x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 14 November 2023 09:09 WIB

Hantu dari Masa Lalu

Apabila kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan adil, sedangkan pelakunya dibiarkan bebas menduduki suatu jabatan strategis di pemerintahan, maka dapat menimbulkan permasalahan serius yang mencoreng nama baik Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir-akhir ini, kita hanya berfokus pada berita-berita panas yang rutin tampil di media sosial. Dimulai dari prahara di Mahkamah Konstitusi (MK), lalu kontroversi pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, hingga tanda-tanda ketidaknetralan aparatur negara dalam kontestasi pemilu mendatang. Namun saat Ketua Umum PDIP dan Presiden Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri, menyinggung tragedi penculikan para aktivis pro-demokrasi di era Orde Baru dalam pidatonya kemarin minggu siang (Kompas.com, 12 November 2023), seketika ingatan kita diantar kembali pada kasus kriminal serius di masa lampau, yang sampai sekarang masih belum terselesaikan secara tuntas dan adil.

Kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa terjadi di periode 1997-1998, jelang pemilihan presiden (Pilpres) untuk periode 1998-2003 (KontraS, 23 Mei 2017). Berdasarkan buku: “Widji Thukul: Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa” (2017) karya Ristia Nurmalita, pelaku dari peristiwa ini adalah Tim Mawar, sebuah tim dari kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Group IV dari Tentara Nasional Indonesia. Tim ini dibentuk untuk melakukan penculikan para aktivis politik pro-demokrasi yang dianggap membahayakan posisi Presiden Soeharto, dengan di bawah Komandan Batalyon 42, Mayor Bambang Kristiono.

Dalam peristiwa tersebut, terdapat 22 aktivis yang diculik. Namun sembilan orang kembali dalam keadaan hidup, sedangkan 13 aktivis lainnya masih dinyatakan hilang hingga saat ini. Mereka yang masih hilang adalah Widji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Suyat, Yani Afri, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Sony, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan Abdun Nasser.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang dibentuk di bawah kepemimpinan Jenderal Wiranto yang pada saat itu menjabat posisi Panglima ABRI, menemukan fakta bahwa penculikan itu dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus. Salah satunya adalah Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Walhasil, DKP memberikan Prabowo sanksi administratif berupa pemberhentian dari dinas kemiliteran, seperti yang tertera dalam dokumen DKP dengan nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP.

Keterlibatan Prabowo dalam aksi penculikan aktivis yang dilakukan Tim Mawar kembali terangkat pada 2018. Arsip Keamanan Nasional (NSA) merilis 34 dokumen rahasia Amerika Serikat terkait situasi reformasi di Indonesia. Salah satunya arsip tertanggal 7 Mei 1998, yang mengungkapkan catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang menghilang. Dalam arsip itu tertulis bahwa penghilangan itu diperintahkan oleh Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto (CNN Indonesia, 11 Juni 2019).

Meski peristiwa kelam itu telah 25 tahun berlalu, pemerintah belum juga berupaya untuk menyelesaikannya. Dulu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah berjanji untuk mengungkap kasus penghilangan secara paksa terhadap 13 orang aktivis (Tempo Pemilu, 16 Juni 2014), namun hingga kini masih belum terealisasi. Malahan, Jokowi mengangkat Prabowo sebagai menteri pertahanan, dan memilih kedua mantan anggota Tim Mawar yaitu Yulius Selvanus dan Dadang Hendrayudha, sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan dan Direktur Jenderal Potensi Pertahanan di Kementerian Pertahanan. Sampai-sampai Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, menilai tindakan tersebut sebagai penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM yang kerap diabaikan oleh negara (BBC News Indonesia, 28 September 2020).

Selain kasus penghilangan paksa di periode 1997-1998, Prabowo juga pernah diduga memiliki sejarah gelap selama bertugas di Timor Timur (kini Timor Leste). Menurut mantan Gubernur Timor Timur di era Orde Baru, Mário Viegas Carrascalão, dalam Timor Antes do Futuro: Autobiografia (2006, hlm. 321-322), dan diceritakan kembali oleh Made Supriatma lewat artikel: “Prabowo Subianto di Mata Seorang Gubernur Daerah Pendudukan” di situs Indoprogress (2014), ia bersaksi bahwa Prabowo pernah melakukan pelanggaran HAM di sana. Prabowo dinyatakan telah melakukan skenario yang memembentrokkan pihak Timor Leste dengan batalyon Indonesia, sehingga berakhir dengan pembantaian orang Timor Leste oleh Batalyon 328 yang dipimpinnya.

Ungkapan Carrascalão tersebut diperkuat oleh pernyataan ahli sejarah Asia Tenggara University of Amsterdam, Gerry van Klinken. Ia menyatakan, pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo di Timor Leste jauh lebih mengerikan daripada kasus penghilangan paksa para aktivis 98 (KontraS, 23 Mei 2014 & Inside Indonesia, 27 April 2014). Van Klinken bersaksi bahwa Prabowo terlibat dalam Pembantaian Kraras (1983-1984), yang menewaskan 200-530 korban jiwa yang sebagian besar adalah masyarakat sipil. Pernyataannya pun didukung oleh buku: “Cover-up: The Inside Story of the Balibo Five” (2001) karya Jill Jolliffe, bahwa ada seorang saksi mata yang melihat Prabowo (waktu itu menjabat sebagai Kapten di Pasukan Khusus, Kopassus) menjelajahi Gunung Bibileo dengan pasukannya pada awal September, sebelum pembantaian besar terjadi. Carrascalão juga menegaskan bahwa Prabowo memainkan peran penting dalam operasi ini, tapi seberapa persis perannya kurang jelas.

Walhasil, sejumlah aktivis dan korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Timor-Leste untuk Pengadilan Internasional (ANTI), melakukan sikap melawan impunitas dan menolak dengan tegas Prabowo sebagai capres dalam Pemilu 2024 di kantor Yayasan Hak, Dili (Tempo.co, 10 November 2023). Juru bicara ANTI, Nelson Roldao Xavier dari asosiasi korban 1974-1999, menyampaikan bahwa luka dari kekerasan masa lampau tergores ketika melihat pelaku sekaligus terdakwa utama pelanggaran HAM berat di masa rezim Soeharto kembali ke puncak kekuasaan dan mengambil posisi kunci dalam pemerintahan. Ia juga menambahkan bahwa korban pelanggaran HAM dan keluarga mereka di Timor Leste akan terus mendesak dan secara konsisten menantikan keadilan. Upayanya termasuk mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mewujudkan keadilan bagi para korban.

Kasus pelanggaran HAM yang dibiarkan berlarut-larut tanpa kejelasan yang pasti, jelas tidak menghormati hak-hak kepentingan korban dan keluarganya. Prabowo sudah beberapa kali melakukan klarifikasi tentang kasus tersebut, namun itu tidak pernah cukup jika belum diselesaikan tanpa melalui jalur hukum.

Menurut Peneliti Imparsial Al Araf (kanal YouTube Mind TV Indonesia, 4 September 2023), penghilangan orang secara paksa itu merupakan sebuah tindak kejahatan yang bersifat continuing crime, artinya kejahatan itu akan terus berlangsung sepanjang korban belum ditemukan dan dikembalikan ke keluarganya. Ia pun menegaskan bahwa negara sebagai pemangku kebijakan tertinggi wajib melakukan upaya penyelesaian setiap kasus pelanggaran HAM dengan sebaik-baiknya. 

Menurut mantan ketua tim investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Hermawan Sulistyo, pada dasarnya negara kita dapat mengimplementasikan aturan serupa dengan apa yang dilakukan pemerintah Afrika Selatan, bahwa para pelanggar HAM di masa lalu dilarang mengikuti kontestasi politik dalam bentuk apa pun (kanal YouTube Jakartanicus, 4 Juli 2014). Tujuannya adalah agar mencegah conflict of interest, yang akan menghambat upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM oleh mereka yang berkuasa.

Tugas seorang pemimpin negara jelas tidak mudah. Selain memiliki gagasan yang ditawarkan bagi kemakmuran bangsa Indonesia, rekam jejak adalah hal yang paling penting untuk dipertimbangkan. Sudah sewajibnya bagi seorang pemimpin negara untuk menjadi teladan dalam hal keadilan dan penghormatan hak asasi manusia. Namun bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM, hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat merusak pondasi hukum suatu negara. Terlebih lagi, pasangan pemilu 2024 Prabowo-Gibran adalah satu-satunya kandidat yang tidak memasukkan program penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dalam visi-misinya (Kompas.com, 1 November 2023).

Masih dalam sumber yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu harus dituntaskan untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban. Ia menambahkan, kasus pelanggaran HAM sangat mungkin berulang sehingga harus ditekankan pada pasangan capres-cawapres, dengan komitmen yang spesifik agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.

Apabila kasus pelanggaran HAM ini dibiarkan begitu saja, maka akan berkembang menjadi permasalahan serius, terutama jika Prabowo terpilih menjadi presiden nanti. Sebab seorang presiden yang memiliki rekam jejak yang buruk dapat merusak hubungan antar negara,  memicu sanksi internasional hingga terciptanya insiden politik internasional. Jika ini terjadi maka tidak hanya mencoreng nama baik Indonesia, tapi juga melemahkan kedaulatan negara kita. Apabila tahun lalu Filipina mendapat respon negatif dari dunia terkait terpilihnya Bongbong Marcos (putra dari mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos) sebagai presiden, maka ini akan menjadi pembelajaran penting untuk kita agar lebih berhati-hati dalam memilih pemimpin.

Sanksi dan pengadilan HAM internasional bisa saja menimpa Prabowo, terutama ketika ia sudah terpilih jadi presiden. Bangsa-bangsa barat dapat “menggunakan” catatan kelam Prabowo sebagai senjata, untuk menekan dan memaksanya mengubah kebijakan-kebijakan strategis Jokowi yang dianggap merugikan mereka, contohnya kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor biji nikel. Jika kita melihat dari serangkaian rekam jejak Prabowo; dari “tersanderanya” dengan pencawapresan Gibran (Bocor Alus Politik di kanal YouTube Tempodotco, 21 Oktober 2023), serta sikap tidak konsisten dan terkesan hipokrit dalam menghadapi kasus korupsi, maka integritas Prabowo untuk menghadapi tekanan dan sandera politik internasional sangat diragukan. Apabila sampai terjadi, maka pihak yang sangat dirugikan adalah masyarakat Indonesia dan beberapa kebijakan strategis Jokowi yang selama ini telah susah payah dibangunnya.

Oleh sebab itu, ada baiknya jika permasalahan di masa lalu diselesaikan secepat mungkin. Al juga menegaskan bahwa untuk membuktikan terlibat atau tidaknya dalam kasus pelanggaran HAM yang menelan korban jiwa, diperlukan pula pembuktian data secara legal, bukan hanya asumsi semata. Apabila Prabowo tidak terlibat dalam kasus-kasus yang dituduhkan selama ini, maka pengadilan HAM akan menjadi kesempatan emas untuk membersihkan nama baiknya. Sebab Indonesia membutuhkan presiden yang memiliki rekam jejak yang bersih, agar dalam masa kepemimpinannya terhindar dari berbagai permasalahan yang akan mengancam.

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

17 jam lalu

Terpopuler