Kesinambungan Fiskal RAPBN 2017 ~ Haryo Kuncoro
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBDefisit diproyeksikan senilai Rp 332,8 triliun, naik 12,2 persen dibanding patokan pada APBN Perubahan 2016.
Rancangan APBN 2017 telah dibacakan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan di DPR pada 16 Agustus 2016. Kendati penerimaan dan belanja negara susut, secara keseluruhan arah RAPBN 2017 tetap ekspansif. Defisit diproyeksikan senilai Rp 332,8 triliun, naik 12,2 persen dibanding patokan pada APBN Perubahan 2016 yang senilai Rp 296,7 triliun.
Alhasil, utang masih menjadi andalan pembiayaannya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, utang negara per Juni 2016 mencapai Rp 3.362,74 triliun, yang terdiri atas Rp 740 triliun utang luar negeri dan Rp 2.622,74 triliun utang dalam negeri. Angka ini melesat 18,4 persen hanya dalam tempo satu semester.
Membengkaknya utang menimbulkan kegalauan tentang kemampuan keuangan negara dalam memenuhi kewajibannya. Alhasil, kesinambungan fiskal menjadi isu utama dalam RAPBN 2017. Per definisi, kesinambungan fiskal dimaknai sebagai kemampuan APBN untuk membiayai seluruh kewajibannya dalam jangka panjang.
Literatur ekonomi menawarkan banyak kriteria kuantitatif untuk mengukur derajat kesinambungan fiskal. Kriteria yang paling sederhana berbasis pada prinsip dasar akuntansi, yaitu debet (penerimaan) harus sama besar dengan kredit (kewajiban).
Praktis, proyeksi penerimaan pada RAPBN 2017, yang mencapai Rp 1.737,6 triliun, tidak cukup untuk menopang target belanja Rp 2.070,5 triliun. Akibatnya, pemerintah harus "nombok" untuk menutup defisit Rp 332,8 triliun. Merujuk pada makna di atas, kegamangan awal terhadap kesinambungan fiskal amat masuk akal.
Sinyal peringatan ketidakmampuan fiskal juga terpancar dari penambalan defisit. Defisit ditutup dengan utang. Celakanya, estimasi utang pada tahun berjalan (Rp 404,3 triliun) lebih besar daripada defisit itu sendiri. Artinya, terjadi kelebihan aliran utang neto, alih-alih berutang sesuai dengan kebutuhan.
Utang yang ditarik pada periode berjalan beserta akumulasi utang pada tahun-tahun sebelumnya membawa konsekuensi finansial berupa kewajiban pembayaran bunga. Total penerimaan dikurangi belanja di luar kewajiban bunga didapatkan neraca keseimbangan primer (primary balance). Implisit, neraca keseimbangan primer menunjukkan kemampuan membayar bunga tanpa kehilangan kemampuan menjalankan fungsi utama APBN, yaitu sebagai sikap (stance) kebijakan fiskal dan ruang gerak fiskal (fiscal space) dalam pengelolaan ekonomi makro suatu negara.
Demi memelihara fungsi utama APBN, neraca keseimbangan primer wajib positif. Keseimbangan primer malah mencatatkan defisit sebesar Rp 111,4 triliun. Angka itu bahkan naik 5,6 persen dari sasaran APBN-P 2016 yang sebesar Rp 105,5 triliun. Intinya, struktur RAPBN 2017 sejatinya rapuh.
Kerapuhan RAPBN 2017 berlanjut pada modus pembayaran bunga. Untuk tahun depan, pemerintah menganggarkan Rp 210 triliun untuk membayar bunga. Dengan ruang gerak fiskal yang sempit, hanya ada satu kemungkinan pembayaran bunga berasal, yaitu dari kelebihan aliran utang neto. Dengan demikian, APBN sejatinya sudah insolvent, tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang.
Kecenderungan insolvensi yang terjadi sejak 2012 ini patut diwaspadai. Fenomena "gali lubang tutup lubang" membawa konsekuensi risiko gagal bayar (default) terhadap kewajiban pembayaran utang, dan bunganya menjadi semakin besar. Risiko default yang semakin besar itu menuntut suku bunga yang lebih tinggi lagi untuk mendapatkan utang baru.
Mengambil contoh utang dalam negeri, kecenderungan di atas tampaknya berlaku. Surat Utang Negara (SUN) atau Obligasi Ritel Indonesia (ORI) menawarkan bunga 8-9 persen yang lebih tinggi daripada tingkat bunga deposito perbankan pada umumnya agar pemilik dana mau memegang SUN dan ORI.
Suku bunga utang tersebut, celakanya lagi, lebih tinggi daripada target pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,3 persen. Sederhananya, beban bunga lebih berat daripada kapasitas ekonominya. Ini berarti pendayagunaan peran utang belum sampai pada level optimal sehingga tidak mampu memaksimalkan dampak berganda pada perekonomian domestik.
Imbas dari kondisi tersebut adalah rasio utang pemerintah atas PDB selalu meningkat. Pada 2014, misalnya, rasio utang publik mencapai 24,7 persen dan merangkak ke level 27 persen pada 2015. Rasio utang tersebut merupakan yang tertinggi dalam enam tahun terakhir. Alhasil, gradasi rasio utang mengisyaratkan probabilitas terjadinya jerat utang (debt trap) yang semakin besar.
Eksistensi defisit, aliran utang neto, neraca keseimbangan primer yang minus, insolvensi, dan meningkatnya rasio utang menjadi sehimpun variabel yang mengindikasikan bahwa RAPBN 2017 tidaklah berkesinambungan dalam arti luas. Menilik kinerja fiskal sebelumnya, implementasi fiskal 2017 mutlak harus mengedepankan aspek kesinambungan. Dalam konteks ini, pemerintah harus memastikan bahwa belanja infrastruktur mampu menjadi stimulus perekonomian. Hal ini ditujukan agar outcome-nya bisa diserap kembali dalam bentuk penerimaan pemerintah guna mengakselerasi surplus pada neraca keseimbangan primer.
Dalam jangka panjang, berbagai perubahan niscaya terjadi. Konsekuensinya, RAPBN 2017 harus memperhitungkan pula risiko semacam ini. Risiko muncul tatkala terjadi suatu peristiwa, baik yang dapat diperkirakan maupun yang terjadi di luar kendali. Semua ini membawa akibat tambahan kewajiban kontingensi yang lagi-lagi merecoki kesinambungan fiskal.
Haryo Kuncoro, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 24 Agustus 2016
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Perputaran Dana dan Keterbukaan Data ~ Haryo Kuncoro
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMembingkai Cukai Plastik
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler