x

Ilustrasi bisnis. shutterstock.com

Iklan

Hans Z. Kaiwai

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memilih Kepala Daerah: Pendekatan Ekonomi Perilaku

Menjelaskan pilihan perorangan juga ditentukan pilihan bersama atau nilai sosial

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemungutan suara pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang kedua, telah digelar pada tanggal 15 Februari 2017. Pada saat itu, masyarakat pemilih, yang menurut undang-undang berhak memilih, menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa kepala daerah pada periode berikutnya.

Saat ini ada sejumlah daerah yang oleh KUPDnya telah memutuskan siapa pemenangnya. Namun ada juga daerah yang masih mempersengketakan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara untuk DKI Jakarta bakal memasuki putaran kedua pada 19 April 2017. untuk menentukan siapa pemenang diantara dua calon pasangan yang akan berkompetisi. Berkaitan dengan hal-hal tersebut untuk menentukan dan memilih kepala daerah, maka kita ingin mengetahui bagaimana pendekatan teoritis untuk menjelaskan perilaku orang dalam memilih, khususnya pendekatan ekonomi yang mendeskripsikan perilaku masyarakat untuk menentukan pilihannya.

Menentukan pilihan dalam PILKADA adalah suatu tindakan perilaku politik yang dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan sosiologi, misalnya, melihat pemilih sebagai kesatuan kelompok. Bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial berupa kelompok rujukan, keluarga dan peran serta status sosial. Ada juga pendekatan komunikasi, yang fokus pada keterkaitan pemilih dengan media dan bagaimana mereka dipengaruhi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disamping itu, ada pendekatan psikologi sosial yang menekankan pada kelompok politik, khususnya partai politik, sebagai faktor penarik suara pemilih. Memilih dapat juga dijelaskan dengan pendekatan isu. Artinya, para pemilih menentukan pilihannya oleh karena mereka berpandangan bahwa salah satu kandidat lebih memiliki kapasitas untuk menjawab satu isu dibandingkan kandidat lainnya.

Sementara itu, pendekatan ekonomi dibandingkan pendekatan lainya tersebut lebih fokus pada satu isu, yaitu isu peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada hubungan antara keputusan politik (memilih) dan hasilnya berupa tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh masyarakat. Masyarakat akan menggunakan pertimbangan pribadi dan/atau keputusan sosial (pilihan bersama) tentang keputusan dan pilihan politik yang dilakukan dengan berdasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya dalam hal tingkat kesejahteraan masyarakat yang telah dirasakan.

Pilihan bersama

Selama ini pendekatan ekonomi menjelaskan bagaimana keputusan dibuat dengan mengamati perilaku individu dalam mengambil keputusan. Namun dalam perkembangannya teori ekonomi menyadari bahwa amatan perlu juga dilakukan terhadap perilaku sosial (atau bagaimana konteks sosial dalam keputusan individu). Jadi, tidak cukup hanya berbicara tentang keputusan individu yang biasanya diasumsikan rasional dalam bertindak untuk mencapai kepuasan yang maksimum, tanpa memperhatikan jaringan sosial (konteks sosial).

Dengan kesadaran ini, kini terbangun pemikiran dalam ekonomi perilaku (behavioral economics) yang mengamati perilaku masyarakat (perilaku individu dalam konteks sosial untuk mengambil keputusan), termasuk perilaku dalam memilih atau menggunakan hak politiknya. Dengan begitu, maka patut dipahami bahwa keputusan individu yang diambil oleh seseorang dalam PILKADA untuk menentukan arah pembangunan selanjutnya, tidak terlepas dari konteks sosial dimana seorang individu itu hidup dan merasakan hasil pembangunan yang ada.

Herbert Simon (1982), peletak dasar ekonomi perilaku (behavioral economics), mengatakan “pikiran kita harus dipahami ada hubungannya dengan lingkungan dimana kita terlibat. Keputusan tidak selalu optimal. Terdapat keterbatasan proses informasi pada manusia, karena keterbatasan pengetahuan (atau informasi) dan kapasitas untuk memperhitungkannya.” Artinya, manusia, dalam mengambil keputusan termasuk keputusan politik dalam memilih kepala daerah, memiliki keterbatasan dalam mengelolah informasi sehingga kadang-kadang keputusannya tidak optimal.

Disamping itu, ada sumbangan pemikiran ahli lainnya tentang bagaimana konteks sosial dan politik memengaruhi partisipasi politik masyarakat dan bagaimana jaringan sosial  berdampak pada suatu keputusan politik itu diambil. Meredith Rolfe (1971) menyarankan pentingnya mempertimbangkan konteks sosial dalam mengamati keputusan individu baik dalam partisipasi politik masyarakat maupun dalam hal memilih.

Dari kedua pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa pengambilan keputusan sosial (pilihan bersama) tidak hanya cukup berbicara tentang pengambilan keputusan individu. Yang dalam pendekatan teori ekonomi konvensional melihat individu adalah suatu entitas tersendiri sebagai satu individu, yang berorientasi pada kepuasan individu dan berperilaku berdasarkan informasi dan pengetahuan yang diperoleh melalui sinyal dari pasar.

Dengan adanya kesadaran baru bahwa individu berada dalam suatu lingkungan sosial, maka jaringan sosial tersebut akan memengaruhi seorang individu dalam berperilaku. Jadi nilai dan pandangan kita, alternatif tindakan yang kita lakukan, pengetahuan kita akan konsekuensi dari suatu tindakan kita ambil—semua pengetahuan ini, semua pilihan ini—berasal dari interaksi dengan lingkungan sosial kita. Dimana selanjutnya kesemuanya itu akan memengaruhi tindakan dan perilaku kita, termasuk keputusan memilih dalam PILKADA.

Kita ketahui bersama bahwa PILKADA merupakan dimensi politik dalam perecanaan pembangunan daerah lima tahun ke depan. Artinya visi dan misi pembangunan daerah lima tahun ke depan akan ditentukan oleh masyarakat pemilih pada saat pemungutan suara. Dan tentunya pilihan itu ditentukan demikian, oleh karena mereka memiliki kesamaan visi dengan visi yang diusung seorang kandidat (kita mempunyai mimpi yang sama).

Rujukan sosial

Dalam masa kampanye sekarang ini, para kontestan PILKADA sedang memaparkan apa yang menjadi visi, misi, strategi dan programnya. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan masyarakat pemilih bahwa dia adalah orang yang layak diberi mandat untuk memimpin dan membawa masyarakat secara bersama-sama dalam merealisasikan visi bersama tersebut. Masing-masing kandidat akan menggunakan berbagai strategi untuk mengomunikasikan ide dan pemikirannya, sehingga pada saatnya nanti dia dapat menyakinkan pemegang hak suara untuk memilihnya sebagai kepala daerah.

Berdasarkan informasi, pengetahuan dan pengalaman yang dialami oleh masyarakat pemilih, mereka akan mengambil keputusan baik saat ini terutama bagi mereka yang telah menetapkan pilihannya maupun pada saatnya nanti bagi mereka yang belum menetapkan pilihannya. Sinyal yang diberikan oleh kandidat akan meningkatkan ukuran dari rujukan sosial bagi pemilih potensial yang belum memutuskan pilihannya.

Pengambilan keputusan para pemilih terkait dengan konteks sosial dan sekaligus merupakan rujukan sosial yang memengaruhi keputusan mereka dalam memilih seorang kandidat. Karakter dan kepribadian seorang kandidat serta rekam jejaknya terutama dalam hal responsif terhadap kebutuhan masyarakat, berperilaku antikorupsi dan nepotisme, orientasi pengabdiannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semuanya ini termanifestasi menjadi rujukan sosial yang terkonstruksi dalam konteks sosial (pilihan bersama).

Jadi alasan seorang individu untuk memilih salah satu kandidat dan bukan kandidat yang lain tidak terjadi dalam suatu ruang yang kosong, tetapi tergantung pada berbagai cara dimana orang lain beraksi dan beropini. Hal ini dipandang sebagai konteks sosial dimana seseroang individu harus mengambil keputusan. Oleh sebab itu mengamati perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya harus ditempatkan pada keputusan individu dalam hubungannya dengan dampak potensial dari interaksi sosial dan hasil sosial itu sendiri.

Kiranya melalui kampanye bersih dan bermartabat yang saat ini dilakukan oleh kontestan PILKADA, semakin menambah informasi, pengetahuan dan pengalaman individu dalam masyarakat, dan sekaligus semakin memperkuat bukti dan rujukan sosial bagi masyarakat pemilih untuk menentukan pilihannya.  Sehingga pada saatnya nanti mereka dapat menggunakan hak pilihnya untuk menentukan seorang kandidat menjadi kepala daerah secara demokratis. Ada rujukan sosial dan masyarakat telah belajar berdemokrasi untuk melanjutkan estafet pembangunan ke periode berikutnya.

Ikuti tulisan menarik Hans Z. Kaiwai lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler