x

Petugas memotong sapi kurban dalam Hari Raya Idul Adha di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Cakung PD Dharma Jaya, Jakarta Timur, 24 September 2015. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

Tasroh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korban Kartel Sapi

Hasil penelitian KPPU (2016) menyebutkan bahwa harga daging sapi tak dapat dikendalikan oleh negara selama ini lantaran dikuasai para pengusaha.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari raya Idul Adha yang dikenal umat Islam sebagai hari raya "kurban" di negeri ini tak selamanya bermakna mengagungkan kebesaran Alloh SWT atas perintah "berkorban" bagi umat manusia yang beriman. Karena yang terjadi justru "pengorbanan" umat yang akan berkorban dengan hewsb korban khususnya sapi! 

Disebut "pengorbanan" umat lantaran justru di masa umat Islam sangat membutuhkan ribuan sapi untuk korban idul adha, pasar sapi justru dikuasai para kartel yang mengendalikan harga pasaran sapi yang normal dan rasional. 

Hal ini ditegaskan oleh hasil penelitian KPPU (2016) yang menyebutkan bahwa harga daging sapi yang tak dapat dikendalikan oleh negara selama ini lantaran pasar sapi dikuasai para pengusaha dalam kubangan kartel. Yaitu jejaring pasar sapi yang dikontrol penuh oleh mekanisme segelintir pemodal untuk merekayasa harga dan jalur distribusi sapi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sayangnya, aksi kartel sapi yang benar-benar telah mengorbankan penderitaan baru bagi umat Islam yang hendak menunaikan perintah Tuhan itu tak hanya merusak nilai agama da keyakinan umat, tetapi sekaligus mengganggu kehidmatan umat menjalankan perintah-Nya. 

Bayangkan harga sapi akibat pasar dikontrol kartel jelang hari raya kurban, 12 September , kian menggila yakni mencapai Rp 100 juta, khususnya sapi yang kini dikenal sebagai "sapi limousine". Mirip dengan harga merk mobil mewah keluaran Amerika, sapi jenis limousine justru banyak diburu umat Muslim untuk hewan korban lantaran bentuknya tang besar, mirip bison, dengan daging yang melimpah. Sapi jenis baru itu konon merupakan hasil kaein silang antara sapi Bali dengan sapi impor Australia. 

Namun secara umum, umat sebenarnya tidak membedakan jenis sapi karena bagi umat yang penting adalah ketersediaan sapi di pasar dengan harga terjangkau. Sayangnya untuk keperluan tersebut, pasar sapi di dalam negeri masih tetap didominasi kartel sapi yang kini merepotkan umat dan pemerintah. 

Pertanyaanya bagaimana mencegah perkembangbiakan kartel sapi dan apa yang semestinya dilakukan umat dan pemerintah agar tak "dimakan" kartel? 

Awasi Jalur Distribusi 

Harus diakui seperti hasil kajian KPPU baru-baru ini, kartel (pasar) sapi berkembangbiak lantaran dipicu pasar sendiri, khususnya perilaku konsumen/ umat di masa-masa hari raya Qurban. Diakui, perilaku umat dalam berkurban cenderung mengikuti pasar dengan kebanggan tersendiri apabila bisa berkorban dengan hewan sapi. Hal ini meningkatkan permintaan sapi yang meluas dimana-mana. Catatan KPPU bahkan menyebutkan kebutuhan sapi yang tinggi tak hanya di musim idul Qurban bagi kaum Muslim dunia, tetapi juga dikonsumsi primer oleh industri makanan, perhotelan dan kuliner dimana-mana. 

Sementara itu, seperti disebutkan pakar pertanian, Bustanul Arifin, (2016) menyebutkan wilayah Indonesia dengan jumlah lahan yang luasnya 20 kali luas kawasan peternakan Australia dan 30 kali luasnya kawasan peternakan Thailand, justru masih bergabtung pada sapi impor. Salah satu alasannya sapi lokal (dikenal srbagai sapi rakyat--red), justru dicitrakan buruk oleh para pelaku padar domestik sendiri dengan menyebut sapi cacingan, sapi kerempeng atau sapi krisis daging. Obrolan para pengusaha sapi di pasar-pasar lokal itu secara langsung membatasi pasar sapi lokal di rumahnya sendiri dan momen itulah yang berhasil dimainkan oleh para kartel untuk melancarkan aksi pasarnya dengan kampanye sapi korban kartel. 

Kampanye " busuk" para kartel itu sayangnya ditopang oleh lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum di jalur distribusi sapi itu sendiri baik oleh pemerintah atau konsumen di pasar. 

Harus diakui, meskipun pemerintah melalui KPPU terus berteriak dengan eksistensu kartel sapi, bahkan konon sudah berlangsung puluhan tahun, toh hingga kini tak pernah terdengar " hasil tangkapan" KPPU terkait para terduga pengusaha kartel. Tragisnya ditengah jeritan umat / konsumen terkait aksi liar kartel sapi, pemerintah seolah tak terlihat sedang bekerja keras mengembangkan sapi lokal yang produktifitadnya hanya mampu memenuhi 47% kebutuhan pasar domestik. 

Sementara dari aspek pengembangan transgenetik sapi unggulan yang merupakan produk para peneliti / ahli peternakan nasional juga dibiarkan " banci" lantaran diketahui, produktifitas peneliti ternak sapi dari kalangan ahli/kampus di tanah air, dibanding para ahli asing, bak bumi dengan langit. Padahal tercatan ada 1.432 pakar peternakan khususnya sapi yang tersebar di kampus dan lembaga penelitian di megeri ini. Tragisnya ribuan pakar ternak itu kiprahmya nyaris tak terlihat karena hanya 0,002% hasil riset ternak yang ditindaklanjuti sampai menghasilkan jenis sapi ideal. 

Maka berkaitan dengan itu, rencana pemerintah yang akan mengetatkan tunjabgan guru besar dan peneliti di bidang pertanian dan peternakan patut diapresiasi guna sebagai media " hukuman" bagi para ahli ternak nasional untuk berkarya lebih nyata sesuai kebutuhan pasar nasional. Jika perlu bahkan, seperti di negara maju, Jepang, pemerintah Jepang hanya mengangkat guru besar dan ahli dengan tunjangan melimpah jika mereka mampu menghasilkan inovasi teknologi di bidang pertanian dan peternakan/perikanan hingga menghasilkan hewan ternak berbasis kearifan dan potensi lokal. Hal ini strategis ke depan lantaran berkait langsung dengan kondisi pasar ternak/ sapi itu sendiri. Dengan produktifitas riset ternak sapi yang sesuai kebutuhan pasar, dengan dukungan penuh pengusaha sapi nasional dan kinerja peternak lokal, secara simultan akan memperbaiki pasar sapi nasipnal agar dijauhkan dari tangan lartel. Di Jepang, untuk membatasi kartel, pemetintah mengatur jalur distribusi sapi dengan izin khusus yang diawasi ketat. Izin-izin peredaran sapi dan distribusi sapi demikian mampu mencegas aksi kartel sapi di pasaran. Kondisi pasar yang sempurna tersebut secara alamiah dapat menghambat perkembangan kartel sapi. 

Untuk alasan tersebut menjadi tugas pemerintah bersama aparat penegak hukum dan partisipasi umat mengawal distribusi pasar sapi hingga tuntas. Sekali- kali umat ingin mendengar para pelaku kartel itu diadili dan disiarkan ke publik sehingga berita adanya kartel pasar sapi tak sekedar hanya angin lalu, dan umat/konsumen tak lagi menjadi "korban" kartel sapi di tengah spirit religiusitas hari raya Qurban. Ingat, banyak umat rela berkorban mengikuti pasar, dan para kartel dibiarkan mengorbankan kepentingan umat/ konsumen. Karenanya penegakkan hukum bagi pelaku kartel harus segera ditegakkan segera!***

Oleh: Tasroh, SS.,MPA.,MSc

PNS di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Pemkab Banyumas

Alumnus Ritsu APU, Japan

Ikuti tulisan menarik Tasroh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler