Sosok renta itu masih saja sibuk membereskan piring dan peralatan makan lainnya. Waktu sudah bukan malam lagi, ini bahkan sudah menjelang dini hari.
Jika melihat raganya pasti orang tidak menyangka bahwa ia sampai saat ini masih menjadi tulang punggung keluarga. Harusnya sih tidak, karena nenek seusianya biasanya duduk-duduk manis sambil menimang cucu.
Apa daya, kedua anak perempuanya pergi meninggalkan kampung dengan mengamanahinya 3 orang cucu usia sekolah yang sarat akan kebutuhan harian yang tidak mungkin diabaikan.
Usianya tidak lagi muda. Renta malah....tapi ia tetap menjadi pekerja rumah tangga di rumah seorang Kepala Desa. Lelah menjaidi menu setiap hari yang harus ia rasakan. Semua dilakukan demi kehidupan cucu-cucunya. Tidak perlu bermewah, yang penting bisa jajan disekolah, meski hanya sekedar kembang gula yang harganya tidak seberapa.
Mbok Iyem, iya biasa dipanggil. Bekerja pada keluarga Kepala Desa, dengan tanggung jawab yang luar biasa, dari urusan makan hingga bersih-bersih rumah dilakukannya sendiri. Istilah kerennya, ia adalah kepala urusan rumah tangga, itu kalau meminjam istilah kerajaan Inggris. Tapi ini dusun kecil di kaki Gunung Tanggamus, yang diisi oleh transmigran dari pulau Jawa pada tahun 60-an. Bukan upah yang layak yang ia dapat setiap bulannya. Bahkan ada kalanya, upahnya harus ditunda diakhir musim panen, jika sang majikan tidak memiliki uang lebih. Tapi ini adalah pengabdian, meski sulit dan lelah ia tetap harus mengerjakannya.
Jika di luar sana para penggiat hak-hak pekerja rumah tangga sudah menyentuh pekerja di kota besar, para pekerja rumah tangga anak dan mereka yang mengalami kekerasan di lingkungan domestik, bagaimana dengan sosok Mbok Iyem? Yang jauh dari liputan media, yang jauh dari arus informasi dan sosial media, dan harus rela mengerjakan segala urusan rumah tangga majikannya tanpa ada kepastian jam kerja maupun upah yang didapat.
Tidak perlu berkata tentang upah minimum kota...bisa mendapatkan upah tiap bulan saja sudah cukup baginya. Tidak perlu berkata tentang jam kerja...bisa merebahkan badannya sesaat sebelum adzan Subuh saja sudah merupakan anugrah baginya. Tidak perlu berkatan tentang libur dan cuti... bisa menyapa cucunya meski hanya lewat jendela dapur sudah merupakan kebahagiaan tiada tara. (ip)
Ikuti tulisan menarik ita prihantika lainnya di sini.