x

Iklan

Yasin Mohammad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kita Butuh Revolusi

Kita butuh revolusi, bukan sekedar revolusi mental, revolusi politik, revolusi industri, revolusi hidup, dan revolusi lainnya melainkan revolusi yang seutuhnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Yasin Mohammad

(Direktur Eksekutif Lembaga Survei Independen Nusantara)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia adalah sebuah negeri yang dianugerahi Tuhan dengan segala hal yang memungkinkannya untuk tumbuh mekar menjadi bangsa yang besar. Memiliki 17.508 pulau, SDA berlimpah, kekayaan keragaman hayati terbesar kedua di dunia, dan keragaman budaya.

Inilah takdir sejarah, Tuhan memberikan semua yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa untuk menjadi besar kepada bangsa Indonesia. Tuhan telah mentakdirkan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar. Tapi, bangsa Indonesia kemudian apakah mampu memenuhi panggilan takdirnya tersebut? Apakah kebesaran anugerah Tuhan itu telah menjadikan kita sebagai negara yang besar di dunia?

           Kontras dengan semua kebesaran anugerah Tuhan itu, bangsa dan negara ini terjerat ke dalam berbagai persoalan yang membuatnya tak kunjung tumbuh sempurna sebagai negara-bangsa yang besar. Kekayaan alamnya tak membuat rakyat negeri ini menjadi makmur sejahtera.

Bukannya berdikari, Indonesia tumbuh dalam ketergantungan asing. Bukannya menjadi besar dengan semua kebesaran anugerah Tuhan, kita menjadi bangsa yang terbelakang di tengah semua keberlimpahan anugerah Tuhan itu. Belum lagi hutang asing yang terus bertambah. Bahkan hutang Indonesia tahun 2016 mencapai 3000 trliun lebih, Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?, tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dari revolusi Indonesia yang terhenti.

            Revolusi Indonesia mandeg (berhenti), begitu kira-kira peringatan Bung Karno kepada bangsa Indonesia. jauh-jauh hari Bung Karno sudah mengingatkan kepada anak bangsa, sebagaimana analisisnya yang tajam dalam pidatonya tahun 1959, “Kata Bung Karno pada saat itu, “Tetapi segala kegagalan, keseretan, kemacetan itu pada pokoknya disebabkan oleh karena kita sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, telah menyeleweng dari jiwa dari dasar, dan dari tujuan Revolusi.” Revolusi kemerdekaan Indonesia merupakan pengejawantahan kekuatan besar yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Revolusi kemerdekaan telah memperlihatkan bahwa jika rakyat Indonesia menggembleng jiwa revolusionernya, tak ada kekuatan imperialis yang akan sanggup bercokol lebih lama di bumi Indonesia. Lantas dimana jiwa revolusi itu sekarang?

 

Mengapa Perlu Revolusi

 

Pada saat penjajahan sudah dianggap sebagai takdir sejarah kehidupan masyarakat, dan revolusi seolah-olah bukanlah kebutuhan. Penjajahan dianggap sebagai sebuah takdir yang harus diterima. Toh, walaupun penjajahan terjadi, kehidupan masih tetap berlangsung, begitu kira-kira sesuatu yang dipikirkan. Pemahaman masyarakat telah dan harus mengikuti alur pemikiran dan logika para penjajah, mental yang ditanamkan adalah mental kaum terjajah. Saat itulah rvolusi mental menjadi sendi-sendi kebangkitan bangsa Indonesia dan kita butuh revolusi.

Kita telah merdeka tapi mental kita masih sebagai pribadi terjajah, penjajahan masih dianggap menjadi takdir sejarah. Eksploitasi akan kekayaan Indonesia oleh asing bidang energi (blok cepu, blok masela, blok mahakam), minyak, perkebunan, dan pertambangan (freeport) dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kewajaran. Praktik pungli, politik trasaksional, jual beli jabatan, praktik korupsi, dan kejahatan-kejahatan sosial lainnya seolah sebagai suatu hal yang lumrah.

            Dahulu bagi para pejuang itu semua adalah ketidakadilan dan merendahkan nilai-nilai kemanusian. Bagi para pejuang atau kaum revolusioner, semua keadaan tersebut harus diubah dengan jalan revolusi. Hasil daripada para pejuang yang bermental progresif revolusioner adalah terwujudnya cita-cita revolusi tahap pertama yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat.

            Lantas bagaimana dengan hari ini, kita telah merdeka tapi faktanya dalam sejumlah hal kita tidak berdaulat. Ketidakberdaulatan kita juga berarti kita masih berada dalam kondisi masyarakat lama (old nation) masyarakat yang terjajah. Ini artinya Proklamasi yang telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 baru menjadikan Indonesia sebagai negara baru (new state).

            Maka bagi Indonesia revolusi masih terus relevan untuk dijunjung dengan sebuah perubahan. Beruntung saat ini kita telah memiliki jargon revolusi mental dengan NAWACITA sebagai jalan. Mampukah revolusi mental menggerus berjamurnya para penghianat revolusi Indonesia.

             

Penghianat Revolusi

            Sejatinya revolusi jenis apa dan yang bagaimana untuk Indonesia sudah digariskan oleh para pendiri bangsa Indonesi dimasa kemerdekaan. Sayangnya, banyak orang lupa bahwa perjuangan revolusionernya Indonesia tidaklah berhenti hanya sekedar pada proklamasi kemerdekaan. Andaikata jiwa revolusioner itu terus digembleng dan diejawantahkan dalam medan kehidupan berbangsa dan bernegara, kita bisa petik mengenai kebesaran, kemakmuran dan keadilan bangsa dan negara usai proklamasi. Banyak orang Indonesia mengendurkan jiwa revolusionernya, dan kemudian berubah watak menjadi berwatak kompromistis terhadap kepentingan-kepentingan yang sesungguhnya bersifat parasit terhadap kepentingan negara-bangsa.

            Konsekuensinya, bangsa Indonesia didera dengan berbagai perselisihan dan pertentangan yang tiada akhir, serta berbagai kesulitan hidup sebagai bangsa dan negara yang diakibatkan oleh perselisihan dan pertentangan. Bukannya terus mempertahankan persatuan dan kesatuan untuk mewarisi dan melanjutkan kerja-kerja revolusioner dari pejuang-pejuang revolusi kemerdekaan, yang terjadi justru perpecahan hanya demi untuk kemajuan kepentingan pribadi atau golongannya saja. Semangat persatuan yang menjadi bagian integral dari jiwa-jiwa revolusioner pejuang-pejuang kemerdekaan hancur berantakan akibat keserakahan dan ambisi pribadi dan golongan elit politik.

            Akibatnya, bukan konsolidasi hasil-hasil perjuangan revolusi kemerdekaan demi membangun kebesaran negara-bangsa yang terjadi, justru konsolidasi keuntungan dan posisi demi kebesarannya masing-masing. Karena itu, tentulah mereka adalah golongan-golongan yang hanya sibuk mengejar kebesaran dirinya sendiri itu sebagai pengkhianat revolusi, sebagai pengkhianat bangsa, sebagai musuh revolusi.

            Golongan-golongan ambisius ini telah menyeleweng dari jiwa revolusi bangsa Indonesia. Tak akan mungkin berbicara mengenai bagaimana menjadi bangsa dan negara yang besar dengan golongan-golongan ini karena tak ada yang menarik hati mereka selain membicarakan pencapaian ambisi-ambisi dan kepentingan-kepentingan pribadi mereka. Tak ada yang lebih penting bagi mereka selain dari membesarkan dirinya dan golongannya sendiri. Bahkan bila perlu menjadi boneka kepentingan asing untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan revolusioner bangsanya sendiri.

Kita butuh revolusi, bukan sekedar revolusi mental, revolusi politik, revolusi industri, revolusi hidup, dan revolusi lainnya melainkan revolusi yang seutuhnya dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya demi menggapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara yaitu menuju bangsa yang hidup dalam keadilan dan kesejahteraan. Bangsa Indonesia juga butuh elit-elit politik yang menggelorakan jiwa-jiwa revolusioner menuju revolusi Indonesia yang seutuhnya.

Ikuti tulisan menarik Yasin Mohammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler