x

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sejarah Indonesia, Sebuah Wacana

Masyarakat Indonesia tidak kekurangan tokoh sejarah yang mampu membangkitkan semangat hidup dan semangat perjuangan dalam pengertian seluas-luasnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masyarakat Indonesia tidak kekurangan tokoh sejarah yang mampu membangkitkan semangat hidup dan semangat perjuangan dalam pengertian seluas-luasnya. Buku-buku pelajaran telah begitu fasih dan khatam (dihatamkan secara paksa) menyebut sekian banyak nama semisal Soekarno, Hatta, Syahrir, Tuanku Imam Bonjol, bahkan bagi perempuan telah disediakan nama R.A Kartini yang kemudian disebut sebagai Ibu Indonesia, yang selalu dirayakan sebagai Hari R.A Kartini. Hari dimana seorang perempuan memaknai kebebasan dengan cara yang timpang. R.A Kartini yang kadung dijadikan percontohan ideologi perempuan-perempuan Indonesia di manapun berada.
 
Nama-nama tersebut dalam konteks tertentu tidaklah punya soal untuk diperdebatkan. Keberadaan mereka memang penting dicatat, diingat, dan dipelajari sebenar-benarnya. Dipelajari dengan teliti, fungsi dan kegunaannya di hari ini. Mengingat, sejarah selalu atau sering diarahkan pada kepentingan orang atau kelompok tertentu. Terlepas dari beberapa clue tersebut, semua nama yang disebutkan di awal memilik jejak yang cukup jelas dan perjuangannya juga boleh dikatakan sangat penting. Bangsa Indonesia mesti belajar dari kebaikan-kebaikan yang ada di dalam guratan sejarah kehidupan mereka. Akan tetapi, kalau ada yang mengajukan pertanyaan kepada saya, semisal begini, “Apakah kurang sejarah dan nama-nama tokoh dalam buku pelajaran di sekolah-sekolah untuk membangun segenap jiwa badan bangsa Indonesia?” Saya akan mengatakan dengan sangat tegas dan berani—jika kelak ada yang protes—sangat kurang dan tidak kontekstual!
 
Dikatakan tidak kontekstual, karena sejarah Nasional yang ditulis dalam buku-buku sejarah yang tersebar di seluruh Indonesia tidak sama sekali sanggup mewakili ke-Indonesia-an itu sendiri. Semua manusia di dunia ini sudahlah sangat paham, Indonesia merupakan negara yang sangat luas, budaya, sejarah, bahasa, dan khazanah tempatan lainnya tidak mungkin dapat diselesaikan oleh satu dua tokoh semata. Bahkan, ini bukan soal mencukupi atau tidak mencukupi. Sebagaimana orang lapar diberi makan satu dua sendok nasi, paling tidak bisa mengurangi rasa lapar. Akan tetapi, ini menyangkut ketidakcocokan atau ketidaktepatan penempatan nilai-nilai sejarah dalam sebuah wilayah yang sejatinya memiliki nilai sejarah tempat yang lebih membumi.
 
 
 
Para pemimpin harus pandai menempatkan diri dalam berbagai hal. Tidak boleh semena-mena, hanya memunculkan satu dua daerah untuk mewakili semua. Tentu saja, kalau para peminpin Indonesia masih menginginkan NKRI bertahan. Sekali ceroboh, NKRI adalah objek pertama yang akan jadi pusat tembak. Sebagaimana Timor-Timur yang kini menjadi negara Timor Leste dan gejolak tuntutan keluar dari NKRI terus berlanjut hingga hari ini. Pemimpin Indonesia kudu bijak, termasuk dalam hal memahami sejarah. Tidaklah bijak memercayakan pengetahuan sejarah dari generasi ke generasi hanya pada buku-buku serba terbatas itu. Nama-nama yang dicantumkan kadang kala tidak akrab dengan napas dan rasa pembacanya, karena bagaimanapun segala hal—apalagi ini soal sejarah—berikatan kuat dengan historikal tempatan yang tidak boleh begitu saja ditampik.
 
Sejarah tentang R.A kartini tidak cocok diterapkan di Aceh. Provinsi yang dijuluki Serambi Mekkah tersebut, akan lebih mengena jika mendengungkan keberadaan seorang Cut Nyak Dien. Seorang pahlawan perempuan yang memiliki seruan  “Jihad Fisabiillah!”. Ia yang menjadi pemimpin perlawanan semenjak suaminya, Teuku Umar, gugur saat penyerangan Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Tidak lekas menangis, meratap, dan meraung-raung meminta perlindungan. Sebaliknya, ia yang lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 memberikan sejarah semangat yang luar biasa bagi sebuah perjuangan Nagari Aceh Darussalam. Keberadaannya jauh lebih tepat diperdengarkan seakrab-akrabnya pada setiap telinga perempuan Aceh. Ia yang menjadi pengikut suami yang patuh, ketika suaminya hidup, tidak merasa terkekang berada di belakang sebagai pendorong.  Hingga kemudian ia dengan sangat sangat ikhlas dan tabah meneruskan perjuangan Teuku Umar melawan penjajahan Belanda. Ia yang ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, tidak pernah menyerah pada kedzaliman.
 
Dengan demikian, taraf fungsi perempuan Aceh tidak semata soal perjuangan kesetaraan perempuan yang sebagaimana hari ini didengung-dengungkan, seperti suara lebah mau beranak itu. Perempuan Aceh--berkaca pada Cut Nyak Dien--sudah sampai pada tahap yang lebih mulia. Menjadi pengampu kekuatan bagi perjuangan seorang lelaki dalam menghadapi hidup dan kehidupan. Bukan sebaliknya, berusaha melemahkan fungsi lelaki dengan gugatan-gugatan tidak seimbang. Satu sisi ingin jadi mengambil porsi lelaki, di lain sisi tetap ingin menguasai porsi keperempuannya. Lain hal, dengan kepatuhan sekaligus ketegasannya dalam memaknai penyerahan jiwa badannya. Perempuan yang pemilik dua dua arus sekaligus: kelembutan dan kekuatan akan sanggup memaknai posisi dan porsi. Tidak semena-mena dan membabibuta meminta hak-hak yang sesungguhnya sudah ditanam dalam rahimnya. Pergerakan-pergerakan feminisme itu, tidak cocok untuk Aceh atau bahkan tidak untuk semua perempuan Indonesia.
 
Seorang Soekarno, meski ia merupakan orang yang sangat penting dalam sejarah Indonesia,  bukan berarti dapat begitu mudah masuk dalam jiwa rasa masyarakat Sumatera Barat. Pengaruhnya memang pasti ada, akan tetapi lain kalau dibandingkan dengan menuturkan sejarah terperinci seorang Tuanku Imam Bonjol.  Masyarakat Sumatera Barat akan lebih merasa akrab dan memiliki. Apalagi kalau sudah memaparkan tentang bersatunya kaum Adat dan kaum Padri atas dasar kesadaran, bahwa mestinya masyarakat Sumatra Barat bersatu bukan terpecah belah. Bersatu untuk melawan kelaliman penjajah. Ada eksotisme  Plakat Puncak Pato dan romantisme kesadaran tentang pentingnya bersatu dan bahu membahu melakukan perlawanan kepada kesewenang-wenangan. Eksotisme kultural yang tidak sama sekali didapatkan masyarakat Sumatera Barat dari seorang Soekarno.  
 
 
Bukankah Soekarno Bapak Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia? Apakah tidak bisa itu sebagai bagian yang akan merasuk dalam darah nadi masyarakat Sumatera Barat? Tetap saja sangat lain tekanan dan rasanya bagi masyarakat Sumatera Barat, yang udaranya satu napas, yang tanahnya satu tumbuhan, dan airnya satu tegukan. Tentu saja kepemilikan ini bukan sedang bicara soal ego primordial.Kita kerap sekali salah tangkap, jika ada yang berusaha mengangkat sejarah tanah lahirnya. Dianggap egois atau penganut ego primordial buta yang berkemungkinan menjadi ancaman bagi kesatuan dan persatuan Indonesia. Padahal, usaha tersebut merupakan cara yang paling ‘keren’ untuk turut menguatkan mental Indonesia yang kian hari kian melempem dan nyaris umes mes mes ini. Apa sebab? Karena jika masing-masing daerah atau wilayah mewaraskan sejarahnya, maka ada kemungkinan proses pewarasan manusianya juga menjadi lebih besar. Menguatkan akar harus dimulai dari akar paling akar, bukan?
 
Dalam hal ini, daerah-daerah juga jangan kelewatan dalam mendalami sejarahnya. Belakangan ini muncul metode penelitian sejarah dengan pendekatan pencocok-cocokan nama tempat dan segala halnya yang juga hanya dengan pencocok-cocokan kemiripan ini dan itu. Semisal Sleman yang digadang-gadang sebagai tanah kekuasaan Nabi Sulaiman dan sebagainya. Bisa goyang kepayang nantinya sejarah Indonesia ke depan, terperosok pada soal-soal renik bahkan klenik yang sulit diterima oleh nalar. Kalau judulnya “dongeng” tentu boleh-boleh saja, namanya juga dongeng dibuat semau-maunya juga sah saja.
 
Baiknya semua kembali pada maqamnya. Maqam kearifan yang tidak mungkin disamaratakan. Kembali menggali sejarah wilayahnya masing-masing untuk diceritakan dengan baik dan benar. Untuk perlahan-lahan memperbaiki segala kerusakan di tubuh manusia Indonesia lantaran berbagai hal. Perbedaan bukan ancaman, sebaliknya, adalah berkah. Indonesia tidak boleh memaksa Papua untuk tidak memakai Koteka karena membaca sejarah Kraton Jawa. Indonesia tidak boleh memaksa Baduy Banten mamakai sandal karena sejarah Sultan Banten, Indonesia tidak boleh mengintervensi kebijakan-kebijakan syariat di Aceh karena ujaran R.A kartini yang dikembangkan kaum feminis.  Indonesia di sini adalah setiap badan yang mengaku “sebagai”. Dengan begitu, keamanan dan kenyamanan masing-masing kita akan terjaga. Tidak menjadi penggugat atau tergugat, karena sejatinya kedua posisi tersebut sangat melelahkan.
 
Pernah ditulis di blog pribadi 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu