x

Iklan

prima dwianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ernest Douwes Dekker: Indis Nasionalis

Seorang Indis yang berjiwa nasionalis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Arus nasionalisme Indonesia mulai tumbuh sekitar 1920-an yang ditandai dengan kemunculan berbagai organisasi berhaluan nasionalis, menggantikan organisasi bersifat kesukuan. Kesadaran yang tumbuh tak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran kaum intelektual serta etisisme politik kolonial yang mempunyai “misi memperadabkan” masyarakat koloni, terutama lewat pendidikan. Akar-akarnya mulai terlihat sejak pergantian abad, bukan hanya dari intelektualis pribumi semata, tetapi dari mereka yang keturunan campuran (indis), seperti Ernest Douwes Dekker.

Terlahir sebagai keturunan campuran tentu menjadi sebuah dilema bagi Douwes Dekker. Ayahnya, Auguste Douwes Dekker merupakan keturunan kreol (Eropa murni), sementara ibunya, Louisa Margaretha Neumann berdarah Jerman-Jawa. Politik kolonial memberikan previlise bagi kaum indis untuk mengidenikkan diri sebagai golongan Belanda yang secara hierarki berada di atas golongan lainnya. Akan tetapi, jika langkah tersebut diambil, mereka akan tercerabut dari tanah kelahiran yang selama ini telah mereka tempati.

Perjalanan hidup akhirnya membawa Douwes Dekker kepada sebuah muara untuk memilih nasionalisme Indonesia sebagai cita-cita luhur yang harus diusahakan. Darah pemikiran yang cenderung radikal-revolusioner mungkin diwarisi dari kakek-kemenakannya, Multatui (Eduard Douwes Dekker). Ia dikenal menjadi salah satu kritikus awal kebijakan pemerintah kolonial di nusantara lewat sebuah novel berjudul, Max Havelar, yang memotret kezaliman penjajahan. Buku yang terbit pada 1860 ini setidaknya mampu mengubah arah kebijakan kolonial dari cuulturstelsel (Sistem Tanam Paksa) menjadi politik liberal, sedekade setelahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Douwes Dekker lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879 dan mengenyam pendidikan di H.B.S. Batavia di masa remajanya. Menapaki karir awal sebagai seorang pegawai pada perkebunan kopi Sumber Duren di kaki Gunung Semeru. Realitas eksploitasi kolonial memantik hatinya untuk memihak kaum pribumi yang dirugikan bahkan tertindas dengan sistem yang diterapkan. Douwes Dekker terpaksa harus diberhentikan dari pekerjaannya. Pun demikian ketika ia menjadi seorang ahli kimia di Pabrik Gula Pajarakan, Probolinggo. Pembagian air irigasi yang tak adil dan merata bagi penduduk cukup untuk memantapkan hatinya, ia memilih mengundurkan diri.

Berkecamuknya Perang Boer di Afrika Selatan, 1899, mengetuk pintu hati Douwes Dekker untuk menjadi sukarelawan bersama teman-temnnya. Akan tetapi, pilihannya berujung pada sebuah penyesalan karena perang tersebut tak ubahnya sebuah perebutan hegemoni antara Belanda melawan Inggris di wilayah Afrika Selatan, tanpa memperhatikan nasib penduduk asli. Kekalahan di pihak Belanda memaksa Douwes Dekker harus menjalani penahanan di Pretoria dan Kolombo, 1902, meski dalam jangka waktu yang tak lama dan segera sesudahnya ia kembali ke Hindia Belanda guna merintis karir di bidang jurnalisme dan politik.

Kembalinya Douwes Dekker semakin menampakkan bagaimana sebenarnya arah pemikiran dan sikap politiknya, yang ditelurkan melalui tulisan-tulisan. Tercatat, Douwes Dekker pernah bergabung dengan tiga surat kabar, De Locomotief, Soerabaiasch Handelsblad, serta Bataviaasch Nieuwsblad. Bergabungnya Douwes Dekker dengan Bataviaasch Nieuwsblad mempertemukannya dengan teman sekaligus mentornya, Karel Zaalberg. Keduanya sama-sama pengagum Ernst Haeckel, biolog asal Jerman, sebagai seorang penganjur kebebasan berfikir dan menentang konservatisme. Pengaruh bagi Douwes Dekker ialah sikap anti imperialisme ala Barat.

Pemikiran radikal Douwes Dekker tertuang dalam sebuah tulisan yang dimuat oleh Nieuwe Arnhemsche Courant pada Juli, 1908, dengan judul Hoe kan Holland het Spoedigst zijn Kolonien verliezen? (Bagaimana cara Belanda cepat-cepat melepaskan jajahannya). Terbebasnya nusantara dari kolonialisme menjadi nafas dari tulisannya. Dia menjadi pelopor bagi tumbuhnya nasionalisme nusantara kala itu.

Langkah nyata yang ditempuh Douwes Dekker guna menyuarakan aspirasinya ditempuh melalui Budi Oetomo bersama para mahasiswa dokter Jawa, STOVIA. Namun, pandangan politik yang terlalu moderat menjadikan Douwes Dekker memilih untuk memisahkan diri dengan beberapa tokoh muda seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Suryaningrat. Tjipto dikenal menentang sistem feodal yang telah mengakar, sementara Soewardi yang merupakan anggota kerajaan Pakualaman menolak subordinasi kultural di bawah imperialisme Barat. Mereka bertiga berpadu menjadi Tiga Serangkai.

Sikap politik yang dipilih Douwes Dekker bukan tanpa tentangan. Seorang pioner pers nasional yang kelak dikenal sebagai Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo, pimpinan Medan Priyayi, tak setuju dengan halauan yang dipilih Douwes Dekker. Menurutnya, Douwes Dekker, yang keturunan indis, tak lebih memahami kepentingan orang Jawa dibandingkan orang Jawa sendiri dan kelompok nasionalis Islampun tak menaruh kepercayaan terhadapnya.

Douwes Dekker mendirikan Het Tijdschrift dan De Expres untuk lebih mengakomodasi pemikirannya setelah sebelumnya menerbitkan buku Het Boek van Siman den Javaan. Nampaknya pemikiran Douwes Dekker mampu memberikan kegelisahan bagi pemerintah kolonial. Dalam sebuah surat kabar, Java Bode, ia dinilai menghasut orang Jawa untuk melawan kolonialisme Barat.

Puncak perjuangan Douwes Dekker adalah mendirikan Indische Partij (IP) yang menuntut kedaulatan bagi rakyat koloni. Partai ini dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Sebagai tindakan preventif, pemerintah kolonial menahan Douwes Dekker dalam pembuangan dan melarang Indische Partij.

Warisan pemikiran Douwes Dekker layak dikedepankan ditengah gempuran neo-imperialisme masa kini yang berimplikasi terhadap lunturnya nasionalisme. Tak berlebihan kiranya jika Soekarno menganugerahinya gelar sebagai “Bapak Nasionalisme Indonesia”, enam tahun pasca kematiannya. Dia adalah penabur benih-benih kecintaan terhadap tanah air yang terbebas dari imperialisme dan merdeka seutuhnya.

 

PRIMA DWIANTO

Alumni Ilmu Sejarah, FIB, UGM

 

Sumber Foto:biografiku.com

Ikuti tulisan menarik prima dwianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler