Kita mengenal konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang pro lingkungan dan konsep pembangunan berwawasan kependudukan (people centered development) yang pro penduduk. Ketika pemodal atau pengusaha masuk, konsep pembangunan yang mestinya ditegakkan, negara menjadi lemah, akibatnya terjadi degradasi lingkungan dan diabaikannya hak-hak penduduk.
Itulah yang menjadi tantangan pembangunan di Indonesia yang berimplikasi pada berbagai ranah kehidupan berbangsa termasuk politik, reklamasi teluk Jakarta dan Teluk Benoa antara lain menimbulkan kegaduhan politik yang berlarut-larut. Negara yang memperluas teritori atau daratannya dengan jalan menguruk atau mereklamasi lautnya antara lain adalah Singapura dan Belanda. Alasan yang paling mendasar mereklamasi adalah memperluas daratan agar bertambah luas karena negaranya memang kecil. Singapura negara kota, negara pulau itu sebelumnya luasnya lebih sempit dari luas DKI Jakarta sesudah reklamasi menjadi lebih luas. Indonesia sesungguhnya belum mendesak dilakukan reklamasi karena wilayahnya yang luas, namun terjadi disparitas tinggi dalam persebaran penduduk, di mana penduduk terkonsentrasi di Jawa, dan di Jawa terkonsentrasi di Jakarta. Reklamasi adalah tugas negara untuk memperluas daratan atau menghasilkan pulau sehingga menjadi milik negara dan nama pulau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kajian kearifan lokal, sehingga tidak tepat pulau diberi nama sesuai abjad yakni Pulau A,m B, C terus sampai Pulau Q, untuk kasus Teluk Jakarta..
Pembangunan Berkelanjutan
Konsep ini lahir dari sejumlah pemimpin negara dan pakar lingkungan di yang tergabung dalam Brundtland Commission yang difasilitasi oleh WCED (World Commission on Environment and Development) tahun 1987 di Norwegia. Komisi Brundtlan itu menyelesaikan tugas dan melaporkan hasilnya dalam Brundtlan Report yang berjudul Our Common Future. Konsep pembangunan yang menghasilkan adalah pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development, yang didefinisikan sebagai Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs (WCED, 1987).
Perkembangan terakhir, pemerintah Indonesia merumuskan kembali melalui regulasi berupa undang-undang yakni UU. 52 Th. 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, di mana regulasi ini menetapkan konsep pembangunan yang menekankan variabel kependudukan sehingga pembangunan harus memadukan variabel lingkungan dan variabel kependudukan. Sesuai regulasi itu, “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan terencana di segala bidang untuk menciptakan pembangunan ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa (UU. 52 Th. 2009. Pasal 1: 12)”. Dijelaskan bahwa Daya Dukung Alam adalah kemampuan lingkungan alam beserta segenap unsur dan sumbernya utk menunjang kehidupan manusia serta mahluk hidup lain secara berkelanjutan. Daya Tampung Lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup buatan manusia untuk memenuhi perikehidupan. Inti pembangunan berkelanjutan adalah memadukan tiga unsur fundamental dalam pembangunan, yakni triple P yakni Planet, bumi, baca lingkungan, People, penduduk, sumberdaya manusia dan Profit, keuntungan ekonomi. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi agar pembangunan tidak mendegradasi lingkungan, harus kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi masalah kependudukan terkait dengan tiga matra demografis yakni kuantitas penduduk, kualitas penduduk dan mobilitas penduduk. Era orde baru kependudukan sudah menjadi perhatian penting, dari aspek kuantitas terbukti program keluarga berencana (KB) yang dimulai tahun 1970, mampu mencegah 70 juta kelahiran, dan banyak negara ke Indonesia untuk berguru belajar KB. Pada era itu pemerintahan yang kurang demokratis, dalam pembangunan menempatkan penduduk semata-mata sebagai obyek pembangunan sehingga penduduk tidak sepenuhnya mendapatkan hak-haknya, termasuk hak bersuara, sehingga penduduk cenderung apatis. Terkait isu kependudukan itu, maka pada era reformasi para pakar kependudukan Indonesia memberi sinyal akan pentingnya konsep pembangunan berwawasan kependudukan (people centered development). Secara internasional, konsep ini telah lama lahir berdasarkan kesepakatan ICPD (International Conference on Population and Development) yg diselenggarakan di Kairo, Mesir tahun 1994, menekankan pd hubungan timbal balik antara kependudukan dan pembangunan. Di samping itu, dicetuskan pula pada konferensi Aspac (Asia Pasifif Conference) ke 5 di Bangkok Thailand pada Desember 2002, bahwa penduduk adalah sumberdaya yg pertama dan utama suatu bangsa. Berikutnya dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang berakhir tahun 2015, menegaskan keterkaitan antara kebijakan kependudukan dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan lainnya.
Pakar kependudukan Indonesia, Sofjan Effendi,(2000), mengemukakan konsep pembangunan berwawasan kependudukan adalah: Pembangunan berfokus pada penduduk sebagai sumberdaya manusia (SdM), pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan, pembangunan bersifat partisipatori, pembangunan tanpa diskrimasi dan marjinalisasi, pembangunan yang menghargai hak-hak minoritas. Selanjutnya BKKBN (2012), menyatakan bahwa Pembangunan Berwawasan Kependudukan dimaknai sebagai: menempatkan penduduk sebagai titik sentral pembangunan, esponsive thd data , informasi dan dinamika kependudukan, mampu merekayasa apa yang diinginkan dari berbagai matra, mewujudkan pembangunan berkelanjutan, pemberdayaan penduduk dan pembangunan SdM, memperhatikan kondisi dan potensi penduduk lokal, bersifat partisipatoris.
Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengawal Nawa Cita yang menjadi program pembangunan mestinya tegas menerapkan dua kosep ini secara konsisten dan konsekuen. Dua konsep ini menjadi bagian dari kebijakan pembangunan baik di pusat dan di daerah dengan regulasi yang tepat. Membangun dari pinggiran, daerah terluar, dari daerah perbatasan, dari pedesaan seyogyanya menjadi komimen investor, juga pengusaha juga/pemodal. Jika demikian maka lingkungan terselamatkan, hak-hak penduduk dijamin, berkeadilan, mereduksi marjinalisasi dan diskriminasi serta mencegah korupsi.
*) I Gusti Bagus Arjana, Guru Besar Univertsitas Nusa Cendana, Kupang, Ketua Koalisi Kependudukan Provinsi NTT).
Ikuti tulisan menarik gusti arjana lainnya di sini.