x

Iklan

prima dwianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pabrik Tua dan Tebu yang Memaniskan Jalan Kami

Industri gula yang mendukung pembangunan infrastruktur

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sragen, sebuah kota kecil yang terletak di periferi Jawa Tengah bagian timur, berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Aliran Sungai Bengawan Solo, saksi peradaban purba di masa silam, membelah wilayah Sragen menjadi dua bagian, selatan dan utara. Pegunungan Lawu dengan tekstur tanah subur menjadi penopang wilayah selatan, sementara bagian utara dibentengi oleh kawasan Pegunungan Kendeng yang memiliki kondisi tanah berkapur, gersang, dan cenderung sulit air. Perbedaan kondisi ini berujung ketimpangan sosial-ekonomi antara selatan dan utara, apalagi pusat kota juga berada di wilayah selatan.

Minimnya sarana transportasi di Sragen, 1950-1960an, mengakibatkan proses komunikasi dan perputaran roda ekonomi menjadi terkendala. Jalan maupun jembatan yang mengintegrasikan kedua wilayah belum memadai. Masyarakat di wilayah utara kala itu, memanfaatkan jasa penyeberangan perahu tambang pasir sebagai akses utama untuk mencapai wilayah selatan, seperti terlihat di penambangan pasir Gawan dan Sapen. Ketika Bengawan Solo meluap, interaksi menjadi terhambat. Penyaluran hasil panen palawija yang menjadi komoditi andalan masyarakat wilayah utara akhirnya dipasrahakan kepada para pedagang yang mampu membayar mahal transportasi. Atau jika ingin membawa hasil panen ke pasar kota, mereka harus memikul dan menggendongnya dengan menempuh jarak yang begitu jauh. Masyarakat harus menunggu untuk mendapatkan kebutuhan hariannya seperti garam, minyak tanah, maupun minyak goreng pada hari pasaran saja.

Baru pada satu setengah dekade menjelang era millenial, warisan kolonial berupa Pabrik Gula (PG) Mojo milik Tuan van Nespen, yang dibangun pada 1833, hadir sebagai solusi yang mampu mengikis ketimpangan sosial-ekonomi di Sragen. Pabrik gula yang pada masa awalnya berada dibawah pengawasan N.V.  Culture  Maatschappij  Laure ini, menjalankan Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sejak 1975. Pemerintah Orde Baru kala itu mulai mengadopsi konsep Green Revolution yang sedang marak diterapkan di belahan dunia ketiga, guna meningkatkan produksi pertanian lewat panca usaha tani. Program TRI diharapkan mampu mengembalikan kejayaan industri gula nasional, laiknya era kolonial ketika nusantara menjadi eksportir gula terbesar kedua setelah Kuba, dan menempatkan petani menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aktualisasi Program TRI di wilayah kerja PG Mojo Sragen, nampaknya tak berjalan mulus, selama sedekade awal, seperti apa yang diharapkan. Petani di wilayah selatan, lokasi dimana program TRI diterapkan, enggan untuk ikut berpartisipasi dalam program ini. Padi lebih menguntungkan jika dibandinngkan tebu. Sebagai bentuk protes sosial, tanaman tebu dibumihanguskan oleh petani.

Keadaan tersebut memantik PG Mojo untuk mencari solusi demi tercapainya target produksi. Pihak pabrik mulai melirik potensi lahan kering, terutama di wilayah utara Bengawan Solo. Percobaan awal yang dilakukan pada akhir 1980an, mengindikasikan bahwa tanah kering cocok untuk tebu dan memberikan keuntungan lebih besar jika dibandingkan tanaman palawija. Tercatat, PG Mojo memiliki potensi lahan kering seluas 13.023 Ha di wilayah utara yang kemudian dipilih menjadi lokasi penanman tebu.

Masuknya tanaman tebu di wilayah utara Bengawan Solo memberikan dampak manis bagi perekonomian masyarakat. Pendapatan petani, yang semula menanam palawija, meningkat dua kali lipat setelah menanam tebu. Listrik mulai masuk dan taraf pendidikan semakin meningkat. Terciptanya lapangan kerja baru juga mampu menekan arus urbanisasi kala itu.

Semenjak penanaman tebu di wilayah utara Bengawan Solo, isolasi antar desa mulai terbuka. Akses jalan diperlukan guna mempermudah distribusi tebu menuju PG Mojo. Pembangunan jalan dilakukan. Wilayah yang dulunya menjadi tempat tinggal satwa liar seperti babi hutan dan rusa berubah menjadi lokasi hilir-mudik truk-truk pengangkut tebu.

Jalan dan perkebunan tebu

Tak hanya pihak PG Mojo yang diuntungkan dengan terbukanya akses jalan di wilayah utara Bengawan Solo, interaksi sosial-ekonomi masyarakat juga semakin menggeliat. Mobilisasi semakin dipermudah dan cepat. Taraf hidup masyarakat semakin terangkat. Ketimpangan yang dahulu nampak jomplang dengan wilayah selatan, sedikit demi sedikit mulai terkikis.

Kini, pemerintah tetap gencar membangun infrastruktur jalan guna menopang kehidupan masyarakat. Selain pengaspalan dan pengecoran jalan yang merambah wilayah perkampungan, pada 2006 misalnya, dibangun jembatan Jenar sebagai penghubung antar-wilayah yang semula dipisahkan oleh Bengawan Solo. Peresmiannya dihadiri langsung oleh Gubernur Jawa Tengah kala itu, Mardiyanto. Dampak positif sangat dirasakan masyarakat dengan dibangunnya jembatan ini. Jarak tempuh menuju pusat kota Sragen dapat diperpendek dengan tempo yang lebih singkat. Anak-anak di wilayah utara Bengawan Solo yang ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi, baik SMA di kota maupun kuliah di Solo, semakin dipermudah dengan akses baru ini, mengingat jalur transportasi antar provinsi yang melewati Sragen semakin mudah dicapai. Ditengok dari kacamata sosial, semakin banyak muda-mudi yang akhirnya menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya kepada masyarakat di wilayah selatan karena interaksi semakin dipermudah dengan hadirnya jembatan Jenar.

Jembatan Jenar

Nyata, Pabrik Mojo yang usianya kini semakin menua, kehadirannya, mampu mempermanis jalan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Sragen.  

 

#InfrastrukturKitaSemua

Sumber foto: - PG Mojo 1920: kitlv.pictura-dp.nl/

                    - Perkebunan tebu dan Jembatan Jenar: Koleksi foto pribadi

Ikuti tulisan menarik prima dwianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler