x

Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan tos dengan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi, usai mengikuti sidang pembacaan putusan uji materi UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), di Mahkamah Konstitusi, 14 Desember 2016.

Iklan

chandra budi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reformasi Pajak Lagi?

Apa arti reformasi pajak kali ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Secara resmi, Menteri Keuangan - Sri Mulyani - telah membentuk Tim Reformasi Perpajakan dan Tim Penguatan Reformasi Bea Cukai (20/12/2016).  Tim ini terdiri dari unsur internal dan eksternal Ditjen Pajak, dengan kompetensi yang variatif.  Tentunya, reformasi perpajakan bukanlah hal baru, setidaknya sudah dilakukan beberapa kali dalam ruang lingkup tertentu. Terakhir, Tahun 2013-2014, kajian reformasi perpajakan dilakukan oleh konsultan internasional dengan melibatkan pejabat kunci di Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan. Hasil nyatanya adalah terbentuknya Central Transformation Office (CTO), yang masih bekerja sampai saat ini dengan beberapa inisiatif strategisnya.

Harus diakui, bahwa dibentuknya Tim Reformasi Perpajakan ini dipicu oleh kasus ditangkapnya oknum pegawai pajak "HS" oleh KPK pada bulan Nopember lalu.  Sehingga harus segera dilakukan pengkajian dan pembenahan sistem SDM yang ada saat ini. Tetapi, Menteri Keuangan ternyata tidak memanfaatkan perangkat non organik yang telah tersedia - CTO, padahal permasalahan SDM  termasuk dalam salah satu inisiatif strategisnya.  Kalau demikian, lantas, apa arti reformasi pajak kali ini?

 

SDM

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apabila ditelaah lebih dalam tugas Tim Reformasi Perpajakan sesuai Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 885/KMK.03/2016, reformasi perpajakan yang dimaksud adalah dalam lingkup lebih luas.  Tidak hanya aspek SDM yang menjadi fokus tetapi juga aspek organisasi, teknologi informasi, basis data  dan proses bisnis serta peraturan perundang-undangan.  Maka tidak heran, tim pelaksana yang terbentuk juga didukung oleh Kelompok Kerja (Pokja) untuk bidang-bidang tadi dengan melibatkan pejabat internal Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan.  Tim ini akan berkerja cukup lama, sinyal tersebut tersurat dari tidak adanya batas waktu kerja tim dalam pasal KMK 885.

Namun, ada baiknya tim reformasi perpajakan membuat skala prioritas aspek mana yang harus direformasi terlebih dahulu.  Walaupun proses reformasi semua aspek dapat dilakukan simultan, tetapi reformasi di aspek SDM merupakan hal penting dan mendesak untuk segera dilakukan.  Setidaknya ada tiga program dalam reformasi SDM yaitu revitalisasi sistem mutasi dan promosi, efektifitas sistem kepatuhan internal serta penyesuaian sistem remunerasi. 

Ketika UU Aparatur Sipil Negara (ASN) mewajibkan sistem seleksi terbuka untuk promosi ke jabatan tinggi pratama dan madya (eselon II dan I), justru Ditjen Pajak telah mengadopsinya untuk promosi ke eselon IV dan III.  Sistem seleksi terbuka ini bertujuan menghilangkan segala bentuk intervensi sehingga pegawai dengan kompetensi terbaik yang akan dipromosikan.  Bukan pegawai terdekat yang dipromosikan.  Yang diperlukan saat ini adalah konsistensi semua pihak untuk menjalankannya, terutama para pembuat keputusan.  Sistem mutasi masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) Ditjen Pajak sampai saat ini.  Sekali lagi, aturan pola mutasi sudah tersedia, tinggal konsistensi untuk menjalankannya sesuai aturan tersebut.  Misalnya, dalam aturan mutasi jelas disebutkan penugasan didaerah terpencil (Papua) akan lebih singkat dibandingkan daerah lainnya.  Tetapi sering terjadi justru yang didaerah terpencil penugasannya lebih lama dibandingkan daerah lainnya.  Walaupun atas nama pasal karet - untuk kepentingan organisasi, tetapi setidaknya rasa keadilan telah terusik.

Ditjen Pajak adalah organisasi pionir dalam membenahi sistem kepatuhan internalnya.  Sejak reformasi pajak pertama Tahun 2002 sudah mulai diterapkannya kode etik pegawai kemudian dilanjutkan dengan sistem Whistleblowing pada reformasi pajak kedua Tahun 2009.  Namun, masih saja ada oknum pegawai pajak yang melanggar kodek etik atau hukum yang berlaku.  Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa tidak ada satu sistempun di dunia ini yang mampu membuat korupsi menjadi hilang sama sekali.  Di Australia, dengan sistem pengawasan perpajakan yang sudah sangat baik ditambah dengan budaya kerja yang juga baik, juga ditemukan pelanggaran korupsi oleh oknum pegawai Australian Taxation Office, kantor pajak Australia. 

Ilmu psikologi mampu menjelaskan bahwa kejadian korupsi merupakan suatu keniscayaan.  Secara teori disebutkan bahwa dalam suatu komunitas atau kelompok individu, ada sebagian kecil individu yang memang memiliki kecenderungan untuk melakukan perbuatan tercela, korupsi misalnya.  Demikian juga sebaliknya, ada sebagian kecil individu yang selalu cenderung berbuat sesuai dengan aturan yang berlaku.  Nah, masalahnya adalah sebagian besar dari kelompok individu ini teridentifikasi masih labil dan dapat dipengaruhi oleh dua kelompok tadi untuk menjadi bagian dari kelompoknya.   Oleh karena itu, cara terbaik untuk meningkatkan efektifitas sistem kepatuhan internal adalah dengan membuat sistem pencegahan sehingga peluang untuk melakukan pelanggaran semakin kecil.  Sebagai contoh, Ditjen Pajak dapat lebih menghidupkan kembali sistem peniup peluit (Whistleblower).

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah berujar bahwa penghasilan pegawai pajak dikategorian sudah baik.  Kalaupun ada oknum pegawai yang korupsi, itu merupakan perbuatan tamak (greedy) bukan karena gajinya yang kecil.  Karena memang Ditjen Pajak sudah mendapatkan remunerasi yang cukup.  Tetapi, sistem remunerasi di Ditjen Pajak berbeda dengan yang lainnya, termasuk di unit eselon I Kementerian Keuangan sendiri.  Remunersi di Ditjen Pajak nilainya akan sangat tergantung dari capaian kinerja penerimaan pajak tahun sebelumnya.  Apabila meleset dari target, maka remunerasi akan dipotong dengan formula tertentu.  Persoalannya adalah sudah tepatkah apabila kinerja tersebut hanya dinilai dengan satu indikator semata? Yaitu capaian penerimaan pajak.  Mirisnya, penetapan target pajak selama ini belum mencerminkan potensi yang sesungguhnya.

Selama penetapan target masih tidak mencerminkan potensi pajaknya, lebih adil kalau kinerja Ditjen Pajak dilihat dari pertumbuhan penerimaan pajak.  Bukankah selama ini fenomena ekonomi juga dinilai dari besarnya pertumbuhan, seperti halnya pertumbuhan ekonomi nasional maupun sektoral?.  Namun, tentunya, cara menghitung pertumbuhan penerimaan pajak akan lebih khusus, karena kinerja pajak akan otomatis dipengaruhi oleh pertumbuhan alaminya.  Pertumbuhan alami merupakan akumulasi dari besarnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi.  Dengan kata lain, pajak akan naik sebesar pertumbuhan alaminya tanpa atau dengan sedikit upaya dari Ditjen Pajak.  Maka, besarnya pertumbuhan pajak setelah dikurangi pertumbuhan alaminya adalah kinerja pajak yang sesungguhnya.

Selanjutnya, tinggal diciptakan skema reward and punishment-nya.  Kalau ternyata pertumbuhan pajak kurang dari pertumbuhan alaminya maka wajar apabila dilakukan pemotongan remunerasi, secara proporsional tentunya.  Sebaliknya, apabila melebihi pertumbuhan alami maka sangat adil kalau ada penghargaan yang diberikan - dalam berbagai bentuk.  Kalau ini diimplementasikan dengan merevisi Perpres 37 Tahun 2015 segera, maka motivasi dan militansi seluruh jajaran pegawai Ditjen Pajak akan berlipat ganda.  Melebihi kerja siang malam saat amnesti pajak periode satu lalu.  Akan tetapi, cara tercepat justru dengan menjalankan Pasal 36D UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang mengatur pemberikan insentif atas capaian kinerja tertentu.  Pasal 36D tersebut hanya mensyaratkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), bukan Perpres seperti halnya remunerasi atau tunjangan kinerja.  Sekali lagi, masih ada ruang untuk menjadi lebih baik lagi melalui reformasi pajak kali ini.  Selamat bekerja Tim Reformasi Pajak!

 

Chandra Budi

Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pasca Sarjana IPB

Ikuti tulisan menarik chandra budi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler