x

Iklan

Denny YF Nasution

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yang Tak Ada dalam Film 'Istirihatlah Kata-kata'

Harapan-harapan saya tentang kenyataan Wiji Thukul yang tak hadir dalam film "Istirahatlah Kata-kata."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya berharap, akan ada Wiji Thukul membacakan sajaknya yang terkenal itu: “Peringatan”. Saya berharap, akan terdengar suara penyair cadel dari Kampung Sorogenen, Solo, itu membacakan penggalan kalimat puisinya yang telah menjadi ikonik, …/maka hanya ada satu kata: lawan!//. Saya berharap, Wiji Thukul hadir atau dihadirkan sebagai seorang yang melawan, sebagai seorang yang selalu gelisah dengan keadaan ketidakadilan di sekitarnya.

Tentu saja saya hanya berharap. Dan harapan-harapan itu tentu saja tidak mewujud dan hanya mengecewakan diri saya sendiri. Film “Istirahatlah Kata-Kata; Solo, Solitude” toh hanya menghadirkan Wiji Thukul yang cemas dan takut, yang ditindas takut dan cemas itu karena dirinya menjadi buron. Cemas dan takut itu begitu kental, sehingga tak ada yang lebih menakutkan selain rasa takut karena menjadi buron. “Ternyata jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi,” begitu kata Wiji Thukul dalam salah satu scene film ini.

Kenapa sih saya terlalu berharap dan punya harapan-harapan begitu? Saya hanya ingin menyerap energi perlawanan Wiji. Sebagai anak muda, saya hanya ingin mendapatkan inspirasi tentang bagaimana menjadi seorang yang berani, yang mampu bersikap, yang penuh daya melawan meski hanya melalui kata-kata, seperti yang ia suarakan dalam puisinya ini, …/jika kau tahan kata-katamu/mulutmu tak bisa mengucapkan/apa maumu terampas/kau akan diperlakukan seperti batu/dibuang, dipungut/atau dicabut seperti rumput/atau menganga/diisi apa saja menerima/tak bisa ambil bagian//. (Ucapkan Kata-katamu)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah harapan ini berlebihan? Apakah salah mengharapkan seseorang yang belum begitu saya kenal, hadir apa adanya dengan keadaan dan kenyataannya sebagaimana ia dikenal sebagian orang sebagai seorang yang teguh kukuh melawan dan memberontak? Tentu saja saya tak mengenal Wiji Thukul selain dari buku kumpulan puisinya “Nyanyian Akar Rumput” (Gramedia, 2015), dan sebuah buku lain “Wiji Thukul; Teka-Teki Orang Hilang” (KPG, 2013). Dari buku-buku itu saya tahu, puisi-puisi Wiji telah menginspirasi dan memompa semangat aktivis buruh dan mahasiswa dalam aksi-aksi mereka. Dari buku-buku itu juga saya tahu, Wiji Thukul adalah seorang yang aktif dan produktif menulis, menyuarakan kata hati dan pikiran-pikirannya lewat puisi. Tentu saja, karenanya, dari puisi dan disebabkan oleh puisi, Wiji ada. Seperti kata entah siapa saya lupa, barangkali kata Sutardji Calzoum Bachri, presiden penyair itu, bahwa bukan penyair yang melahirkan puisi, melainkan puisi yang melahirkan penyair. Lebih dari itu, buku-buku itu telah memberi tahu saya, betapa dahsyat sihir kata-kata, karena telah menyebabkan ketakutan begitu rupa sebuah rezim penguasa.

Demikianlah, dari puisi-puisinya dan riwayat hidupnya itu, Wiji telah menyebabkan saya ingin menjadi berani. Wiji Thukul telah menggedor-gedor kemudaan dan kemanusiaan saya untuk berani mengatakan dengan kata-kata saya sendiri, untuk berani bersikap dengan sikap saya sendiri, untuk berani menjadi diri saya sendiri.

Dan itulah yang tak ada, yang tak bisa saya dapatkan dalam film ini. Selama kurang lebih 97 menit berada di ruang bioskop yang dingin dan sunyi, Wiji Thukul tak membekaskan semangat apa-apa kepada saya. Setelah 97 menit itu, saya pulang membawa sunyi dan sebuah tanya; kenapa laku melawan menyebabkan seseorang berakhir dengan takut dan cemas begitu rupa?

Tentu saja ini hanya perasaan sentimentil saya karena harapan yang tiada. Bagaimana pun, yang tak boleh saya lupa, film toh hanya sebuah fiksi, betapa pun ia diniatkan oleh pembuatnya sebagai karya kreatif dari kenyataan yang ada. Dan bagaimana pun, yang juga tak boleh saya lupa, film ini, dengan kehadiran Wiji yang sunyi, telah melahirkan puja puji. Dan tentu saja, harapan-harapan saya hanya membentur puja puji itu.

Satu hal yang membuat saya bersyukur telah menonton film ini, adalah kalimat Sipon, yang bagi saya terasa begitu puitis dan seperti mewakili harapan-harapan saya yang tak ada itu; “saya tak ingin kamu pulang. Saya tak ingin kamu pergi. Saya hanya ingin kamu ada.” Demikian kata batin Sipon, istri Wiji Thukul, yang menutup seluruh kesunyian film ini. Rasa-rasanya, kesendirian Sipon, ketabahannya, dan kekuatannya sebagai seorang perempuan, seorang ibu, dan seorang istri yang ditinggalkan dalam ketidakpastian, lebih memberikan daya dan mengalirkan energi perlawanan. Entahlah. Saya hanya mencoba berani menyuarakan pikiran dan kata hati.

Demikianlah saya telah mengucapkan kata-kata saya. 

Ikuti tulisan menarik Denny YF Nasution lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler