x

Postingan foto hoax tentang Ratna Sarumpaet yang beredar di media sosial, 7 Maret 2016 (kiri). Gambar kanan adalah berita asli. (dok.twitter/tempo)

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyaring Hoax, Mengubah Mindset

Menghindari perangkap berita bohong (hoax) harus dimulai dari mengubah cara berpikir kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kabar tentang isu sensitif seringkali mudah membangkitkan reaksi pembaca atau pendengarnya. Banyak orang tesergap ‘momen ketika nalar berhenti berfungsi barang sesaat’, sementara ‘emosi lebih cepat tersulut dan memanas’. “Dia memang sombong, rasain kena batunya...,” begitu salah satu respon yang lebih cepat menguasai diri kita ketimbang pikiran yang jernih.

Mengapa banyak orang begitu mudah terprovokasi tatkala membaca atau mendengar kabar negatif mengenai figur yang mereka dukung dan puja-puja. Sebaliknya, banyak orang juga mudah bersorak senang ketika membaca atau mendengar kabar negatif tentang sosok yang tidak mereka dukung dan tidak mereka sukai?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal, ya padahal, berita itu baru sampai ke telinga atau tertangkap mata, belum lagi diproses oleh nalar, apa lagi diuji kebenarannya. Banyak orang dengan segera menelan mentah-mentah kabar tertentu, baik karena sesuai dengan apa yang ingin mereka dengar maupun karena bertentangan dengan apa yang mereka harapkan.

Ada persoalan preferensi di sini, kecondongan ke pihak tertentu. Dalam hal tertentu, kecondongan ini menguat jadi sikap partisan yang membuat seseorang tidak lagi mampu melihat atau tidak siap menerima berita yang bertentangan dengan apa yang mereka harapkan atau bayangkan. Sikap adilnya untuk menguji lebih dulu kebenaran suatu berita, baik negatif maupun positif—yang belum tentu benar, lunglai sebelum tegak karena tergerus oleh preferensi yang hampir bersifat naluriah.

Bila kita mau menguji terlebih dahulu kebenaran suatu berita, yang positif sekalipun—sebab berita positif pun bisa jadi hoax atau harkos (‘harapan kosong’) atau bagian dari upaya penggelembungan citra, kita berpeluang lebih besar untuk terhindar dari perangkap hoax. Memang ada aturan hukum yang diupayakan untuk menekan hoax, tapi tindakan pertama dan paling ampuh untuk menyaring hoax ialah dengan mengubah mindset kita lebih dulu, mengubah cara berpikir kita, dan mengubah cara kita memerlakukan informasi apapun dan dari siapapun.

Kecondongan, keberpihakan, preferensi, dan terlebih lagi sikap partisan menyebabkan kita enggan bersikap kritis terhadap informasi atau kabar yang kita terima dari orang-orang yang sekelompok dengan kita. Kita bersikap taken for granted, menerima informasi apa adanya tanpa bertanya benarkah demikian? Kita lantas enggan memeriksa kebenaran informasi itu dari sumber-sumber lain yang berbeda.

Sebaliknya, ketika kita menerima informasi yang bersifat negatif atau menyerang sosok yang kita sanjung atau kelompok kita, kita serta merta menyimpulkan bahwa informasi itu disebarkan oleh lawan figur sanjungan kita atau musuh kelompok kita. Padahal, informasi negatif ini bisa saja disebarkan oleh orang atau kelompok lain dengan tujuan menimbulkan ketegangan antara ‘kita’ dan ‘lawan kita’. Kabar itu dibuat dan disebarkan oleh orang-orang yang bertujuan memancing di air keruh, mengacau, dan mengadu domba. Maka, kitapun terperangkap oleh hoax.

Bahkan, informasi negatif juga bisa dibuat dan disebarkan oleh bagian tertentu dari kelompok kita sendiri dengan tujuan mendiskreditkan lawan, menciptakan lawan, sekaligus membangkitkan semangat korps kita. Cara ini cukup jitu untuk membangun citra figur pujaan kita di hadapan masyarakat sebagai orang yang jadi korban atau dizalimi—inilah praktik playing the victim yang sudah berusia tua, yang dimaksudkan untuk membangun rasa simpati masyarakat.

Jadi, menyaring kabar bohong atau palsu harus dimulai dari mengubah mindset kita, cara berpikir kita, dan cara kita bersikap saat menerima kabar negatif maupun positif. Sebuah kabar mungkin sudah melewati sejumlah orang sehingga sangat mungkin mengalami distorsi, kerusakan walaupun sedikit, ada bagian yang hilang, ada bagian yang ditambahkan, ada bagian yang diubah hingga bertolak belakang.

Sebaiknya jangan menganggap sebuah kabar sebagai kebenaran tanpa memeriksanya terlebih dulu, sekalipun kabar itu menyenangkan. Siapa tahu itu sekedar harapan kosong. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB