x

Sejumlah awak media saat mengikuti hasil survei Lingkaran Survei Indonesia, di Jakarta, 20 Desember 2016. Hasil survei LSI memprediksi, Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung dua putaran karena belum ada calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jaka

Iklan

Nova Riyanti Yusuf

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nova Riyanti Yusuf: Altruisme Para Pemimpin

Telah terjadi ketelanjuran karut-marut mental dalam masyarakat DKI Jakarta akibat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nova Riyanti Yusuf

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang Jakarta

Telah terjadi ketelanjuran karut-marut mental dalam masyarakat DKI Jakarta akibat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Warga DKI mudah terprovokasi dan rela kehilangan banyak teman hanya demi membela kandidat tertentu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fanatisme preferensi politik telah melahirkan amnesia kodrat sebagai makhluk sosial dan individual. Kondisi ini mengundang perlunya tambahan diagnosis-diagnosis baru dalam kitab diagnosis gangguan jiwa internasional, seperti Election Addiction Disorder atau Stress Election Disorder.

Dapat diprediksi bahwa pemilihan Gubernur Jakarta akan berakhir dengan dua kemungkinan: kembali seperti sediakala atau akan terbentuk parut yang menetap.

Glen O. Gabbard, psikiater dan penulis psikoanalisis dari Amerika Serikat, secara ekstrem memperkenalkan sebuah kategori yang kontroversial tentang psikopat yang sukses dalam selang kontinum hierarki perilaku antisosial dan psikopatik berdasarkan analisis Kernberg (1998).

Tahap kontinum tersebut terdiri atas perilaku antisosial sebagai bagian dari gangguan neurosis; perilaku antisosial; narsisistik dengan perilaku antisosial; malignant narcissism syndrome; gangguan kepribadian antisosial, dan puncaknya, psychopathy. Salah satu yang dikatakan sebagai smooth operators adalah mereka yang mampu berfungsi dengan baik dalam dunia bisnis, politik, atau penegakan hukum sehingga mampu lolos dari penangkapan atau penghukuman.

Sigmund Freud dengan teori ego, id, dan superego memperkenalkan aspek kesadaran dari ego berupa organ eksekutif psyche, yang bertanggung jawab dalam pembuatan keputusan. Ada beberapa contoh saat menjadi pelaku dalam politik, yaitu 1) apa yang sadar dan benar belum tentu sesuai selera dan kepentingan kolektif, dan 2) apa yang secara sadar tidak benar menjadi sebuah kenyamanan agar diterima secara kolektif dan memudahkan proses menuju hasil.

Dua opsi tersebut menjadi cara bertahan hidup seorang pemimpin dalam menyeimbangkan perjuangan individual, kepentingan partai pendukung, dan harapan rakyat. Akan selalu ada konflik jiwa yang membenturkan intensionalitas diri, keputusan kolektif, dan kepatuhan atas instruksi. Dalam politik, id sangatlah berbahaya karena sebagai agen tak sadar intrapsikis hanya tertarik dalam melepaskan ketegangan. Ketegangan jiwa dalam politik yang tidak dikelola baik akan berakhir dengan agresi-agresi banal.

Jika seorang pemimpin tampak menyenangkan rakyatnya, belum tentu ia tidak cemas akan keputusannya. Ada banyak kebijakan populis yang sesungguhnya, jika dikalkulasi dengan cermat, bisa tidak berkelanjutan dan mempertaruhkan keberlangsungan negara dan kewarasan rakyat. Di sini terjadi peran superego yang menggabungkan kesadaran moral dan ego ideal dengan potensi konflik di antara agen-agen tersebut sehingga menimbulkan kecemasan.

Istilah "altruisme" yang dirumuskan filsuf Prancis, Auguste Comte, bersifat imperatif secara moral bahwa seseorang harus bertindak untuk keuntungan orang lain dan di atas kepentingan pribadinya. Dengan budaya yang didominasi oleh kepentingan pribadi, altruisme adalah pengorbanan atas kepentingan untuk sesuatu yang bukan pribadi. Perilaku altruistis ini sangat cocok untuk politikus karena dapat dimanfaatkan sebagai upaya pemenuhan narsisisme, tapi juga dapat menjadi sumber prestasi dan kontribusi konstruktif bagi masyarakat.

Teori Comte masih relevan dalam modernitas karena memberikan ruang bagi sentimen-sentimen moral menjadi kekuatan esensial dalam politik kontemporer. Sentimen moral yang dimaksud ini yang menuntun perhatian kita pada penderitaan orang lain dan ingin menyembuhkan mereka.

Sentimen-sentimen moral dalam politik telah menghasilkan istilah pemerintahan berkemanusiaan (humanitarian government) dalam politik kontemporer. Idealnya, pemerintah harus mampu mengkombinasikan dua dimensi dari konsep kemanusiaan, yaitu keadaan berbagi rasa kondisi yang sama dan gerakan afektif mengarahkan manusia untuk ada bagi orang lain. Yang pertama membentuk landasan pentingnya hak dan harapan universalitas dan yang kedua menciptakan kewajiban untuk memberikan pendampingan dan perhatian kepada orang lain. Sosiolog Prancis, Luc Boltanski, menggambarkan gerakan kemanusiaan solusi bagi mereka yang terjebak antara realisasi diri yang egoistis dan komitmen yang altruistis.

Tema-tema yang melekat di hati--ketahanan hidup, reproduksi, kekerabatan, dan keterhubungan satu sama lain--itu menjawab kebutuhan emosional calon pemilih. Evolusi altruisme timbal balik menunjukkan bahwa mereka yang cenderung fleksibel dan mau bekerja sama tentu akan lebih dapat diterima secara luas. Rasa terima kasih dan kesetiaan niscaya akan mendorong manusia untuk membalas jasa. Hal ini bisa dilakukan melalui bilik-bilik sunyi di tempat pemilihan suara.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 18 April 2017

Ikuti tulisan menarik Nova Riyanti Yusuf lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler