x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Biarkan Kekuasaan Mengorupsi Dirimu

Sebelum pemegang kekuasaan mengorupsi uang negara, kekuasaan telah mengorupsi pribadi mereka lebih dahulu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hingga kini, ucapan mendiang Lord Acton, bangsawan dan politisi Inggris yang hidup di abad ke-19, ini masih kerap dikutip: “Kekuasaan cenderung korup.” Dengan kekuasaan di tangan, seseorang berpotensi terdorong untuk menyelewengkan kekuasaannya demi kepentingan sendiri—memperkaya diri dengan uang negara. Namun, sebelum itu terjadi, sesungguhnya kekuasaan telah terlebih dulu mengorupsi orang yang memegang kekuasaan—merusak karakternya.

Dan memang itulah yang mula-mula terjadi. Kekuasaan pertama-tama akan menggerogoti karakter orang yang tengah berkuasa agar ia menyelewengkan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya. Mendiang Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS yang hidup sepanjang 1809-1865, pernah mengingatkan perkara ini ketika ia berkata: “Hampir setiap orang akan sanggup menanggung penderitaan, tapi jika engkau ingin tahu karakternya, berilah ia kekuasaan.”

Apakah kata-kata Lord Acton dan Abraham Lincoln itu hanya kearifan belaka? Dacher Keltner, profesor psikologi di University of California, Berkeley, AS, menunjukkan argumen ilmiah yang dapat mendukung perkataan kedua figur itu. Selama lebih dari 20 tahun, Keltner melakukan penelitian di bidang perilaku dan ia menemukan pola serupa yang mengagetkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun orang-orang pada umumnya memperoleh kekuasaan melalui sifat-sifat dan tindakan yang memajukan kepentingan orang lain, seperti empati, kolaborasi, keterbukaan, bersikap adil, serta berbagi; namun ketika mereka mulai merasa berkuasa atau menikmati posisi istimewa, kualitas-kualitas tadi mulai tergerus. Dibandingkan dengan orang lain, setelah beberapa waktu kekuasaan membuat seseorang lebih mungkin bersikap kasar, egois, dan berperilaku tidak etis. Inilah fenomena ‘paradoks kekuasaan’.

Keltner menyimpulkan seperti itu setelah melakukan riset dengan berbagai latar, seperti di lingkungan perguruan tinggi, Senat AS, tim olahraga profesional, serta berbagai lingkungan kerja profesional. Mula-mula, orang-orang naik ke jenjang yang lebih tinggi dalam organisasi dengan berbekal kualitas-kualitas yang baik, seperti sikap empati, berbagi, membantu orang lain, dan sejenisnya. Namun, ketika tangga kekuasaan yang mereka daki semakin tinggi, perilaku mereka justru semakin buruk. Kualitas-kualitas baiknya mulai tanggal.

Apa yang agak mengejutkan dari riset Keltner ini ialah bahwa pergeseran ini dapat berlangsung cepat, terlebih lagi bila kekuasaan itu demikian besar. Kekayaan pun dapat menimbulkan efek serupa. Untuk menemukan bukti-bukti, Keltner antara lain mengobservasi perilaku pengendara mobil. Mereka yang mengendarai mobil yang kurang mahal selalu memberi kesempatan kepada pejalan kaki untuk menyeberang, sedang orang-orang yang mengendarai mobil mewah hanya memberi waktu 54% dari semestinya kepada pejalan kaki yang menyeberang.

Survei lain yang dilakukan di 27 negara bagian, yang dikutip oleh Keltner, mengungkapkan bahwa individu kaya cenderung mengatakan bahwa terlibat dalam suap sebagai tindakan yang dapat diterima. Riset lain yang dilakukan oleh Danny Miller di HEC Montreal menunjukkan bahwa para CEO bergelar MBA lebih suka menyenangkan diri, misalnya menambah kompensasi sendiri, dibandingkan dengan CEO tanpa MBA.

Beberapa studi lain juga memperlihatkan bahwa orang-orang yang berada di posisi berkuasa dalam perusahaan bersikap tiga kali lebih buruk dibandingkan dengan para manajer di bawahnya. Mereka merasa punya hak untuk menginterupsi anak buah kapan saja, melakukan aktivitas lain saat rapat—tiba-tiba mengobrol dengan temannya lewat telepon, mudah menaikkan nada bicara, dan meremehkan atau bahkan menghina orang lain di kantor.

Itulah paradoks kekuasaan: seseorang naik ke kursi kekuasaan dengan berbekal kualitas baik yang ia punya, tapi kemudian kekuasaan mulai menggerogoti kualitas baik itu—ia, pada akhirnya, bukan memegang kekuasaan, melainkan di bawah pengaruh dan kendali kekuasaan. Tantangan bagi mereka yang ingin berkuasa ialah sanggupkah Anda menghindari paradoks ini dan tidak membiarkan diri Anda dikorupsi oleh kekuasaan. (Foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler