x

Inovatif atau Kaya?

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inovatif atau Kaya? ~ Ade Febransyah

Apakah perusahaan bisa inovatif tapi tidak mampu berpendapatan tinggi atau, sebaliknya, berpendapatan tinggi tapi tidak harus inovatif?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ade Febransyah

Advisor Operations & Decisions School of Business and Economics Universitas Prasetiya Mulya

Siapa yang pantas disebut perusahaan inovatif? Lihatlah beberapa pemeringkatan yang ada. Untuk tahun 2016, versi BCG dan Businessweek kembali didominasi oleh perusahaan pengguna teknologi mutakhir. Muka-muka lama, seperti Apple, Google, Tesla, Microsoft, dan Amazon, berada di lima teratas perusahaan terinovatif. Hal ini mensyaratkan, jika ingin inovatif, harus berteknologi tinggi dan mutakhir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu, siapa saja perusahaan dengan pendapatan terbesar? Lihatlah pemeringkatan Fortune 500. Siapa di lima teratasnya? Pada 2016, urutannya mulai dari raksasa retail Walmart, yang mencetak pendapatan terbesar sebesar US$ 482,13 miliar, dan diikuti oleh empat perusahaan di bawahnya yang semua merupakan perusahaan energi, yaitu State Grid (US$ 329,6 miliar), China National Petroleum (US$ 299,3 miliar), Sinopec Group (US$ 294,3 miliar), dan Royal Dutch Shell (US$ 272,2 miliar). Sekilas tersirat, jika ingin mencetak pendapatan terbesar, penuhi kebutuhan hidup orang banyak (barang konsumsi dan energi).

Lalu, apakah dua peristiwa di atas saling meniadakan? Apakah perusahaan bisa inovatif tapi tidak mampu berpendapatan tinggi atau, sebaliknya, berpendapatan tinggi tapi tidak harus inovatif?

Bisnis dijalankan untuk menciptakan pendapatan. Untuk berpendapatan, perusahaan harus mampu menjual produknya. Supaya ada penjualan, harus ada pembeli yang rela membayar produk yang ditawarkan. Supaya ada pembeli, produk yang ditawarkan adalah yang dibutuhkan, diinginkan, dan didambakan pembelinya. Hukum besinya seperti itu.

Silakan amati perusahaan-perusahaan baru berbasis aplikasi sekarang ini. Mengapa mereka begitu dielu-elukan di awal kehadirannya? Tidak lain yang mereka tawarkan adalah yang dibutuhkan hingga didambakan masyarakat. Dalam urusan bertransportasi, masyarakat menginginkan layanan yang lebih murah, cepat, dan nyaman. Dibanding taksi konvensional, misalnya, di awal kemunculannya, taksi berbasis aplikasi begitu diminati karena memang jauh lebih murah, dengan ketersediaan yang tinggi, tidak perlu lama untuk mendapatkannya, dan lebih nyaman. Karena menawarkan yang nyata, bisnis ini jelas mampu meraup pendapatan.

Seiring berjalannya waktu, lanskap bisnis mereka pun berubah. Pertumbuhan dari sisi penyedia yang begitu tinggi tidak diikuti pertumbuhan di sisi permintaan. Ketidakpastian juga mengubah lanskap bisnis. Rivalitas dengan penyedia konvensional tidak pernah surut. Ketegangan horizontal antara pelaku konvensional dan berbasis aplikasi dapat meletus kapan saja. Satu lagi yang hampir dipastikan, tersedianya transportasi publik, seperti MRT/LRT, akan berdampak negatif bagi keberlangsungan penyedia transportasi sekarang ini. Belum lagi jika keluar regulasi yang memperketat ruang gerak pelaku bisnis berbasis aplikasi ini.

Tergerusnya pendapatan bisa karena beberapa hal. Untuk pekerjaan konsumen yang ada sekarang, produk yang ditawarkan tidak lagi lebih hebat dibanding pesaing. Inilah nasib perusahaan yang bermain dalam adu "lebih baik". Adu lebih hebat dalam segala keunggulan yang diminta pengguna tidak menjamin keunggulan abadi buat pelakunya. Tukar posisi antara pemimpin dan pengikut dalam persaingan dapat silih berganti. Di sinilah inovasi yang banyak dilakukan oleh pelaku bisnis: mencoba memberikan solusi yang lebih baik terhadap masalah atau pekerjaan konsumen.

Sudah waktunya bagi perusahaan untuk menawarkan pekerjaan baru bagi masyarakat pengguna. Di sinilah tantangan inovasi berikutnya buat pelaku bisnis. Ambil contoh pekerjaan konsumen dalam mendapatkan tempat tinggal layak. Solusinya bisa berupa rumah atau apartemen. Bagi sebagian kecil masyarakat, pekerjaan mendapatkan tempat tinggal adalah nyata dan realistis. Namun, bagi sebagian besar masyarakat, apalagi di kota-kota besar, pekerjaan itu sudah hilang. Pekerjaan tersebut menjadi tidak realistis untuk dilakukan.

Ketika hal tersebut terjadi, di situlah peluang inovasi disruptif. Inovasi disruptif menyasar para non-konsumen (Christensen, 1995), yaitu mereka yang tidak pernah terlayani oleh penyedia produk yang ada. Solusi disruptif tidak menuntut superioritas atas produk yang sudah ada. Lewat solusi apa adanya yang jauh lebih murah sudah mampu membuat non-konsumen mendefinisikan pekerjaan barunya. Dari sebelumnya tidak berani bermimpi untuk memiliki rumah sendiri, lewat solusi rumah murah yang terjangkau mereka jadi terangkat harga dirinya. Bayangkan manfaatnya. Buat penyedia rumah murah, solusi ini adalah sumber pendapatan baru.

Ternyata menjadi inovatif atau hebat dalam menciptakan pendapatan bukanlah saling meniadakan. Dengan inovasi, perusahaan justru dapat menciptakan sumber pendapatan baru. Tapi, jika tidak berinovasi, hampir bisa dipastikan pendapatan menjadi rentan terhadap gangguan. Jadi, berinovasilah dan berbanggalah.

 

Dimuat di rubrik Pendapat Koran Tempo edisi 25 Agustus 2017

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 jam lalu

Terpopuler