x

Tawuran antara para pendemo angkutan umum dengan angkutan berbasis online di jalan Sudirman, Jakarta, 22 Maret 2016. Ratusan mobil angkutan umum dan taksi yang terparkir di kawasan tersebut membuat akses jalan ditutup total. TEMPO/Amston Probel

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sopir Angkot, Pengojek, dan Pertarungan Hidup

Warga masyarakat saling bertikai untuk berjuang hidup dari jasa transportasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di Tangerang, di tengah perselisihan antara komunitas sopir angkot dan pengemudi ojek online, sopir angkot sengaja menabrakkan mobilnya ke pengemudi ojek—“mengaku dendam, meskipun tidak kenal”. Di Bandung, peserta protes merusak mobil pribadi yang bukan bagian dari Gocar, Grab, ataupun Uber—“salah sasaran, menyesal”. Protes para sopir kendaraan umum non-aplikasi mungkin akan menggantung apabila pemerintah tidak memikirkan jalan keluarnya.

Aksi kekerasan yang menyertai protes di beberapa kota menunjukkan betapa keras ikhtiar rakyat di lapis bawah dalam memperoleh penghasilan. Kompetisi di antara rakyat dalam memperebutkan sumber ekonomi yang terbatas—ceruk transportasi umum—sudah mencapai tahap yang memantik permusuhan. Para sopir angkot dan para pengemudi ojek adalah sama-sama rakyat kecil yang berjuang untuk hidup, tapi untuk berjuang itupun mereka terpaksa bertikai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu saja, ini bukan kabar baik, ironis, dan kontras dengan para koruptor yang dengan cara mudah memperoleh pemasukan ratusan juta hingga milyaran rupiah. Kontras di antara lapis-lapis sosial dalam masyarakat kita ini begitu terang-benderang. Sebagian orang memperoleh kemudahan fasilitas untuk mengembangbiakkan hidup, sedangkan sebagian lainnya bertarung sendiri untuk mempertahankan hidup.

Pada mulanya, teknologi aplikasi memang memberi kemudahan bagi banyak warga masyarakat. Warga merasa dimudahkan oleh adanya jasa ojek online, karena bisa memesan dari tempat manapun, relatif cepat karena memakai sepeda motor ketimbang mobil angkot, serta jangkauan wilayah yang lebih luas dibanding ojek pangkalan dengan tarif yang sangat bersaing. Tak heran bila ojek online sangat diminati warga.

Banyak warga yang juga mencari penghasilan dengan menjadi pengojek online. Mereka dapat memperoleh penghasilan bukan hanya dari mengantar konsumen, tapi juga melayani pengantaran barang dan pembelian barang. Meski sempat timbul protes para pengojek terhadap perusahaan tempat mereka bermitra, tapi umumnya masih banyak pengojek yang bertahan.

Begitu pula dengan taksi (pribadi) online—disebut pribadi karena mobil-mobil ini milik individu, bukan milik perusahaan. Di Bandung umpamanya, Grab, Gocar, dan Uber sudah melenggang di jalan. Meskipun belum tersedia data resmi berapa jumlahnya, ada kemungkinan terjadi pertambahan jumlah mobil pribadi yang digunakan untuk menyediakan jasa ‘taksi online’.

Memang perlu survei tersendiri untuk akurasinya, tapi sangat mungkin jumlah mobil pribadi baru yang digunakan untuk ‘taksi online’ terus bertambah. Penghasilan yang diperoleh dari jasa ini cukup untuk menutup angsuran pembelian mobil—ini salah satu fakta yang ditemui: membeli mobil baru dan mengangsurnya dengan uang hasil menjalankan 'taksi online'. Jika penambahan mobil terus berlangsung, bukan saja kemacetan lalu lintas semakin parah, jumlah warga yang memperebutkan kue ekonomi transportasi dalam kota juga semakin meningkat.

Ekses negatif dari penerapan teknologi aplikasi untuk penyediaan jasa transportasi ini mulai terlihat. Pertama, tentu saja tingkat kemacetan yang semakin meningkat karena pertambahan sepeda motor maupun mobil. Kedua, tingkat polusi di dalam kota juga meningkat—sesuatu yang alamiah. Masalahnya, ruang kota tidak bertambah luas, taman hijau tidak bertambah luas, sementara kemacetan meningkat, sehingga polutan akan cenderung berhimpun di area tertentu—jalan-jalan yang padat kendaraan.

Ekses negatif ketiga yang sangat memperihatinkan ialah persaingan di antara warga yang mencari penghidupan dari jasa transportasi menjadi semakin keras. Kompetisi di antara sopir angkot, pengojek pangkalan, sopir taksi konvensional, pengojek online, pengemudi taksi (pribadi) online cenderung mengarah pada kekerasan fisik. Mereka belum melihat jalan terang dari persoalan yang menyulitkan mereka bertahan hidup secara ekonomi.

Teknologi maju mungkin memberi kemudahan bagi konsumen dan keuntungan ekonomi bagi pelakunya, tapi penerapannya sering kali mengabaikan aspek-aspek negatif sosial-ekonomi yang dialami kelompok masyarakat yang lain. Lebih menyedihkan lagi, warga masyarakat yang sama-sama mencari penghidupan di jasa transportasi ini terpaksa saling bertikai, bahkan dengan kekerasan. Padahal, mereka sama-sama berjuang untuk bertahan hidup. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu