Belajar dari Perempuan Bale: Perempuan Lokal dan Air Bersih

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peran perempuan Bale dalam membangun sarana air bersih perlu diteladani perempuan lain agar mereka dapat menikmati pembangunan sesuai dengan kebutuhannya

Perempuan Bale berada di tepi sungai, tempat mereka melangsungkan kegiatan rumah tangganya. (Foto diambil dari PSP3 Desa Bale melalui http://desabale.blogspot.co.id/)   

Air dan perempuan memiliki relasi yang kuat. Hubungan keduanya terilhami oleh wacana “bumi adalah ibu”: perempuan berperan memproduksi kehidupan melalui alam. Kedekatan perempuan dengan air dijelaskan oleh Vandana Shifa dalam “Ekofeminisme”. Shifa mengawinkan konsep ekologi dengan feminisme dimana ia percaya bahwa perempuan memiliki kepiawaian tersendiri dalam mengelola sumber daya alam dibandingkan laki-laki. Meskipun tidak spesifik membahas tentang air, Ekofeminisme cukup menggambarkan kuatnya relasi perempuan dengan air sebagai salah satu jenis sumber daya alam. Kehidupan perempuan memang lebih bergantung pada air ketimbang laki-laki: mencuci, memasak, membantu pekerjaan suami. Ketika tidak ada sumber air atau apabila sumber air tercemar, perempuan akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Dalam bahasa sederhana, ketiadaan dan pencemaran sumber air akan menyengsarakan kehidupan perempuan.

Suara perempuan dalam pembangunan seringkali terabaikan. Proyek-proyek pembangunan sarana air bersih misalnya, selama ini selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, bukan hak dan keadilan. Masyarakat lokal, terutama perempuan, sejauh ini hanya menjadi objek pembangunan. Mereka kurang terlibat dalam proses “politik” karena tinggal di daerah pinggiran. Padahal, mereka memiliki cara pandang, pemikiran, dan pendekatan sendiri dalam memutuskan sesuatu. Mengacu pada pandangan Shiva, perempuan lokal akan menjadi pihak yang paling merasakan buah dari pembangunan tersebut. Selayaknya, mereka tidak boleh tinggal diam kemudian mengeluhkan program pembangunan yang menjangkau mereka. Dalam kaitannya dengan pembangunan sarana air bersih, peran perempuan harus terlihat dan suara mereka harus terdengar.

Peran perempuan Bale dalam pembangunan sarana air bersih dapat menjadi teladan mengenai bagaimana perempuan seharusnya berperan. Perempuan Bale mendiami Desa Bale di Donggala, Sulawesi Tengah. Pemukiman mereka diapit oleh tiga dusun yang letaknya memanjang mengikuti jalan umum beraspal serta dibatasi dua buah sungai dan bukit. Kehidupan mereka dalam kenyataannya mengalami kesulitan memperoleh air bersih. Hal itu dikarenakan pelayanan PDAM belum menjangkau wilayah tersebut. Sehari-hari, masyarakat lokal mempergunakan sungai untuk segala aktivitas, termasuk mandi dan mencuci pakaian. Pemenuhan kebutuhan air bersih di sana tidak selalu sehat mengikuti standar sanitasi, karena lokasi sungai yang jauh dari pemukiman dan terjadinya hujan selalu menyebabkan banjir yang membuat air menjadi kecokelatan. Hal itu juga menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit yang terlalu cepat dan banyaknya waktu yang terbuang untuk pengambilan air.

Kondisi mendesak tersebut mendorong perempuan Bale melakukan musyawarah khusus perempuan. Hasil dari musyawarah tersebut menyimpulkan bahwa sebagian besar perempuan yang hadir menginginkan pembangunan sarana air bersih. Usulan tersebut kemudian direalisasikan dalam PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang merupakan perwujudan dari upaya menanggulangi kemiskinan di Indonesia, salah satunya pembangunan sarana air bersih.Program ini dimulai sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 dan diperunukan untuk masyarakat, terutama para ibu-ibu rumah tangga. Pembangunan program sarana air bersih tersebut diharapkan dapat membuat lingkungan menjadi sehat, masyarakat memiliki akses air yang layak untuk kebutuhan rumah tangga, dan terjadi penghematan waktu dalam proses pengambilan air.

Peran perempuan Bale dalam program tersebut mencakup berbagai tahap, mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, hingga pemeliharaan sarana air bersih. Tahap persiapan dilakukan dalam bentuk sosialisasi mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Menurut Wahyuningsih (2004), partisipasi mereka dalam tahap tersebut menunjukan prosentase yang sangat tinggi, yaitu 56,3% dari total jumlah penduduk perempuan. Pada Musyawarah Antar Desa pun kehadiran perempuan Bale mencapai 56% dari keseluruhan jumlah peserta yang hadir. Partisipasi perempuan Bale dalam tahap perencanaan mencakup penggalian gagasan, musyawarah khusus perempuan, musyawarah desa, penulisan usulan desa, dan Rancangan Anggaran Biaya. Secara umum, partisipasi perempuan Bale dalam tahap perencanaan tidak hanya mencakup kehadiran saja, melainkan juga keaktifan mereka dalam memberikan ide atau usulan, yaitu sebesar 62% dari total jumlah penduduk perempuan.

Sementara itu, di tahap pelaksanaan program, bentuk partisipasi mereka sebagian besar diwujudkan dalam bentuk tenaga. Bentuk partisipasi tersebut dikarenakan rendahnya tingkat pendapatan mereka yang tidak memungkinkannya berkontribusi dalam bentuk materi. Jika tenaga perempuan diuangkan, maka partisipasinya sebesar 9,5% dari total dana yang dikeluarkan. Antusiasme tersebut disebabkan oleh adanya kesadaran perempuan untuk menerima suatu perubahan kehidupan yang lebih maju serta tradisi gotong royong yang masih mereka pegang teguh. Hingga kini, keberadaan sarana air bersih masih terawat dengan baik dan air masih mengalir dengan lancar. Peran perempuan dalam pemeliharaan tersebut terlihat dari keaktifan mereka dalam membayar iuran perawatan setiap bulannya.

Peran perempuan Bale dalam pembangunan sarana air bersih terlihat mulai dari tahap persiapan hingga pemeliharaan. Mereka tidak hanya menjadi objek pembangunan, melainkan juga menjadi subjek yang menentukan segala rencana dan pelaksanaan program atas usulan mereka sendiri. Tanpa adanya keterlibatan perempuan, pembangunan sarana air bersih tidak akan terpikirkan oleh laki-laki. Hal itu dikarenakan, perempuanlah yang paling merasakan betapa pentingnya air bersih bagi kebutuhan rumah tangga. Belajar dari perempuan Bale, perempuan di daerah lain perlu melakukan hal serupa agar dapat menikmati pembangunan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya.

Perempuan Bale beraktivitas di sekitar tempat tinggalnya. (Foto diambil dari PSP3 Desa Bale melalui http://desabale.blogspot.co.id/)

 

Referensi

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. 2010. Mereka yang Tak Terlihat: Kemiskinan dan Pemberdayaan di Indonesia. The Lontar Foundation: Jakarta 

Wahyuningsih, Sri. 2004. Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan Prasarana Pemukiman (Studi Kasus Pengembangan Sarana Air Bersih melalui Program Pengembangan Kecamatan di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah). Tesis Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah Jurusan Ilmu-Ilmu Teknik. Universitas Gadjah Mada: tidak dipublikasikan

 **Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis "Infrastruktur untuk Kita Semua" oleh Tempo Institute dan Indonesiana. #InfrastrukturKitaSemua

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler