x

Iklan

Muhamad Nour

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

2 tahun pemerintahan Jokowi – JK: Minim Perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga

RUU PRT

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

1 Mei 2014, para buruh perempuan, termasuk pekerja rumah tangga (PRT) yang tergabung dalam koalisi advokasi perlindungan PRT, JALA PRT, bertemu dengan Gubernur DKI saat itu, Joko Widodo, yang juga merupakan calon presiden. Dalam pertemuan, tepat pada momen May Day 2015, para PRT berharap Pak Jokowi sebagai capres mau memperjuangkan nasib pekerja rumah tangga dengan adanya perwujudan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Tepat 2 tahun pemerintahan Jokowi - JK, Presiden masih belum merealisasikan harapan para PRT. Kasus demi kasus kekerasan yang dialami oleh PRT, terus berlanjut tanpa henti, tanpa aksi konkrit dari pemerintah. Jenis kekerasannya pun sudah melebihi batas kemanusian cenderung biadab dan sadis. Terakhir, Nurlela, PRT dari Bekasi disetrika, disiram air panas dan tidak digaji, tidak tanggung-tanggung, selama 5 tahun oleh majikannya di Bandung. Tak hanya itu, Ani, seorang PRT anak digunting bibirnya, diberi makan, maaf, kotoran kucing, tak diberi gaji, disiksa oleh majikannya selama bertahun-tahun. Sadis. Celakanya, kekerasan terhadap PRT hanya dianggap kekerasan dalam rumah tangga biasa dan itu hanya urusan polisi. JALA PRT mencatat tahun 2012 ada 327 kasus kekerasan terhadap PRT, 2013 ada 336 kasus. Sementara, pada 2014, ditemukan 408 kasus dan 402 kasus di tahun 2015. Terakhir, hingga periode September 2016 terdapat 217 multi kasus yang berupa kekerasan, gaji tidak dibayar dan perdagangan orang. Kondisi umum yang sering dialami oleh PRT adalah eksploitasi berupa jam kerja panjang, tak ada hari libur mingguan, upah tidak layak, tidak ada jaminan sosial, tak ada cuti dan tak ada kontrak kerja.       

Nampaknya, Nawacita prioritas yang berbunyi “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim” nyatanya mengeksklusi para pekerja rumah tangga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Walau pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang perlindungan Pekerja Rumah Tangga, kebijakan tersebut dikiritisi oleh kalangan serikat buruh dan organisasi PRT karena Peraturan Menteri ini minim standar perlindungan dan tak memiliki instrumen perlindungan yang cukup kuat untuk diimplementasikan dilapangan. Paska pemberlakuan, minim usaha dari Kementerian Ketenagakerjaan melakukan sosialisasi aturan ini didaerah.

Kontribusi PRT

Jutaan pemberi kerja dan anggota keluarganya termasuk Presiden sekalipun bisa beraktifitas produktif diluar rumah karena ada PRT yang membantu mereka membereskan pekerjaan rumah tangga, menjaga anak, menjaga orang tua. Pekerjaan sebagai PRT tentu bisa mengurangi pengangguran dan mereka bisa membiayai hidup keluarga mereka, agar anak mereka tetap bisa sekolah, membayar iuran kesehatan, dan mengurangi gejolak sosial. Dalam hitungan matematis sederhana, bila pekerjaan PRT dianggap sebagai suatu pekerjaan formal, maka jumlah pengangguran sesuai data BPS 2016, 7.02 juta otomatis terkoreksi.    

Dibutuhkan: pengambil kebijakan yang berperspektif negarawan bukan majikan

DPR RI pun, sejak ada upaya advokasi perlindungan PRT tahun 2004 oleh kelompok masyarakat sipil, hanya melakukan tindakan administratif setiap tahun, yaitu meletakkan RUU PRT di Prolegnas cadangan hingga sekarang, tahun 2016. Kondisi ini kian menyulitkan para PRT yang berjumlah 2.6 juta di Indonesia menurut data lembaga perburuhan internasional, ILO. Dalam mekanisme advokasi, sering kali perwakilan serikat buruh dan organisasi PRT menjumpai pengambil kebijakan seperti anggota DPR dan pemerintah berperspektif majikan. Seharusnya mereka memposisikan diri sebagai negarawan pelindung yang merujuk pada dinamika kebutuhan kehadiran negara untuk melindungi warga seperti cita-cita Nawacita. Sementara, untuk membuat kebijakan perlindungan tersebut, pemerintah bisa merujuk pada Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga yang mengatur standar perlindungan seperti jam kerja, upah layak, kontrak kerja, cuti dan jaminan sosial. Tentunya Konvensi 189 ini harus disesuaikan dengan asas lokalitas dan budaya setempat.  

Ikuti tulisan menarik Muhamad Nour lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler