x

Foto Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan 66 dari Universitas Indonesia. Istimewa/Dok Pribadi Josi Katoppo

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

6 Hal Tentang Soe Hok-Gie yang Tidak Banyak Diketahui

Selama ini, publik mengira-ngira bagaimana watak dan keseharian Hok-gie.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tokoh demonstran Soe Hok-gie sudah wafat hampir 50 tahun lalu. Tapi para aktivis muda, terutama mahasiswa, belajar berpikir radikal dan kritis salah satunya dengan membaca Catatan Seorang Demonstran, catatan harian yang ditulis Soe Hok-gie sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Selama ini, publik mengira-ngira bagaimana watak dan keseharian Hok-gie. Film dan buku-buku menjadi cara masyarakat mengenal lebih dekat kepada tokoh yang wafat pada 16 Desember 1969, atau sehari sebelum ia berusia 27 tahun itu.

Tapi, keterangan berbeda disampaikan para sahabat Hok-gie yang masih hidup, seperti Herman Lantang, Aristides Katoppo, Josi Katoppo, Jeanne Mambu, Rudy Badil, hingga adik kandungnya, Jeanne Sumual. Ini lima sifat Hok-gie seperti gambaran mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Doyan Bercanda

Dalam film GIE, Hok-gie digambarkan sebagai sosok yang serius dan pemikir. Hok-gie memang gemar membaca buku, suka berpikir kritis, tapi itu tak membuatnya kehilangan selera bercanda. Menurut Rudy Badil, Hok-gie selalu menyebut beberapa teman wanitanya itu janda-jandanya. “Jangan lupa berikan ini kepada janda-janda gue,” kata Hok-gie kepada Rudy saat naik Gunung  Semeru beberapa jam sebelum meninggal. Beberapa kali ia menjahili teman-temannya (tapi tunggu, yang bagian ini saya agak lupa).

Satu hari, teman-temannya menyusun rencana membalas dendam. Saat berkemah di Pangandaran, mereka memasukkan wanita penghibur ke dalam tenda Hok-gie yang saat itu tengah sendirian. Hok-gie mengamuk. “Segera kami keluarkan, takut wanita itu diajak ngobrol politik sama Hok-gie.”  

Cerewet

Mungkin tak pernah terbayangkan tipe pemikir ini doyan ngomong. “Film GIE itu salah casting. Aslinya Hok-gie ini cerewet banget,” kata Rudy Badil. Rudy mencontohkan dalam perjalanan terakhir Soe Hok-gie ke Gunung Semeru, selama  delapan jam perjalanan kereta, dia tak berhenti bicara soal sejarah kereta api. “Kami sampai bingung ini orang apa kagak capek ngomong terus,” ujar Rudy. Hal itu diamini oleh Herman Lantang.  “Dia itu apa saja diomongin, betah ngomong.”

Adik Hok-gie, Jeanne Sumual juga menuturkan, watak cool yang diperankan Nicholas Saputra sebagai pemeran Gie itu tidak tepat. "Cool itu lebih cocok ke kakak saya satunya, Arief Budiman. Kalau Hok-gie itu doyan ngomong."

Tidak Berani Melamar Perempuan

Sudah banyak yang mengetahui jika Hok-gie ini memiliki cinta platonis. Kedekatannya dengan tiga perempuan, yang sama-sama diperlakukan manis itu, tidak ada yang berujung ‘jadian’. Ketiganya adalah: Kartini, Luki, dan Maria (yang ini bukan nama sebenarnya). Penyebabnya, Hok-gie ini tidak benar-benar berani menyatakan, “aku akan melamar kamu di depan orang tuamu.” Soal ini dibenarkan oleh Rudy yang rumahnya tak jauh dari rumah Maria di sekitar Tanah Abang. “Naik becak saja gak berani berdua, maunya bertiga sama saya.” Sahabat lainnya, Jeanne Mambu menuturkan, Hok-gie pernah ditantang untuk melamar Maria. “Ah mana mau orang tuanya sama cina kere seperti aku.”

Gampang Tersesat

Meski Hok-gie ini salah satu pendiri tim pencinta alam Mapala UI, bukan berarti ia khatam banget jalur pendakian. Josi Katoppo, sahabat baiknya, memiliki memori menggelikan soal ini. “Kalau kami mendaki duluan, pasti kami tersesat. Biarpun jalannya sudah hapal ya tetap tersesat.”

Tukang Bawa Logistik

Iya, Hok-gie yang dikenal berbadan kecil ini ternyata amat kuat. Saat mendaki gunung, dia kuat membawa beban sampai 40 kilogram ke puncak. “Kami sering memanfaatkannya memanggul barang-barang kami,” kata Aristides Katoppo.

Suka Ngijon Tulisan

Sebagai penulis, honor Hok-gie diterima setelah naskahnya dimuat. Tapi ia kerap mengijon tulisan kepada bos Sinar Harapan, Aristides Katoppo dan Kompas, Jacob Oetama sebelum tulisannya dimuat agar bisa mendaki gunung. “Biasanya kalau sudah bisa mengijon, dia mengongkosi pendakian kami semua,” kata Rudy. Aristides tidak membantah. “Tapi gantinya, dia membuat tulisan dengan data yang bagus.”

Rudy, wartawan senior Kompas menuturkan, pendakian ke Semeru itu diongkosi dengan mengijon tulisan ke Kompas. “Yang rugi Jacob. Sampai di Puncak, Hok-gie gak turun lagi.” Ya, setelah dari puncak mahameru, Hok-gie menjadi korban gas beracun bersama Idhan Loebis. Ia naik dan tak pernah turun.  

Majalah Tempo edisi khusus Gie dan Surat-surat yang Disembunyikan 10-16 Oktober 2016

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

5 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB