x

KPU DKI Jakarta secara resmi membagikan nomor urut bagi pasangan Pilkada DKI Jakarta 2017 di Jakarta International Expo, 25 Oktober 2016. Tempo/Avit Hidayat

Iklan

Arifki chaniago

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gorengan Populisme Demokrasi

Kaum populis cenderung memanfaatkan demi kepentingan politik elektoral, propaganda, dan kharisma personal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semakin maju sebuah demokrasi tidak menjadi alasan untuk majunya sebuah peradaban. Demokrasi yang dikenal secara umum tidak memberikan “kekuasan khusus” kepada satu orang, kenyataannya saat ini kesepatan yang dikumandangkan banyak pihak itu tidak lagi sesuai dengan khittahnya.

Terpilihnya Presiden Filipina, Rodrigo Duterte dan Donald Trump—Presiden Amerika Serikat—langkah awal dimulainya upaya penokohan kepada satu orang di luar negari dewasa ini. Meskipun, di Indonesia pada Pilkada DKI Jakarta 2012, terpilihnya Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta telah tampak secara nyata.

Apakah ini yang dikatakan banyak ahli tentang populisme? Benar atau tidaknya istilah yang saya berikan pada konteks ini masih perlu diperdebatkan. Jika merujuk kepada Meny dan Surel (2002) secara sinis menyebut populisme sebagai patologi atau korupsi demokrasi karena kaum populis cenderung memanfaatkan demi kepentingan politik elektoral, propaganda dan kharisma personal untuk menarik konstituen ketimbang tampil sebagai edukator.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penokohan yang dilakukan terhadap Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi pada Pilpres 2014 dan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Ahok ditokohkan dengan gerakan yang anti birokrasi, oligarki—saya menyebutnya “ Hippies”—selain itu gerakan yang mendukung Ahok, saya menyebutnya kaum “liberal kiri”. Kaum yang memperkenalkan gerakan rakyat, tapi gerakannya didominasi oleh generasi milinial.

Saat Ahok secara gerakan populisme mendapatkan dukungan dari massa sayap kiri, kenyataanya gerakan populisme pada demokrasi Indonesia juga ada pada sayap kanan. Kaum ini didominasi oleh teknokrat dan gerakan Muslim, penokohan dilakukan kepada Ketua FPI, Habib Rizieq.

Gerakan kaum Hippies secara politik mendukung Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi pada Pilpres 2014 dan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan konser dan gerakan rakyat yang didominasi kelas menengah. Dukungan dari Band papan atas, Slank, misalnya, gerakan musik yang pendukungnya hanya sebatas dunia hiburan dulunya sekarang sudah diarahkan ke politik.

Namun menariknya, gerakan populisme kanan secara fakta dilapangan lebih sering terjadi. Catatan yang saya miliki demonstrasi 4 November 2016 yang mendatangkan umat Muslim dari pelbagai daerah menuju ibukota. Kedatangan ribuan Muslim ke DKI Jakartamendesak Polri agar segera menuntaskan kasus penistaan agama terkait ucapannya mengenai surat AL-Maidah ayat 51 yang menimbulkan polemik dikalangan publik.

Pro-kontra yang membelah masyarakat menjadi dua, pada satu sisi mendukung Ahok dan sisi yang lain menolak Ahok. Ledakan polemik itu memuncak menjadi gunung es yang dikenal dengan gerakan “411” (4 November 2016).Setelah itu dilanjutkan dengan gerakan 212 yang mendatangkan umat Muslim dari pelbagai daerah di Indonesia yang berkumpul di Monas, Jakarta.

Setelah itu, gerakan populisme kanan pada 11 Februari 2017 (112) nanti yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), tujuaannya untuk bela agama dan ulama. Isu ini memanas setelah Ahok menyatakan pendapat yang diluar kewajaran kepada Kiai Ma’ruf Amin (Ketua MUI) pada sidang kedelapan kasus penistaan agama yang menjeratnya (31/1).

Makanya, dari awal saya menyatakan bahwa gerakan populisme di Indonesia terbelah menjadi dua. Pada ranah media sosial ini lah yang bertarung sebagai lover dan hater, status yang dibuat dan disebarkan hanya berfokus kepada pujian pada idola dan kebencian kepada lawan.

Panasnya gerakan populisme di Indonesia menyebabkan kajian-kajian intelektual dewasa ini tidak lagi produktif, kritik yang tersebar di ruang publik benar dan tidaknya informasi yang didapatkan. Tetapi, dingin membahas persoalan ekonomi, politik, hukum dan budaya yang sesungguhnya terjadi di negara ini.

Gorengan isu populisme yang menokohkan idola masing-masing, sayap kanan memuji Habib Rizieq dan sayap kiri mengidolakan Ahok. Akhirnya, gorengan populisme pada demokrasi Indonesia tidak lagi berefek pada kemajuan bersama, tetapi lebih pada gerakan pesta fora dan penggiringan massa dengan jumlah besar.

Wacana-wacana itu terus memunculkan perdebatan, Ahok yang didukung populisme sayap kiri membenarkan kebijakannya yang tegas terhadap birokrasi, DPRD dan Partai Politik. Sayangnya, pada sisil lain, misalnya, reklamasi dan penggusuran yang dilakukan Ahok ditentang gerakan sayap kanan sebagai gagasan yang tidak pro rakyat.

Maka wajar saja Ahok dilawan dengan isu ini oleh penatangnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Anies-Sandi memperkenalkan Jakarta yang dibangun denganmembahagian warganya, sedangkan Agus-Sylvi fokus pada distribusi uang negara kepada masyarakat menengah kebawah. Jadi, tiga calon yang tampil pada Pilkada DKI Jakarta 2017 sama-sama membawakan isu populisme, tetapi konteks dan elektoral yang ingin dipengaruhi berbeda.

Menurut, Paul Taggart menganalogikan populisme seperti bunglon yang bisa berubah-ubah warna kulit menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Karena itu, bisa dipahami, jika sebagian sarjana politik lebih suka membatasi definisi populisme dengan menunjukkan lokasi geografis dan periode waktu (Burhanudin Muhtadi: Populisme: Madu Atau Racun Bagi Demokrasi?)

Gaya politik Presiden SBY selama dua periode pemerintahannya ( 2004-2009 dan 2009-2014) yang memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat kurang mampu, populisme yang sesuai dengan eranya. Jokowi mengidentikan dirinya agar diidolakan publik dengan ciri khasblusukan. Sama halnya dengan Ahok yang blak-blakan terhadap birokrasi, DPRD dan partai politik, karakternya yang blak-blakan itu dianggap kepeduliannya terhadap gerakan anti korupsi

Jadi, seperti apapun model populisme yang dijalankan penguasa, ujungnya-ujungnya berhubungan dengan seni menaklukan hati rakyat dengan pendekatan-pendekatan normatif.

 

Arifki

Analis Politik, Alumus Ilmu Politik Universitas Andalas

 

Ikuti tulisan menarik Arifki chaniago lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler