x

Terdakwa kasus suap yang juga anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 8 Jun 2016. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Iklan

suhuf_esoterika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Obral Label Justice Collaborator

"Nyanyian" Damayanti telah membuat heboh penghuni Senayan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kabar tentang korupsi berjemaah kini kembali menduduki papan atas pemberitaan. Hal ini menyusul kesaksian Damayanti Wisnu Putranti di persidangan kasus penyuapan pemulusan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang melibatkan sejumlah anggota DPR.

"Nyanyian" Damayanti telah membuat heboh penghuni Senayan. Ia mengatakan dari kasus suap tersebut setiap anggota DPR mendapat jatah Rp 50 miliar dan ketua kelompok fraksi Rp 100 miliar. Jatah komisi untuk anggota DPR, menurut dia, seperti ban berjalan. Jika demikian kondisinya, dibutuhkan kegigihan penegak hukum untuk membongkarnya. Saksi pelaku yang mau diajak bekerja sama (justice collaborator) secara kalkulasi hukum dapat berperan dalam pemberantasan gurita korupsi di Senayan.

Sejak awal ditetapkan sebagai tersangka, Damayanti telah mengajukan diri sebagai justice collaborator. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mendukung penetapan justice collaborator sepanjang pemohon memenuhi persyaratan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemberian atribut justice collaborator dalam perkara korupsi belakangan ini menuai kritik karena berstandar ganda. Di satu sisi, orang yang sejak awal mengakui perbuatannya dan mau bekerja sama dengan penegak hukum malah tidak ditetapkan sebagai justice collaborator. Tapi, giliran ada tersangka yang menyangkal perbuatannya dan tidak mau membuka diri atas harta hasil korupsinya malah dijadikan justice collaborator. Fenomena obral label justice collaborator terjadi karena penegak hukum terlalu longgar menerapkan kriteria saksi pelaku yang mau diajak bekerja sama. Tidak ada standar penghitungan yang akurat seberapa besar kontribusi seseorang dalam mengungkap kasus korupsi.

Fenomena tersebut patut dicermati oleh penegak hukum dalam melaksanakan wewenangnya. Apalagi penyalahgunaan wewenang dalam penanganan perkara korupsi rentan terjadi lantaran persinggungannya dengan politik kekuasaan. Jika penegak hukum tidak berpijak di atas kekuatan independensinya, bukan tidak mungkin penetapan label justice collaborator hanyalah siasat untuk meringankan seseorang dari jeratan hukum.

Dalam setahun ini tercatat ada enam orang yang ditetapkan sebagai justice collaborator oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka, antara lain, adalah M. Yagari Baskara, Gatot Pujo Nugroho, Patrice Rio Capella, Evy Susanti, Nazaruddin, dan Rinelda Bandaso. Publik pasti mempertanyakan apakah keterangannya berhasil membongkar pelaku utama dan mengembalikan kerugian negara atau justru sebaliknya, menguntungkan koruptor.

Selama ini beleid tentang justice collaborator belum diatur secara komprehensif. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 hanya mengatur syarat menjadi justice collaborator dan itu pun untuk perkara tertentu, seperti terorisme, narkotik, dan korupsi. Beberapa syarat itu di antaranya adalah yang bersangkutan punya keterlibatan minimum dalam sebuah tindak pidana tertentu alias bukan pelaku utama, mengakui kejahatan yang dilakukannya, serta memberikan keterangan sebagai saksi pelaku yang kualitas keterangannya mampu mengungkap pelaku lain dengan peran lebih besar. Kompensasi yang diberikan kepada seorang justice collaborator adalah pidana percobaan bersyarat secara khusus atau menjatuhkan pidana penjara paling ringan di antara terdakwa lainnya.

Adapun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur secara spesifik tentang justice collaborator. Pasal 10 ayat 2 hanya menyatakan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana jika ia terbukti bersalah. Tapi, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan hukuman.

Mengamati posisi strategis justice collaborator dalam membantu penegak hukum mengungkap pemain besar dalam jaringan korupsi serta mencermati fenomena obral status justice collaborator yang kian tidak produktif, maka pengaturan syarat dan kriteria secara spesifik sangat penting segera dilakukan. Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan memberikan porsi pengaturan yang memadai mengenai justice collaborator merupakan conditio sine qua non.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti-Korupsi yang bisa dijadikan spirit filosofis dalam merumuskan aturan mengenai justice collaborator. Pasal 37 ayat 2 secara eksplisit mengafirmasi bahwa nilai-nilai moralitas hukum dari konvensi tersebut hendaknya dijadikan dasar dalam mengatur tentang justice collaborator. Dengan demikian, ke depan status justice collaborator diberikan kepada orang yang tepat dan tujuan pemberantasan korupsi dapat tercapai.

Ke depan, sebaiknya KPK bekerja keras mengumpulkan alat bukti serta meningkatkan kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Itu jauh lebih diutamakan daripada menetapkan justice collaborator tapi belum jelas kontribusinya bagi penegakan hukum.

Achmad Fauzi, ?Hakim Pengadilan Agama Tarakan

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 6 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik suhuf_esoterika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler