Kamis siang. Naik angkot atau mikrolet melewati pasar Palmerah. Seorang lelaki naik dan langsung bercerita soal penggusuran pedagang buah yang baru saja terjadi di trorotar depan pasar.
"Kali ini tak ada ampun. Satpol PP langsung membawa gerobak dengan truk," kata pria kurus itu.
Sopir mikrolet yang berbadan besar langsung berkomentar sengit. "Siap-siap saja perang. Kalau orang perutnya lapar tapi terus diinjak akan nekat melakukan apa saja," kata dia.
Saya hanya sambil lalu menyimak obrolan mereka sambil memencet-mencet layar ponsel. Tapi, omongan si sopir berikutnya membuat kepala saya terangkat. "Kita juga sih yang salah, gubernur kayak gitu tetap dipilih," katanya. Wah, seru nih. Saya segera mengantongi ponsel.
"Pemerintah hanya terus membangun gedung dan apartemen. Padahal harusnya mereka membangun juga kios-kios untuk pedagang kecil. Jangan hanya asal gusur tanpa memikirkan perut rakyat yang lapar." Sopir itu terus nyeroscos.
Lelaki kurus yang tadi meladeni dengan memberi komentar-komentar pendek. "Coba lihat saja sepanjang jalan, minimarket banyak berdiri. Warung-warung kecil tersingkir. Siapa coba yang punya itu semua?" kata sopir itu lagi. Dia lantas menjawab sendiri tapi tak elok untuk dikutip di sini karena kalimat dia berbau SARA.
Ia lantas mengeluhkan kejadian dua hari sebelumnya, saat petugas dishub mengempesi ban-ban angkot di daerah kebayoran. "Padahal baru Lebaran. Kenapa sih mereka tidak ngomong baik-baik?" kata dia dengan jengkel. "Sopir-sopirnya juga bego-bego, mengapa mereka tak langsung geruduk para petugas itu, mereka tak bawa pistol kok."
Wow. Saya mulai menggeleng-geleng. Sopir itu masih terus nyeroscos memuntahkan kekesalannya soal ekonomi yang kian menghimpit dan sikap petugas yang dianggapnya tak manusiawi.
Saya sebenarnya masih penasaran untuk terus menyimak keluhanannya. Sayang, tujuan keburu sampai. Saya stop mikrolet itu dan turun. Namun, keluhan Pak Sopir tadi masih terus memenuhi benak saat kaki melangkah menuju kantor.(*)
Ikuti tulisan menarik Mang Ujang lainnya di sini.