x

Panama Papers

Iklan

mohammad mustain

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Soal Panama Papers, Presiden Jokowi 'Lambat'

Dalam perkara Panama Papers, Presiden Jokowi tampak menahan diri, tidak grusa-grusu. Ketika pejabat jadi sorotan pun, dia tetap belum mau berkomentar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhirnya, ada juga instruksi Presiden Jokowi membentuk tim gabungan atau task force tax amnesty untuk mengkaji data Panama Papers, yang melibatkan lintas departemen dan instansi. Sebuah keputusan yang  lambat mengingat kasus ini bergulir sejak 4 April lalu.  Tampaknya hal ini memang disengaja sembari menunggu kepastian DPR mengesahkan UU Tax Amnesty yang pembahasannya ditargetkan selesai akhir bulan ini.

Di beberapa negara, reaksi atas Panama Papers memang sangat cepat. Pejabat negara atau lembaga publik ada yang mundur karena namanya tersandung dokumen Panama Papers. Itu bisa terjadi karena sistem perpajakannya sangat maju, selain standar etika politik di negara tersebut cukup tinggi. Karena itu, begitu ada ada data Panama Papers, reaksi dan tindakan yang diambil juga sangat cepat.

Reaksi sebaliknya terjadi di Indonesia. Yang terjadi adalah mereka saling meng-clear-kan diri. Sementara pemerintah terkesan lambat merespon reaksi yang ada di masyarakat. Ini karena sistem perpajakan kita memang belum begitu maju dan masih sangat memerlukan penyempurnaan, baik menyangkut sistem organasasi, SDM, sistem IT, maupun produk hukum pendukungnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang juga berbeda adalah reaksi masyarakatnya. Dengan standar etika bernegara yang tinggi, warga di beberapa negara menggelar demo mendesak pemimpinnya bertanggung jawab atas kepemilikan perusahaan cangkang mereka. Di Indonesia tak ada demo besar-besaran terkait Panama Papers. Ada memang, petisi online menuntut Harry Azhar Azis mundur dari BPK. Selain itu, warga sibuk beropini di medsos, yang gaungnya juga kalah dengan ‘pertarungan’ pilkada DKI Jakarta.

DPR pun bersikap adem ayem. Sikap ini sangat berbeda, misalnya, dibanding ketika menanggapi urusan Pilkada DKI Jakarta. Ini mungkin juga jadi pertimbangan mengapa Panama Papers dinilai tak perlu ditangani terburu-buru. Meski demikian, sikap itu bukan berarti membenarkan penilaian masalah pejabat, publik figur, atau pengusaha yang memiliki perusahaan cangkang (seperti termuat di dokumen Panama Papers) tidak penting untuk ditangani.

Sikap pemerintah dan juga DPR ini bisa saja menimbulkan syak wasangka di masyarakat yang menaruh perhatian terhadap Panama Papers. Presiden bisa saja dinilai khawatir agenda tax amnesty akan terganggu kalau dia mendahulukan pengusutan Panama Papers, sementara belum ada kepastian dari DPR untuk mengesahkan UU Tax Amnesty. Sementara, publik tahu, pemerintah berharap banyak atas pemberlakukan tax amnesty itu.

Gambarannya ada pemasukan pajak cukup besar, yang disebut sedikitnya Rp 45,7 triliun (versi gubernur BI) bahkan lebih besar lagi. Ini bisa menambah kekurangan pemasukan pajak, yang targetnya dikhawatirkan tak tercapai. Jika target pajak tak terpenuhi akan sangat mengganggu program pembangunan infrastruktur yang sangat penting itu. Oleh karenanya, tax amnesti jadi salah satu solusi masalah.

Selain itu, dengan tax amnesty pemerintah berharap modal yang terparkir di luar negeri pulang kampung, untuk menggerakkan roda ekonomi negeri ini. BI memperkirakan dana repratriasi ini mencapai Rp 560 triliun. Ini sebenarnya hanya bagian kecil dari dana yang terparkir di luar negeri yang jumlahnya cukup signifikan, sedikitnya Rp3,147 ribu triliun (versi gubernur BI) hingga Rp 11 ribu triliun versi Departemen Keuangan.

Sementara bagi DPR sendiri, adanya dokumen Panama Papers itu bisa dinilai tidak menguntungkan secara orang per orang. Ini karena beberapa nama politisi masuk dalam dokumen itu, termasuk pengusaha yang punya kaitan dengan dunia politik. Dan bagi sebagian anggota DPR,  paling tidak ketua DPR Ade Komaruddin, tax amnesty lebih penting dibanding Panama Papers. RUU Tax Amnesty harus dikebut karena batas waktunya, sesuai ketetapan UU, memang sangat mepet.

Namun, yang juga tak kalah pentingnya atas sikap DPR ini adalah, pemberlakuan tax amnesty ini setidaknya memberi peluang untuk menebus ‘dosanya’ kepada negara terkait pajak. Bisa saja selama ini ada anggota DPR yang tidak jujur dalam mencantumkan kekayaan dan termasuk kewajiban membayar pajaknya.  Dengan tax amnesty, mereka bisa meng-clear-kan kekayaan tanpa khawatir karena ada jaminan kerahasiaan (data tax amensty juga  tidak bisa dipakai sebagai bukti permulaan hukum dan bahan penyidikan).

Jadi, secara logika memang ada korelasi antara tax amensty, kekayaan penyelenggara negara, kewajiban pajak, dan dokumen Panama Papers. Oleh karena itu, wajar saja sampai saat pimpinan DPR belum ada yang bersuara keras soal Panama Papers. Hanya Ruhut dan beberapa anggota, mungkin yang pernah menyuarakan tuntutan agar ketua BPK mundur dari jabatannya.

Sementara sikap Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang juga presiden Parlemen Anti-Korupsi Sedunia itu cenderung mendua. Dia menilai tindakan pejabat  di luar negeri yang tersandung Panama Papers lantas  mengundur diri itu ada benarnya karena ingin transparan. Ini memang telah dilakukan PM Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson (5 April 2016), pejabat senior FIFA Juan Pedro Damiani (7 April 2016), Menteri Perindustrian Spanyol Jose Manuel Soria (15 April 2016).

Di Indonesia, menurut dia, tercantum di Panama Papers itu belum tentu bersalah, dan pemerintah juga tak melarang WNI mendirikan perusahan di negara tax havens. “Kalau keberatan nama-namanya ada di Panama Papers, saya kira mudah sekali, tinggal melakukan klarifikasi”. (kompas.com, 25 April)

Sikapnya agak berbeda dibandingkan saat awal pengungkapan Panama Papers. Saat itu Fadli Zon mendesak pemerintah membentuk tim kerja khusus untuk menegakkan hukum, memanfaatkan momen dibukanya Panama Papers. Bidang penegakan hukum itu meliputi perpajakan, potensi tindak pidana korupsi, atau dana haram narkoba. (tempo.co, 7 April 2016)

Kembali ke persoalan task force tax amnesty, tim gabungan yang akan memvalidasi, memverifikasi, dan mengkaji dokumen Panama Papers. Informasi yang ada menyebut tim ini akan dikoordinasi oleh Kementerian Keuangan bersama Dirjen Pajak, terdiri atas Kapolri, kepala PPATK, jaksa agung, menteri Hukum dan HAM, gubernur BI, kepala OJK, dan menteri luar negeri.

Tim gabungan (task force tax amnesty) inilah yang melakukan kajian, validasi, dan verifikasi data yang ada di Panama Papers. Data dalam Panama Papers akan dibandingkan dengan data pemerintah. Katanya, tim ini akan menelusuri data yang ada tanpa pandang bulu, meski itu menyangkut pejabat publik. Dan melihat yang terlibat dalam tim itu, tentunya tak sekedar menelisik kewajiban pajak, namun kemungkinan adanya tindak pidana korupsi, pencucian uang, dsb.

Perintah meneliti dan mengkaji data Panama Papers sebenarnya sudah pernah diutarakan presiden kepada Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro 7 April lalu.  Saat itu presiden meminta menkeu mengkaji keterkaitannya dengan RUU Tax Amnesty. Ketika itu, menkeu menyebut nama-nama dalam Panama Papers hampir 80 persen sama dengan data Ditjen Pajak.

Perintah presiden itu jelas mengkaitkan persoalan Panama Papers dengan tax amnesty yang segera diberlakukan. Tak ada perintah agar nama yang ada di Panama Papers diusut, terkait adanya pejabat negara, politisi, pengusaha, atau publik figur lain. Pada 14 April lalu, saat kunjungan kerja di Kep Seribu presiden kembali memberi pernyataan, dia baru akan berbicara soal Panama Papers saat datanya lengkap.

“Setelah semua datanya komplet, baru saya akan bicara....Nanti saya akan bicara. Jangan sampai saat ini kasih pernyataan setengah-setengah.” Saat presiden mengutarakan hal itu,  publik sedang ramai menyoroti keterlibatan beberapa pejabat publik, termasuk ketua BPK Harry Azhar Azis karena kepemilikan perusahaan cangkang Sheng Yue Intenational Limited.

Dan Sabtu lalu, 23 April lalu,  Majalah Tempo menurunkan laporan tentang Menkopolhukam yang ternyata juga disebut sebagai direktur perusahaan Mayfair International Ltd. Pemberitaan ini kembali menghangatkan situasi terkait kepemilikan perusahaan cangkang oleh pejabat dan penyelenggara negara. Nah, setelah inilah ada penegasan soal akan adanya tim gabungan task force tax amnesty yang melibatkan beberapa departemen dan instansi, yang akan mengkaji dokumen Panama Papers.

Dari urutan reaksi presiden itu, saya yakin sedari awal Presiden Jokowi sudah tahu  soal keterlibatan pejabat atau penyelenggara negara dalam kasus Panama Papers itu. Masalahnya, mengapa presiden tak segera memerintahkan pembentukan satgas gabungan? Jawabannya bisa macam-macam. Bisa saja karena waktunya belum tepat, perlu data awal yang cukup, atau mungkin pertimbangan politik lain. Dan tentuya, pemberlakuan tax amnesty tak boleh terganggu Panama Papers.

Pilihan politik semacam itu, wajar saja dilakukan presiden. Kepentingan pembangunan, stabilitas politik, stabilitas ekonomi, terlalu penting untuk dinomorduakan. Sementara, soal Panama Papers bisa dipandang hanya tambahan masalah pengemplangan pajak dan pelarian modal ke luar negeri, yang datanya sudah dimiliki pemerintah itu.  Karena itulah, perintah kajian, validasi, verifikasi atas data Panama Papers dikeluarkan setelah masalah utama yaitu tax amnesty ada kejelasan.

Ini tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana soal kepercayaan publik terhadap pemerintah atas adanya pejabat atau penyelenggara negara di Panama Papers? Hal ini bisa saja dijawab, presiden memerlukan bukti hukum yang kuat untuk mengambil kebijakan terkait hal itu. Bagaimana soal etika penyelenggara negara, apakah presiden tak mempertimbangkannya? Nah kalau soal ini, saya belum pernah mendengar jawabannya.

Oleh karena itu, meski lambat, adanya tim gabungan task force amnesty masih patut disambut positif. Yang diharapkan adalah profesionalitas kerja tim gabungan ini dalam memvalidasi, memverifikasi, dan mengkaji dokumen Panama Papers. Tanpa pandang bulu.  Ya, memang ada benarnya,  lebih baik lambat daripada grusa-grusu.

 

Salam.

 

Ikuti tulisan menarik mohammad mustain lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler