Melihat dari Dekat Desa Kita bersama "Noong"
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBIni adalah tulisan tentang Noong, sebuah media komunitas di desa Katapang Kab. Bandung yang dirintis oleh seorang mantan jurnalis
Fadly Rahman
Kita selalu merasa dekat dengan desa di mana kita lahir dan tumbuh hidup. Namun nyatanya, kita tengah bahkan telah menjauh darinya. Kedangkalan modernitas dengan segala gaya hidupnyalah yang membuat kita kian berjarak jauh dari desa. Tengok saja wajah desa hari ini: sliweran jumlah kendaraan terus membengkak, knalpot-knalpot motor bising mengerikan membikin telinga pekak, lahan-lahan pangan terus menyusut ditanduri bangunan-bangunan beton, lingkungan telah tercemar sampah masyarakat, dan masyarakat telah kehilangan jatidirinya tatkala tanpa disadarinya mereka terus dirusak oleh nilai-nilai semu materialisme hingga fundamentalisme beragama dan kesukuan.
Terlalu jauh tersesat dalam kedangkalan modernitas telah membuat mata kita rabun dekat terhadap desa sendiri. Dan tatkala tak ada media pengontrol, maka permasalahan desa menjadi kian pelik. Desa membutuhkan adanya media yang informatif. Namun media yang bukan sekadar hanya sebagai penyebar informasi saja, melainkan juga sebagai penyadar bagi warga untuk selalu peka melihat dan memahami permasalahan di desanya lalu menyadari bagaimana hal itu dipakai untuk memecahkannya sebagai tahapan untuk membangun dan merawat desanya.
Media Komunitas Noong
Bersandar pada pemikiran di atas dengan dilandasi ide mencari solusi permasalahan di desa, maka seorang mantan jurnalis sebuah media lokal di Bandung, Lina Nursanty, merintis sebuah komunitas bernama Noong di kampung halamannya, Desa Katapang, Kabupaten Bandung. Bukan hanya ada di Katapang. Bekerjasama dengan seorang rekannya yang sesama mantan jurnalis, Sabria M. Sabri, Komunitas Noong juga memiliki sebuah cabang di Desa Cimenyan.
“Noong” sendiri merupakan kata lawas dan sederhana dalam bahasa Sunda. Jika ditelusur secara historis, kata kerja berkata-dasar toong ini ternyata didapati dalam entri A Dictionary of the Sunda Language karya linguis Inggris, Jonathan Rigg, tahun 1862, yang artinya “melihat” (to look at) atau “menengok” (to peep at). Rigg memberikan contoh menarik kata ini melalui frase “batur gering kudu di to-ong” (teman sakit harus ditengok). Dengan sedikit berpijak pada latar sejarah kebahasaan itu, maka nama Noong dirasakan mewakili perasaan Lina dan sekelompok anak muda di Desa Katapang dan Desa Cimenyan yang gelisah melihat tengah “sakitnya” kehidupan di desa.
Dengan mengusung semboyan “meneropong yang dekat-dekat”, Noong ingin lebih mendorong dan menyadarkan kepekaan masyarakat dalam memahami dan memecahkan permasalahan terdekat yang ada di sekitarnya. Mengingat kedua desa ini berbasis kebudayaan Sunda, maka nilai-nilai kearifan lokal kesundaan yang bermaslahat bagi hidup keseharian perlu ditumbuh-kembangkan melalui diseminasi pengetahuan lokal dan program-program terpadu. Dan “me-noong” berbagai permasalahan desa melalui pena dan mata lensa jurnalistik adalah cara Noong untuk menyuarakan suara masyarakat desa yang selama ini tidak pernah tersuarakan oleh media-media cetak mainstream (pun jika diliput itu hanya mencakup permasalahan di permukaan atau menyuarakan kebijakan pemerintah daerah belaka yang tidak menyentuh akar permasalahan sebenarnya di desa).
Jurnalisme Warga dan Budaya Literasi
Cita-cita untuk merintis-bangun media komunitas desa perlu diwujudkan salah satunya melalui program pelatihan jurnalisme warga bagi para pemuda Desa Katapang dan Cimenyan. Mereka sejatinya adalah para agen perubahan untuk membangun desanya. Namun alangkah sayang, carut marutnya tata kelola pembangunan desa telah menutup berbagai potensi mereka. Spirit para pemuda dalam belajar selepas tamat sekolah kini banyak teralihkan ke pabrik-pabrik yang tak lebih mencetak mereka menjadi tenaga buruh. Walhasil, mereka yang seharusnya berada di garda depan menjaga identitas desanya menjadi abai dalam melihat berbagai permasalahan di sekitarannya.
Jurnalisme warga merupakan sarana ideal untuk menumbuh-kembangkan kembali spirit bagi para pemuda desa untuk belajar dan terus belajar. Salah satu penunjang vital dalam mendukung program jurnalisme warga adalah membangun eksistensi perpustakaan sebagai ruang bagi publik untuk belajar. Hakikatnya, keberadaan perpustakaan dapat membiasakan warga untuk memanfaatkan buku-buku sebagai rujukan baginya untuk menyikapi permasalahan dalam hidup keseharian; dan juga membiasakan mereka untuk berguyub mendiskusikan berbagai isu terkini melalui jalur literasi. Menanamkan kembali budaya literasi –di tengah rendahnya indeks budaya membaca di Indonesia– sama artinya menyehatkan mental serta menumbuhkan intelegensia warga dalam membenahi permasalahan di sekitarannya. Dan menumbuhkan minat baca adalah kunci untuk membuka pintu masuk dalam menumbuhkan aktivitas menulis. Sebagaimana dikatakan oleh sastrawan Argentina, Jose Louis Borges, bahwa “membaca merupakan tindakan yang lebih intelek daripada menulis”.
Dalam mengasah minat para pemuda untuk menulis sebagai modal utama dalam praktik jurnalisme warga, maka hal yang penting ditekankan oleh Komunitas Noong adalah menajamkan terlebih dahulu minat bacanya. Perpustakan “Beunghar ku Elmu” (kaya akan ilmu) milik Komunitas Noong mengawal pemikiran para bakal jurnalis warga dalam mendengar, mengamati, dan mewartakan hal-hal yang terjadi di desanya. Mereka dilatih untuk terjun ke masyarakat dan menyigi berbagai peristiwa di desa lalu membuat reportase yang selama ini dianggap biasa dan diabaikan oleh warga.
Selain telah memiliki website (www.noong.or.id), mencetak surat kabar desa merupakan obsesi Noong yang kini tengah melakukan pelatihan para pemuda desa Katapang dan Cimenyan untuk menjadi calon jurnalis warga. Dan surat kabar Noong yang ditargetkan mulai terbit pada 20 November 2016 nanti diharapkan menjadi penanda dan role model perubahan sosial yang positif bagi pemberdayaan desa-desa di Indonesia. Bersama Noong mari melihat desa kita dari dekat.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Antara Libur dan 'Kurang Piknik'
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBHoax, Ujaran Kebencian, dan Kebodohan Sejarah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler