x

Iklan

Noprizal Erhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyamakan Rezim Jokowi Dengan Rezim Orba dan Orla, Apa Betul?

Polemik antara mempertahankan kebingungan terhadap ormas radikal atau membubarkannya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menarik fenomena yang terjadi di alam demokrasi NKRI pasca reformasi yang  tak menentu selama 16 tahun ditengah berbagai proyek mangkrak dan ditengah anggota dewan yg tak bermutu yang lelet menghasilkan berbagai UU, kerja ga jelas, meminta pendapat malah ke narapidana yang telah divonis pengadilan, seolah mereka mengejek profesionalitas hakim pengadilan dan merasa lebih "bijak" daripada para hakim itu? Seolah menguji kewarasan, siapa yang lebih sinting: hakim atau para anggota dewan itu?

Lalu kita masih tersandera oleh pertanyaan: kapan waktu yang tepat membubarkan ormas radikal? Kapan ormas yang sudah jelas-jelas agresif melecehkan  asas ideologi negara (Pancasila dan UUD 1945) yang berbahaya bagi kesatuan bangsa  itu dibubarkan?

Kita seolah lebih suka menonjolkan idiom “bingung” yakni bingung untuk membedakan mana ormas yang “agresif” dan mana yang tidak? Lebih suka memangku dagu  (menunda-nunda) untuk membedakan mana ormas yang berbahaya dan mana yang tidak? Jika ada pihak masuk rumah tangga Anda dan teriak-teriak anti  kesatuan rumah tangga anda, dan mereka lebih suka menyuarakan visi  mereka, dan anda merasa tak perlu tergesa-gesa membungkam orang itu dan dengan ringannya anda mengatakan kepada keluarga anda,

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Anak-anak dan istriku, ini ada tawaran dari tetangga bahwa mereka menawarkan falsafah baru kerumahtanggaan, bahwa nanti kita akan bersatu dengan keluarga tetangga dengan falsafah baru, dan style (gaya) baru, apakah kalian setuju, kalau kalian bingung, ayo kita ke pengadilan ngadep pak RT dulu sebelum bapak mengeluarkan perpu anti orang ini ya?”???

Apa nalar seperti itu yang dimaksud oleh para anti “pembubaran ormas tanpa pengadilan”?

Jadi setiap  aksi “pembubaran ormas tanpa pengadilan” mesti selalu dianggap anti demokratis? Anti pengadilan?

Sedangkan Presiden Jokowi - setelah menerbitkan perpu anti ormas radikal  ini - mempersilakan yang anti  “pembubaran ormas tanpa pengadilan” ini menempuh jalur pengadilan. Ini mirip kisah sebaliknya dari perumpamaan rumah tangga di atas, yakni “Anak-anakku dan istriku, bapak menerbitkan perpu buat kalian tentang sikap bapak yang tidak setuju dengan sikap dari beberapa anggota keluarga kita yang menginginkan falsafah baru kerumah tanggaan kita. Jika kalian tak setuju dengan perpu bapak ini, ayo kita ke pak RT.” Kira-kira sikap bapak ini demokratis apa tidak? Dan ia memberi opsi ke pengadilan setelah menerbitkan perpu.

Dangkalnya analisis sikap penentang  “pembubaran ormas tanpa pengadilan” ini yakni ketika menyamakan Jokowi dengan rejim orba yang membubarkan PKI atau menyamakan dengan rejim orla yang membubarkan Partai Masyumi yang tanpa memberi opsi ke pengadilan itu? Di situ rabunnya logika dalam memetakan masalah. Kalau Jokowi sama dengan rejim orba, pasti sudah ditangkapi semua itu pimpinan ormas radikal, ormas ga jelas, ormas agresif, apalagi ormas yang dipimpin oleh qadimat doyan mesum misalnya, doyan mempoligami wanita muda berkedok adil, dengan alasan mumpung lagi kaya, mumpung lagi beken, dan mumpung umat lagi bodoh dan ga protes? Tentu sudah ditangkapi semua mereka jika Jokowi sama dengan rejim orba/orla dan tanpa memberi opsi pengadilan, dsb.

Ketika tantangan opsi pengadilan (pasca perpu) sudah dibentangkan Jokowi, lalu kenapa  para anti pembubaran ormas radikal tak mengambil opsi  tantangan itu kalau memang benar  menuntut keadilan? Ketika ada pihak-pihak yang mengatakan rejim Jokowi tak demokratis, tak adil, bahkan diktator dsb sementara mereka sendiri  berlaku surut menghadapi tantangan ke pengadilan? Ini seperti menuding orang tak demokratis tapi diri sendiri bersembunyi di balik topeng demokratis? Bicara rumput di halaman orang, di halaman sendiri sampai ke kaki tangga? Ini khan lucu.

Kita jadi bertanya, kenapa pihak-pihak penentang  “pembubaran ormas tanpa pengadilan” ini tidak tajam sedari dulu untuk membedakan mana ormas radikal, mana ormas ga jelas, mana ormas agresif penentang Pancasila dan UUD 1945? Sehingga selama 16 tahun reformasi mereka bungkam dan abai? Padahal Jokowi belum berkuasa pada saat itu dan mereka mingkem?

 Kita masih beruntung cuma ada satu HTI, jika ada 100 HTI  di NKRI ini lalu tiba-tiba mereka berkehendak mengganti dasar Pancasila dan UUD 1945 dengan falsafah baru bangsa bernama khilafah dsb, tentu pihak yang anti “pembubaran ormas tanpa pengadilan” ini senang dengan kehendak itu? Jadi sebenarnya mereka pendukung Pancasila atau falsafah yang mana? Terlalu sembrono dan ugal-ugalan jadinya.****

Penulis:

Noprizal Erhan, Direktur Institut Paradigma Indonesia

Ikuti tulisan menarik Noprizal Erhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler