, R.A. Kartini mampu memiliki pengetahuan yang cukup luas pada masalah sosial dan kebudayaan. Saat ini, membaca dapat dilakukan melalui berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Kecanggihan teknologi telah mampu menghadirkan berbagai pengetahuan ke dalam genggaman tangan. Perempuan Indonesia harus mampu melek teknologi, membaca berbagai pengetahuan, serta mempelajari beragam bahasa yang dapat meningkatkan kualitas dan kapabilitas diri seorang perempuan karena salah satu kunci keberhasilan pembangunan terletak pada peran perempuan dalam mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas. Dengan ikut berperan aktif semoga harapan akan kesetaraan segera terwujud seutuhnya dalam kehidupan perempuan Indonesia. Selamat Hari Kartini!   

 

 

Oleh:

Theresia Mutiara Galistya

Staf BPS Kabupaten Jembrana, Bali

(sedang melaksanakan tugas belajar di Institut Sepuluh Nopember Surabaya)

 

Sumber Data:

Komnas Perempuan : Catahu 2015 Edisi Launching

Publikasi BPS, meliputi:

  • Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia, Agustus 2015
  • Watermark Perempuan dan Laki-laki di Indonesia, 2015
  • Indeks Kesejahteraan Rakyat, 2015
  • Indeks Pembangunan Gender, 2014

Ikuti tulisan menarik Tiara Galistya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler