x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apakah Kamu Punya Kehidupan di Luar Pekerjaan?

Perusahaan kerap melupakan bahwa karyawan membutuhkan kehidupan lain di luar pekerjaan yang tidak kalah bernilai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Seorang karyawan yang sudah beberapa tahun bekerja di sebuah perusahaan mengajukan permintaan kepada manajernya agar diizinkan untuk bekerja dari tempat lain, sehari dalam sebulan. Ia bermaksud mendampingi ayahnya yang beranjak tua tapi masih mengelola tokonya. Biarpun hanya sehari dalam sebulan, ia berpikir kehadirannya berdampak baik bagi ayahnya maupun hubungan mereka berdua.

Sekurang-kurangnya ada dua respon yang mungkin diberikan atasan. Pertama, manajer menolak permintaan itu dengan alasan tak ada aturan perusahaan yang memungkinkan karyawan bekerja dari tempat lain kecuali ia sedang dalam penugasan. Kedua, karyawan diberi izin dengan pertimbangan beberapa pekerjaan dalam lingkup tugasnya dapat dikerjakan tanpa memerlukan kehadirannya di kantor atau tempat kerja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Manajer yang bersikap kaku akan memilih respon pertama, sedangkan manajer yang memahami pertimbangan kemanusiaan akan memberi izin dengan syarat pekerjaan tidak terganggu. Keputusan untuk memberi izin seperti ini, yang mungkin tidak diatur perusahaan, memang kembali kepada ‘kebijakan’ manajer.

Manajer dapat menerapkan peraturan perusahaan secara cukup lentur. Ia mungkin berpikir, dengan memberi izin, karyawan akan memberi imbal balik kepada perusahaan berupa komitmen yang lebih kuat. Maknanya, karyawan maupun perusahaan memperoleh manfaat dari ‘kebijakan’ yang diputuskan manajer.

Bahkan, seyogyanya, bukan hanya karena alasan seperti itu karyawan memperoleh kelonggaran, tapi juga urusan-urusan lain di luar pekerjaan tetapi penting bagi kehidupan dirinya maupun keluarganya. Misalnya, menghadiri wisuda anak yang bertepatan dengan hari kerja. Atau menghadiri penampilan anak di final lomba bernyanyi.

Dalam konteks ini, perusahaan mestinya bersikap lebih arif mengingat momen-momen seperti itu merupakan saat berharga yang dapat memperkaya kualitas hidup karyawan dan keluarganya, dan niscaya memberi manfaat pula bagi perusahaan. Karyawan yang bahagia akan berkontribusi lebih baik bagi kinerja perusahaan.

Pemberian izin bagi karyawan untuk melakukan aktivitas semacam itu memperlihatkan bahwa perusahaan dikelola tanpa melupakan segi-segi kemanusiaan: “Bukankah karyawan, manajer, hingga direksi adalah manusia?” Aspek ini yang sering dilupakan. Saya teringat curhat seorang kawan yang bekerja di BUMN besar, yang merasa seolah-olah bekerja untuk perusahaan selama 24 jam sehari, sebab atasan dapat menghubunginya kapan saja dengan berbagai cara—telepon, sms, email, WA, dsb.

Banyak manajer yang lupa bahwa karyawan memiliki kebutuhan hidup yang lain di luar pekerjaannya. Karyawan ingin tiba dan makan malam di rumah bersama keluarga, mengantar anaknya pada hari pertama bersekolah—sehingga ia mungkin datang terlambat ke kantor, atau menyaksikan anaknya bermain di final bola basket—capaian yang mungkin jarang terulang kembali.

Dengan diberi izin untuk melakukan kegiatan semacam itu, karyawan merasa diperlakukan dengan respek dan merasa lebih dihargai sebagai manusia, bukan sekedar sebagai karyawan. Banyak manajer lupa bahwa bekerja produktif bukan berarti terus-menerus bekerja selama 80 jam sepekan—yang pada umumnya dijalani oleh karyawan dengan rasa takut kehilangan pekerjaan.

Menarik untuk mengutip riset yang dilakukan Emma Seppala dari Stanford University maupun Christine Porath dari Georgetown School of Business, AS. Mereka menyimpulkan bahwa tim yang bekerja selama 40 jam sepekan akan bekerja dengan penuh percaya diri, merasa dihargai, senang, dan bangga. Kinerja mereka lebih baik bila dibandingkan dengan tim yang bekerja selama 80 jam sepekan dalam keadaan tertekan, kurang percaya diri, dan rasa takut. Karyawan yang bekerja lebih dari 50 jam sepekan akan memasuki wilayah diminished returns—ia telah melewati puncak kinerjanya, dan kemudian kinerjanya menurun.

Jadi, punya kehidupan lain di luar pekerjaan merupakan hal yang positif, bukan saja bagi karyawan, tapi juga bagi perusahaan. (sumber foto: worksthatwork.com)

***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler