x

Seorang perempuan membaca Al Quran dilokasi terjadinya ledakan bom bunuh diri di Karada, Irak, 4 Juli 2016. Bom bunuh diri menyerang pusat perbelanjaan yang menewaskan sekitar 167 orang. AP/Hadi Mizban

Iklan

Despan Heryansyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Paradoks Al-Quran: Refleksi Malam Lailatul Qadhar

Sebagian besar penduduk Indonesia belum bisa membedakan mana Al-Quran sebagai mushab dan mana Al-Quran sebagai sumber atau pedoman hidup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selain dikenal sebagai syahrul ramadhan, bulan Ramadhan juga dikenal dengan istilah syahrul qur’an, yaitu bulan turunnya Al-Qur’an (kitab suci umat Islam), karena memang pada bulan ini wahyu yang pertama diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, bulan ramadhan menghadirkan suasana tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun, dengan jumlah umat muslim abangan (meminjam istilah Clifford Geertz) mayoritas, ada konsekuensi tersendiri bagi umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadahnya, termasuk dalam hal memaknai Al-Quran.

Sebagian besar penduduk Indonesia belum bisa membedakan mana Al-Quran sebagai mushab dan mana Al-Quran sebagai sumber atau pedoman hidup, sehingga tidak jarang kita melihat umat muslim mengagung-agungkan Al-Quran sebagai mushab tetapi dalam kehidupan sehari-harinya sangat jauh dari nilai-nilai Al-Quran. Betapa sering kita melihat seseorang yang mencium mushab Al-Quran dengan penuh penyesalan saat secara tidak senghaja menjatuhkan mushab Al-Quran di lantai, namun sebaliknya hampir tidak ada penyesalan saat secara senghaja ataupun tidak melanggar nilai-nilai Al-Quran. Penulis pernah mengalami kejadian saat sedang membaca Al-Quran di masjid kemudian ditegur oleh seseorang hanya karena meletakkan Al-Quran di lantai. Sejatinya, Al-Quran tidak dimaknai sebagai lembaran-lembaran tulisan arab harus dibawa kemanapun kita pergi, tetapi sesungguhnya lebih dari itu, Al-Quran adalah pedoman dan petunjuk hidup umat manusia. Maka yang seharusnya kita agungkan dan junjung tinggi adalah nilai serta pertunjuk di dalam Al-Quran, bukan lembaran-lembaran dalam bentuk mushab tadi.

Al-Qur’an Sebagai Mushab

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalau kita sedikit melihat sejarah peradaban Islam, mushab Al-Quran tidak ditulis pada masa Nabi Muhammad SAW, meskipun ada namun tidak menyeleruh dan hanya ditulis pada batu atau pelepah kurma. Pada masa khalifah Abu Bakar, atas usulan Umar bin Khatab baru kemudian Al-Qur’an disatukan dalam bentuk mushab, penyatuan ini diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Kemudian masa khalifah Utsman bin Affan baru kemudian mushab ini disebar luaskan keseluruh penjuru negeri dan dianggap sebagai mushab yang paling sah/shahih (tindakan khalifah Utsman ini dilatar belakangi oleh terjadinya perbedaan bacaan ataupun tulisan dikalangan para sahabat terhadap Al-Quran). Maka mushab Al-Quran yang sampai saat ini yang kita gunakan adalah mushab yang disebarluaskan pada masa khalifah Utsman ini, sehingga dikenal pula dengan istilah mushab Utsman.

Yang ingin penulis sampaikan melalui tulisan ini adalah Al-Quran sesungguhnya adalah pedoman dan nilai yang menjadi pegangan umat muslim dalam melakukan semua aktifitas kehidupan. Jadi terdapat kandungan nilai dalam Al-Quran yang tidak diketahui hanya dengan membaca teksnya saja (sekalipun dengan konsep one day one juz), Al-Quran tidak hanya tentang lembaran-lembaran bertuliskan arab dalam bentuk mushab, Al-Quran harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari agar akhlak kita menjadi akhlak Al-Quran, agar hidup kita menjadi kehidupan yang qur’ani.

Menjatuhkan Al-Quran sama sekali tidak mengurangi nilai dan kemukjizatan Al-Quran, begitupun menempatkan Al-Quran dilantai tidak berarti merendahkan Al-Quran. Tetapi saat kita melanggar nilai-nilai Al-Quran, tidak menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup, saat inilah kita sudah mempermainkanAl-Quran. Lebih dari itu, Tuhan tidak akan terhina dengan manusia menghina Tuhan, Al-Quran pun tidak akan rendah dengan manusia merendahkan Al-Quran. Indah sekali apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abu Thalib, “akulah Al-Quran yang berjalan”. Wallahu a’lam.

Despan Heryansyah,  Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII

Ikuti tulisan menarik Despan Heryansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler