x

WS Rendra/TEMPO/Yosep Arkian

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Deklamator Terbaik Indonesia (Bagian 1)

Deklamator sajak/puisi di Indonesia sejatinya sangat banyak dan banyak pula yang memiliki kemampuan deklamasi yang memukau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Deklamator sajak/puisi di Indonesia sejatinya sangat banyak dan banyak pula yang memiliki kemampuan deklamasi yang memukau. Yang menggembirakan dari perkembangan deklamasi puisi di Indonesia adalah keberanian mengeksplorasi yang tinggi. Di mana seorang deklamator siap menjadikan teks puisi lebih hidup dengan konsep pemanggungan yang total dan tidak tersekat oleh aturan-aturan pembacaan sajak masa silam yang mendayu-dayu dan menjemukan. Keberanian itulah yang membuat deklamasi di Indonesia terbilang beragam. Meski pada sisi tertentu, masih ada (untuk tidak mengatakan banyak) deklamasi sajak di Indonesia juga mengalami satu fase menyedihkan. Di mana banyak pembaca puisi yang hanya memimesis deklamator lainnya. Misalnya, W.S Rendra wanna be, Sutardji Calzoum Bachri wanna be, etc.

Akibat yang dilahirkan adalah sedikit di antara mereka yang benar-benar memiliki keunikan, sehingga diingat dan dinanti betul oleh masyarakat. Ini sangat disayangkan, karena dari kualitas suara, ekspresi, dan gesture sudah memadai menjadi deklamator yang memukau, tapi lantaran tidak bisa lepas dari belenggu keterpengaruhan, menjadikan mereka nyaris sulit diidentifikasikan. Terlebih dalam lomba-lomba deklamasi antarpelajar, keadaannya cukup mengkhawatirkan, anak Sekolah Dasar saja bisa membaca puisi dengan gaya W.S Rendra. Bagus memang bagus, tapi bagus saja tidak cukup dalam dunia deklamasi, terutama di Indonesia. Harus memiliki kekuatan yang benar-benar lain dan bisa diingat.

Apapun, waktu selalu punya cara untuk menunjukkan siapa yang harus muncul sebagai deklamator sajak yang berkarakter dan mana yang tidak. Setuju atau tidak, nyatanya sedikit yang muncul di permukaan dan banyak yang tenggelam di kedalaman. Barangkali, nama-nama yang akan disebutkan adalah mereka yang muncul di permukaan. Dikenal sebagai seorang deklamator sajak yang banyak dijadikan guru bagi deklamator lainnya. Hal ini , pada kondisi dan sudut pandang tertetu, bukan berarti yang tidak disebutkan tidak layak dijadikan guru atau lebih buruk dari yang disebutkan, ini hanya soal siapa yang tercatat dan tidak tercatat, mengenai kualitas, ini bukan tolok ukur yang mutlak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang perlu juga diingat, tulisan ini tidak memasukkan aktor teater sebagai deklamator, terkecuali yang sering mendeklamasikan sajak di depan umum, sehingga sajak menjadi identik dengan dirinya. Artinya, tidak hanya sesekali membaca kalau diminta membaca. Lantaran aktor teater pada dasarnya memang memiliki kemampuan mendeklamasikan sajak, mengingat latar belakang disiplin latihan mereka yang sangat memungkinkan menjadi deklamator yang kuat. Berikut nama-nama deklamator—yang sebagian besar merupakan seorang penyair juga—dari waktu ke waktu yang dapat saya catat dari dokumentasi dan ingatan saya yang terbatas.

W.S RENDRA

Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih dikenal dengan nama W.S. Rendra adalah penyair fenomenal kelahiran di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa dan buku terbitan berbagai daerah di dalam dan di luar negeri.

Semasa hidupnya, ia telah berkali-kali mewakili Indonesia dalam ajang sastra Internasional di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Berbicara tentang karyanya, begitu banyak. Yang paling terkenal di antaranya Ballada Orang-orang Tercinta, Blues untuk Bonni, Potret Pembangunan Dalam Puisi, dan Do'a Untuk Anak-Cucu.

Mengenai deklamasi sajak, Rendra tidak diragukan lagi. Ia adalah icon deklamasi sajak Indonesia. Rendra benar-benar bisa menghidupkan sajak di atas panggung. Ia yang akan benar-benar berapi ketika membacakan sajak protes. Ia yang begitu intim ketika membacakan sajak cinta untuk ‘Mak. Ia yang benar-benar tahu porsi produksi suara dan porsi gerak, berikut dengan ekspresi yang juga proporsional. Hal ini yang membuat pementasan W.S Rendra selalu dipenuhi oleh penonton. Deklamator sajak yang mengandung kekuatan magis, di mana penonton akan terbawa masuk ke kedalaman penghayatan seorang W.S Rendra.

Mengenai produksi suara, Rendra memiliki suara yang bening. Tidak terdengar serak atau seperti orang berdahak sebagaimana para deklamator sajak hari ini yang kerap dibuat-dibuat agar terdengar serak dan berat. Rendra lebih mengandalkan suaranya apa adanya, dengan begitu, Rendra menunjukkan kualitas yang sederhana tapi mengena.

SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Sutardji Calzoum Bachri merupakan penyair nyetrik dengan sajak nonsense dan gaya deklamasi sajak yang aneh. Lelaki kelahirkan Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941 sempat bikin heboh di Indonesia dengan kredonya yang menyatakan bahwa kata bukan satu-satunya membawa makna, karena makna tidak menyerah kepada kata. Meski pada waktu itu banyak penolakan terhadap kredo Sutardji, nyatanya ia hingga kini masih terus bertahan sebagai penyair, bahkan (konon) ia adalah Presiden Penyair Indonesia.

Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Mengenai karyanya, sebenarnya tidak banyak yang benar-benar diingat, atau memang ia bukan penyair dengan produktivitas yang tinggi. Karya yang paling membekas dan terus dibicarakan hingga hari ini adalah O Amuk Kapak yang berisi sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979.

Mengenai deklamasi sajak, ia merupakan deklamator aneh yang selalu memberi kejutan, tidak saja bagi penontonnya, melainkan bagi panitia pelaksana. Seorang kawan. Dadang Maskur, ketika masih menjadi mahasiswa di salah satu Universitas di Bekasi, mengundang Sutardji untuk mendeklamasikan sajak-sajaknya. Panitia saat itu sudah menyediakan panggung dan berbagai hal yang kira-kira diperlukan Sutardji ketika mendeklamasikan sajaknya. Apa yang terjadi di luar dugaan, Sutardji meminta panitia mengumpulkan drum di lapangan dan Sutardji membaca sajak di sana, meninggalkan panggung.

Yang paling menonjol dari deklamasi sajak ala Sutardji adalah gerakan tubuh yang aktif. Ia bisa melompat-lompat, guling-guling, berlari, atau jingkrak-jingkrak. Ia juga kerap menggunakan harmonica sebagai instrument pendukung. Pembacaan ala Sutardji ini cukup banyak ditiru. Meski demikian, tidak berarti yang mendeklamasikan sajak dengan lompat dan sebagainya itu pasti meniru Sutardji. Mengenai produksi suaranya, Suara Sutardji cenderung serak dan sedikit berat. Di usia tuanya, kini, Sutardji tidak lagi mendeklamasikan sajaknya sebagaimana ia muda. Sekarang lebih tenang dan cenderung tidak banyak bergerak.

IMAN SOLEH

Lelaki yang mulai serius berkesenian semenjak 1983 ini termasuk deklamator terbaik Indonesia. Di STB (Study Club Teater Bandung) ia mengenyam pendidikan teater dan memulai langkahnya sebagai seorang aktor. Kemampuannya kian terasah semenjak ia mempelajari seni teater di berbagai negara asia maupun eropa, Jepang, Philipina, dan Perancis. Bahkan, komunitas CCL pada 2007 berkesempatan main di lahore, Pakistan, serta berkolaborasi dalam pentas keliling bersama Sidetrack Theater dalam produksi The Tangled Garden yang dipentaskan di Jakarta dan Australia. Sebuah jalan panjang yang penuh perjuangan untuk sampai pada Iman Soleh hari ini. Iman Soleh yang benar-benar diperhitungkan di Indonesia. Meski ia juga menulis sajak, tapi ia lebih dikenal sebagai aktor dan salah satu deklamator terbaik Indonesia.

Iman Soleh kerap dipercaya sebagai dewan juri lomba deklamasi sajak tingkat Nasional. Ia juga tidak jarang diundang sebuah stasiun televisi untuk mendeklamasikan sajak. Iman Soleh lebih banyak membaca sajak penyair lain, bukan sajak-sajaknya. Mungkin Iman juga memahami, di mana maqam bagi dirinya yang sebenarnya. Maqam sebagai aktor, sebagai sang deklamator.

Hal yang paling kuat pada diri Iman Soleh ketika mendeklamasikan sajak adalah kemampuannya mengolah airmuka. Iman Soleh bisa melakukan perpindahan ekspresi dalam hitungan detik tanpa terlihat perpindahan antara satu ekspresi ke ekspresi yang lainnya. Hanya orang yang memiliki pengalaman dan waktu latihan yang cukup saja yang bisa melakukan hal tersebut. Selain itu, Iman Soleh sangat pandai melakukan perpindahan gerak yang tidak kentara. Perpindahannya sangat lembut. Dari sekian banyak yang mesti dipelajari dari Iman Soleh, kedua hal itu yang paling penting dipelajari darinya.

Artikel terkait

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB