x

Iklan

prima dwianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Van Der Parra: Potret Kebesaran Seorang Pejabat

Kedermawanan van der Parra

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “Untuk menandai pelantikan dari Petrus Albertus van der Parra yang agung dan terhormat, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-49”. Tulisan medali penghargaan pada acara pelantikan van der Parra sebagai gubernur jenderal menggantikan Jacob Mossel, 29 September 1763. Kebesaran karena kedermawanan ialah citra yang dapat ditangkap darinya.

Upacara pelantikan van der Parra berlangsung meriah, tak hanya dihadiri pejabat Batavia, tetapi para pejabat pribumi, bupati, perwakilan keraton Yogyakarta dan Surakarta juga menghadirinya. Dihelat tepat pada hari kelahirannya, mundur tiga bulan dari rencana sebelumnya. Suguhan teh dalam gelas cangkir Jepang dan pelayan budak perempuan mempercantik pesta pengangkatannya.

Terlahir dari pasangan Cornelis Romboutsz van der Parra dan Geertruida Susanna Spanyut, van der Parra menapaki karir di VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sejak usia muda, 14 tahun. Ia hidup di klan para pejabat VOC, ayahnya seorang sekretaris pemerintah kolonial di Srilanka, sementara kakeknya juga menjadi pegawai VOC. Tanpa latar belakang pendidikan Eropa, ia menduduki jabatan pedagang muda di Kolombo. Karirnya semakin moncer ketika ia dipanggil ke Batavia, 1939, dan enam belas tahun kemudian ia berhasil menduduki jabatan direktur jenderal untuk perdagangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gaya hidupnya sedikit berbeda dari elit kolonial lainnya. Hal ini dimungkinkan karena ia keturunan Belanda yang lahir di Asia serta tak merasakan secara langsung nuansa Eropa. Dua isteri yang dipersuntingnya pun bukan model ibu Kalvinis khas Belanda. Elisabeth Petronella van Aerden, isteri pertama van der Parra, kelahiran Batavia dan menikah di Kolombo pada 1733. Buah cinta mereka meninggal ketika masih bayi. Sementara isteri keduanya, Adriana Johanna Bake, ialah keturunan Gubernur Belanda untuk Ambon. Mereka menikah pada 1743, dua tahun setelah kematian isteri pertamanya, dan dikaruniai seorang anak bernama Petrus Albertus yang kelak menjadi seorang inspektur VOC.

Apa yang dilakukan oleh van der Parra adalah sebuah bentuk kedermawanan, terutama pada lembaga gereja. Secara konsisten ia memberikan uluran bantuan kepada para pendeta. Pakaian, uang, dan pendidikan bagi anak-anak pendeta menjadi bentuk keringantanganan van der Parra. Perjalanan para pendeta ke daerah terpencil juga dipermudah dengan fasilitas yang diberikan olehnya. Bahkan, seorang pendeta di Batavia bernama Theodorus Vermeer dihadiahi kereta kuda dan dua kuda Spanyol beserta kusirnya.

Tak seperti kacang yang hendak melupakan kulitnya, van der Parra tak lantas melupakan daerah kelahirannya, Srilanka. Sebagian besar warisannya dihibahkan untuk janda-janda di Kolombo, sisanya diberikan kepada penduduk miskin di Batavia. van der Parra juga membiayai penerjamahan serta penerbitan Mazmur dan Injil kedalam bahasa Portugis.

Kedermawanannya membekas di hati masyarakat pribumi dan membawanya sebagai pejabat yang dijunjung tinggi selama empat belas tahun masa kepemimpinannya. Namun, rekan-rekan sejawatnya tak menyukainya dan malah menganggapnya sebagai seorang yang sombong, egois, dan otokratik.

Kemewahan memang menjadi bagian integral dari sebuah kekuasaan. Akan tetapi, kedermawanan ialah bentuk empati sosial yang harusnya dijunjung tinggi oleh seorang pemangku jabatan. van der Parra membuktikan bahwa apa yang ia perbuat mampu menarik simpati rakyat untuk mengaguminya dan menjadikannya besar, tak peduli stempel buruk yang diberikan rekan-rekan yang antipati terhadapnya.

 

PRIMA DWIANTO

Alumni Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UGM

(Sumber gambar: kaskus.co.id)

 

Ikuti tulisan menarik prima dwianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler