x

Iklan

jefri hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bicara Rohingya di Korea Utara

Apakah bagi Myammar jauh lebih terhormat bila mereka melakukan pembantaian terhadap orang-orang Rohingya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Pyongyang, dua pekan lalu, saya bertemu seorang wartawan senior dari Myanmar. Bersama ratusan orang dari puluhan negara, kami menghadiri "Pertemuan untuk Menghormati Orang-orang Besar Gunung Paektu" dan "Pertemuan Solidaritas untuk Korea Utara".

Dengan senior dari Myanmar ini, tentu saya tidak melulu bicara tentang Korea Utara dan ketegangan di Semenanjung. Ada dua hal lain yang kami bicarakan.

Pertama tentang kondisi pers di Myanmar yang menurutnya jauh dari keadaan ideal. Dia banyak mengeluhkan wartawan-wartawan muda Myanmar yang katanya kehilangan idealisme. Dengan demikian, senior ini menambahkan, jangan berharap pada wartawan Myanmar. Mereka bukan wartawan terhormat. Itu istilah yang digunakannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat itu kami membahas upaya Konfederasi Wartawan ASEAN (CAJ) yang didirikan tahun 1974 merangkul asosiasi wartawan Myanmar. Dari penjelasannya yang panjang dan lebar, saya simpulkan, ini tidak mudah.

Hal kedua, bagaimana soal masyarakat Rohingya di Rakhine. Ini saya tanyakan kepadanya di tengah jamuan makan malam.

Seperti penjelasan umum yang sudah lama kita dengarkan sejak awal kasus Rohingya muncul ke permukaan beberapa tahun lalu, wartawan senior Myanmar ini mengatakan bahwa mereka, maksudnya orang-orang Rohingya, bukan, atau tidak termasuk dalam, klaster bangsa Burma.

Mereka keturunan Bangladesh yang mengungsi ke Myanmar karena terusir dari negara asalnya. Sudah puluhan tahun, dan kini sudah beranak dan bercucu serta belakangan mulai dianggap jadi masalah oleh masyarakat Myanmar termasuk oleh idola anak muda era 1990an, Aung San Suu Sky yang sekarang adalah penguasa de facto negara itu.

Dengan demikian, urusan Rohingya tidak patut dibebankan kepada Myanmar. Bangladesh juga tidak boleh tutup mata. Ini kata dia.

Kepadanya saya katakan, bahwa yang sedang jadi perhatian saya bukan soal posisi orang Rohingya dalam sistem kependudukan dan strata sosial Myanmar. Tapi tentang perlakuan negara, dalam hal ini Myanmar, yang tidak hanya membiarkan, tetapi juga mensponsori persekusi bahkan genosida terhadap mereka.

Di luar urusan asal keturunan dan suku bangsa, juga keyakinan, bukankah mereka adalah manusia juga.

Apabila yang dipersoalkan dan menjadi keberatan Myanmar adalah soal kue ekonomi yang diambil oleh bukan warganegara, atau soal ancaman keamanan dan ketertiban dari orang-orang Rohingya yang juga dicitrakan sebagai outlaw, apakah tidak ada mekanisme yang lebih terhormat untuk mengatasinya.

Bila Myanmar tidak bisa menanganinya sendiri, apakah tidak ada dalam pikiran pemerintah Myanmar untuk melibatkan pihak lain di luar Myanmar dalam mengatasi masalah ini. Apakah kehormatan Myanmar terciderai bila mereka mengundang aktor internasional lain untuk menyelesaikan kasus Rohingya.

Apakah bagi Myammar jauh lebih terhormat bila mereka melakukan pembantaian terhadap orang-orang Rohingya.

Kepadanya, juga saya katakan, bahwa urusan Rohingya ini memang harus melibatkan negara dan lembaga internasional lain.

ASEAN tidak bisa lagi bersembunyi di balik prinsip non-intervensi yang selalu dibangga-banggakan dan terkadang bikin mual.

PBB harus menjatuhkan sanksi terhadap pemerintahan brutal seperti ini.

Panitia Nobel harus menarik Nobel yang diberikan kepada Aung San Suu Kyi tahun 1990.

Dan kita generasi 90an harus menjauhkan namanya dari nama-nama besar pejuang kemanusiaan yang kita agung-agungkan.

Belajar dari Pulau Galang

Saya ceritakan kepadanya, wartawan senior Myanmar ini, pelajaran yang bisa diambil dari kasus pengungsi Vietnam selatan di era 1970an. Indonesia memberikan bantuan, menyediakan sebuah kamp pengungsi di Pulau Galang, Kepulauan Riau.

Sekian lama berada di kamp Pulau Galang, mereka dapat merehabilitasi dan memulihkan kehidupan mereka, mengembalikan kepercayaan diri mereka sebagai manusia setelah sebelumnya jadi orang buruan.

Setelah itu, barulah mereka memilih jalan sendiri. Ada yang kembali ke Vietnam setelah perang saudara berakhir. Tak sedikit yang memilih negara lain.

Saat sekolah di Hawaii, saya pernah naik taksi yang supirnya adalah alumni kamp Pulau Galang. Dia bercerita banyak tentang pengalamannya melarikan diri dari Vietnam, naik perahu kecil yang isinya bisa ratusan orang, berminggu-minggu terombang-ambing sebelum akhirnya diselamatkan di kamp Pulau Galang.

Banyak di antara mereka yang tewas mengenaskan dalam pelarian di tengah laut.

Indonesia tidak bekerja sendiri menangani pengungsi Vietnam. Lembaga-lembaga internasional melibatkan diri dan memberikan bantuan yang tidak kecil.

Kini, untuk urusan Rohingya pun, saya rasa dunia internasional perlu membentuk operasi yang kurang lebih sama.

Ada dua negara utama yang menjadi tujuan pengungsi Rohingya dari Rakhine. Malaysia dan Indonesia. Barangkali, dugaan saya, karena kedua negara itu dianggap sebagai negeri muslim.

Ada baiknya agar dibuatkan kamp pengungsi, boleh di Malaysia, boleh di Indonesia, boleh dikedua-duanya. Di kamp itulah orang Rohingya dikonsentrasikan dan direhabilitasi kehidupannya, dan jiwannya.

Tetapi ini bukan perkejaan Indonesia dan atau Malaysia saja. Ini adalah pekerjaan masyarakat internasional. Dus, lembaga-lembaga internasional harus memberikan dukungan, termasuk dukungan finansial, karena tentu dibutuhkan biaya yang tak sedikit.

Setelah sekian lama berada di kamp pengungsi, dikembalikan kepercayaan diri mereka sebagai manusia, diberikan bekal keterampilan, diberikan pendidikan dan seterusnya, sampai mereka bisa berhadapan dengan kelompok masyarakat setempat dengan dignity.

Membiarkan orang Rohingya menetap di banyak tempat di Indonesia dengan begitu saja, menurut saya juga bukan hal yang bijaksana karena bisa menimbulkan masalah-masalah lain.

Saya bercerita dengan serius kepada teman saya dari Myanmar ini. Sementara yang diajak cerita semakin lama semakin tenggelam dalam lautan bir dan anggur yang disajikan di depannya.

Di akhir cerita dia tenggen. Muntah-muntah. Dan saya, bersama seorang teman Korea Utara, terpaksa memapahnya keluar ruangan.

 

Teguh Santosa

Mahasiswa Program Doktoral Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. 

Ikuti tulisan menarik jefri hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler