x

Presiden Jokowi (kanan) menyaksikan proses inseminasi pada sapi betina di lokasi pembiakan dan pengemukan sapi milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) di Rumpin, Bogor, 21 Juni 2016. Tempo/ Aditia Noviansyah

Iklan

Bhima Yudhistira Adhinegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Harga Daging Naik di Bulan Puasa?

Memutus Tradisi Inflasi Musiman Bulan Puasa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PENGANTAR REDAKSI

Sekarang orang meributkan soal harga daging naik dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan tingginya harga daging sapi belakangan ini karena kesalahann pemerintah. Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Indef, telah mewanti-wanti hal ini jauh-jauh hari dan mengingatkan bahwa masalah data pangan juga menjadi pangkal kekeliruan ini.

Memutus Tradisi Inflasi Musiman Bulan Puasa 

Tidak terasa sebentar lagi kita akan menghadapi bulan puasa dan permasalahan yang selalu sama tiap tahun: lonjakan harga bahan pangan yang menyebabkan inflasi naik 1-1,2 persen saat Ramadan dan Lebaran. Penyakit musiman ini sering dikaitkan dengan naiknya permintaan masyarakat. Namun terkadang kita bertanya, apakah betul naik drastisnya harga pa-ngan hanya disebabkan oleh meningkatnya permintaan? Bagaimana dengan sisi pasokan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jawabannya, jauh sebelum Ramadan, lonjakan harga yang membuat bingung masyarakat sebenarnya bisa ditemukan dalam beberapa komoditas utama, seperti daging sapi. Harganya tercatat meroket hingga Rp 120 ribu per kilogram dan terus bertahan di angka itu. Beberapa lembaga pemerintah saling tuding atas kabar bahwa kenaikan harga yang tidak wajar itu merupakan ulah kartel di tingkat pedagang. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang berwenang dalam urusan kartel pun langsung bertindak.

Sebanyak 32 perusahaan penggemukan daging (feedloter) disidang dengan tuduhan mempermainkan harga. Tidak tanggung-tanggung, nilai sanksi berupa denda yang dijatuhkan mencapai Rp 9,3 miliar per perusahaan. Dengan denda yang besar, banyak perusahaan itu kemudian mengajukan permohonan pailit alias bangkrut. Anehnya, setelah penetapan tersangka kartel itu, harga daging sapi di tingkat pedagang tidak turun. Artinya, sumber mahalnya daging sapi belum tentu disebabkan oleh kartel, justru lebih ke sisi distribusi atau logistik.

Karena peliknya masalah harga daging sapi ini, pemerintah pun mengeluarkan paket kebijakan IX tentang stabilisasi pasokan dan harga daging sapi. Dengan keluarnya paket tersebut, diharapkan pasokan sapi dapat tercukupi dari impor. Sayangnya, pemerintah rupanya lupa melihat bahwa struktur pasar impor sapi adalah oligopoli, sehingga pembentukan harga yang sifatnya kartel masih mungkin terjadi.

Artikel terkait:

Masalah Pangan

Menghitung Ulang Produksi Beras Kita

Sensus Ekonomi: Akurasi Data dan Kebijakan Salah

Impor sapi secara besar-besaran sepanjang 2015 tidak berpengaruh terhadap harga sapi di pasaran. Sebagai catatan, pada 2015, kebutuhan nasional daging sapi tercatat 653.980 ton, sedangkan produksi dalam negeri 416.090 ton, sehingga kekurangan yang diambil dari impor sebesar 237.890 ton. Impor sapi bisa dikatakan lebih dari setengah total produksi nasional. Kalau strategi impor ini memang mencukupi kebutuhan nasional, mengapa harga daging justru melonjak?

Ternyata, banyak data kebutuhan dan produksi yang ditemukan tidak sinkron antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian. Pemerintah akhirnya tidak bisa berpegang pada satu angka saja untuk menjawab berapa impor yang diperlukan dan berapa kebutuhan nasional yang harus dipenuhi agar harga stabil. Pengambil kebijakan di level teknis pun akhirnya bingung dalam menentukan jumlah pasokan yang ideal. Ujungnya, hal ini membuat akurasi kebijakan pengendalian harga dari sisi pasokan berantakan. Jadi, sebelum jauh melihat kebutuhan dan pasokan sapi nasional, instruksi Presiden tentang integrasi pusat data di satu lembaga, yakni BPS, harus segera dilaksanakan.

Kunci stabilitas harga pangan pada bulan Ramadan ada di tangan Bulog. Sebab, Bulog pada tahun ini tidak hanya bertugas menangani stabilitas pasokan dan harga gabah di tingkat petani, tapi juga punya tugas baru: mengendalikan 11 komoditas pangan strategis lainnya, seperti bawang merah, terigu, dan minyak goreng.

Dengan luasnya beban kerja ini, apakah dengan kinerjanya selama ini Bulog mampu mengamankan harga 11 komoditas tersebut? Faktanya, kinerja Bulog terbilang biasa-biasa saja. Dengan target yang sama pada 2014, pada 2015 realisasi penyerapan gabah dari petani hanya 70 persen. Ini menjadi bukti bahwa kinerja Bulog masih jauh dari ideal.

Betul memang, Bulog saat ini sedang melakukan pengawasan yang lebih detail terhadap gabah petani. Hanya gabah berkualitas baik yang diterima Bulog. Namun, perlu dicatat, kebutuhan akan beras terus meningkat. Jangan sampai pengawasan yang terlampau ketat justru memperpanjang prosedur distribusi pasokan beras dari petani ke konsumen, sehingga reformasi yang dilakukan justru kontraproduktif.

Sementara itu, infrastruktur yang dimiliki Bulog, seperti gudang-gudang penyimpanan di daerah yang total jumlahnya 1.500 unit, banyak yang kondisinya memprihatinkan. Dengan jumlah mitra mencapai 3.996 pada 2015, Bulog juga perlu melakukan perbaikan infrastruktur pada sisi petani, seperti perbaikan mesin penggiling padi.

Selain itu, sinergi antara Bulog, Kementerian Pertanian, dan badan usaha milik negara yang bergerak di sektor pertanian juga mutlak harus dilakukan. Namun, hingga saat ini, ego sektoral yang cukup besar dari masing-masing lembaga justru membuat perencanaan di sektor pertanian tidak berjalan.

Pendek kata, untuk memutus tradisi inflasi musiman pada bulan Ramadan, dibutuhkan kerja keras pengambil kebijakan di sektor hulu pertanian hingga distribusi logistik ke pasar-pasar. Jangan sampai masyarakat harus selalu dibuat maklum atas kenaikan harga bahan pangan tiap kali bulan puasa tiba. Apalagi kondisi perekonomian saat ini sedang sulit, sehingga yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan daya beli masyarakat adalah memperbaiki harga di sisi pasokan dengan berbagai kebijakan yang efektif.

Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti Indef

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 27 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik Bhima Yudhistira Adhinegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu