x

Ulama India Zakir Naik dan pimpinan FPI Rizieq Syihab bertemu dalam acara takziah ulama besar Arab Saudi Syekh Kholid Al Hamudi di Arab Saudi. Dok: Kuasa Hukum Rizieq Syihab, Sugito

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rizieq Shihab Populer di Kalangan Generasi Milenial Muslim

Rizieq Shihab menjadi satu dari tiga ulama terpopuler ditengah ekspresi keberagamaan generasi muslim milenial Indonesia sebagaimana rilis survei Alvara

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah rilis menarik dipublikasikan oleh salah satu lembaga survei, Alvara Research Center tentang kelas menengah muslim Nusantara yang menempatkan Rizieq Shihab sebagai satu dari tiga ulama terpopuler ditengah ekspresi keberagamaan generasi muslim milenial. Sebagaimana diunggah situs detik.com, bahwa hasil riset Alvara yang dilakukan mulai 5 September sampai 5 Oktober 2017 yang dilakukan di 5 kota besar di Indonesia, menempatkan Mamah Dedeh (25,3%), Aa Gymnastiar (23,4%) dan Habib Rizieq Shihab (13,9%). Padahal, sejauh ini, sosok Rizieq Shihab dikenal kontroversial ditengah masyarakat, bahkan ormas pimpinannya, FPI, dikategorikan sebagai ormas bermasalah. Ditengah menguatnya arus desakan untuk menjadikan perpu ormas menjadi undang-undang, keberadaan FPI justru semakin terancam menjadi ormas yang terkena pembubaran jika benar-benar perpu ini disetujui menjadi undang-undang.

Memang sulit untuk dipungkiri, bahwa generasi milenial atau yang dimaksud secara khusus adalah middle class moslem—sebagaimana dibahasakan oleh Hasanuddin Ali—merupakan generasi yang mampu mendorong lokomotif perekonomian karena daya beli mereka yang cukup tinggi, melek teknologi-informasi serta peka terhadap setiap perubahan, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Kelompok menengah muslim disebut golongan “mapan” secara sosial-ekonomi dan mereka berada dalam banyak sektor pekerja di masyarakat, baik PNS, pekerja swasta, atau pebisnis. Keberadaan kelompok menengah muslim ini cukup signifikan, terutama di level perkotaan, yang kemudian menentukan cara pandang mereka terhadap ekspresi keberagamaannya.

Saya barangkali lebih cenderung memisahkan antara “kelas menengah” dan “kelas muslim perkotaan” dalam melihat hasil survei Alvara ini. Kelompok kelas menengah memang secara umum lebih banyak didominasi kaum pekerja perkotaan yang relatif mapan, memiliki daya beli yang cukup dan tentu saja bekerja secara konvensional. Adapaun kelas muslim perkotaan adalah mereka yang merefleksikan sikap keislamannya, melalui penerimaan mereka atas pelbagai fenomena dakwah melalui beragam media yang mereka serap. Media, menjadi ajang utama dan menentukan cara pandang mereka terhadap ajaran Islam—terutama media sosial—sehingga sangat wajar ketika para tokoh agama yang mereka kenal lebih banyak yang terekspose oleh media. Penyebutan ulama-ulama seperti Mamah Dedeh, Aa Gym dan Habib Rizieq Shihab dipastikan menjadi tokoh populer dikalangan mereka, lagi-lagi karena media yang tak luput mempopulerkannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disebutkan oleh rilis Alvara, bahwa lebih dari separuh kelas menengah muslim Indonesia (59,7%) dekat dengan ormas Nahdlatul Ulama (NU), kemudian diikiuti oleh Muhammadiyah (11,0%) dan sisanya sebanyak 26% mengaku tidak berafiliasi dengan ormas Islam manapun (selengkapnya lihat di situs alvara-strategic.com). Penyebaran dan afiliasi kelas menengah muslim nampak lebih besar kecondongannya kepada NU, dikarenakan mungkin bahwa NU merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia yang memiliki seperangkat kultur yang diterima oleh sebagian besar masyarakat muslim. NU dipastikan selalu mengedepankan semangat “kultural” dengan mengusung nilai-nilai moderasi Islam yang lebih luwes dan terbuka, sehingga warisan turun temurun soal ke-NU-an seringkali diajarkan dari setiap generasi kepada generasi berikutnya.

Kecenderungan afiliasi kelas menengah muslim kepada ormas NU, tidak sebanding pula dengan kenyataan, bahwa mereka lebih mengenal ulama-ulama lain yang populer di ranah media, dibandingkan ulama-ulama NU lainnya yang secara keilmuan justru lebih mumpuni. Generasi milenial, saya kira, memang lebih banyak menyerap informasi melalui media sosial, sehingga cara pandang mereka terhadap informasi keagamaan cenderung instan. Mereka akan menganggap para pendakwah yang menghiasi layar kaca dan media yang sering mereka akses adalah sebagai ulama-ulama yang banyak memberikan informasi keagamaan kepada mereka.

Namun paling tidak, menempatkan Habib Rizieq Shihab sebagai ulama populer di kalangan kelas menengah muslim Indonesia, memang tak boleh dianggap remeh. Pergeseran cara pandang generasi kekinian dalam kelas menengah muslim, memang sebuah keniscayaan ditengah arus media yang terus membanjiri ruang-ruang informasi publik, termasuk dakwah keagamaan. Dakwah yang jauh sebelum generasi milenial selalu berada di ruang-ruang publik terbuka, dihadiri orang banyak bahkan cenderung monoton karena publik hanya sebagai pendengar, maka dakwah melalui media sosial cenderung bersifat interaktif, karena para konsumen dakwah dapat bertanya langsung bahkan berkomunikasi dengan pihak lainnya, menyoal beragam informasi keagamaan.

Derasnya arus informasi dan kemudahan akses memperolehnya, menjadi landasan utama cara generasi milenial muslim menyerap dan merefleksikan cara pandang keagamaan mereka. Tidak ada yang salah dengan cara pandang keagamaan yang berproses melalui penerimaan informasi dari media sosial, hanya saja bahwa kenyataan ini akan membuat pemahaman agama—dalam hal ini Islam—terkesan lebih instan dan pada akhirnya membentuk pola pikir dan cara pandang yang relatif kaku, bahkan cenderung “ekslusif” dalam beberapa hal. Mengetahui hanya beberapa ulama akibat pemberitaan media, tanpa membandingkannya dengan ulama lain yang luput dari pemberitaan media adalah refleksi dari cara pandang kekakuan itu sendiri. Parahnya, jika yang menguasai lini media adalah para tokoh agama yang cenderung “keras”, kurang kompromi atau menganut “klaim kebenaran” atas kelompoknya sendiri, maka dipastikan cara keberagamaan kelompok generasi ini tak akan jauh berbeda dengan pendahulunya.

Saya merasakan, bahwa kepopuleran Habib Rizieq Shihab di tengah generasi milenial muslim patut diacungi jempol, bukan karena dakwahnya yang terkadang “kasar” atau “ceplas-ceplos”, tetapi karena keberadaan dirinya yang diposisikan sejauh ini sebagai “korban” atas ketidakadilan penguasa. Pada tataran tertentu, generasi muslim milenial seakan menguat, membentuk jaringan-jaringan solidaritas keagamaan yang tak boleh dianggap enteng. Bahkan, mereka juga sebagian besar para pelajar, pendidik dan memiliki latar belakang pendidikan tinggi yang memiliki kelebihan dalam bidang keekonomian. Saya kira, hal ini akan menjadi PR besar ormas Islam, seperti NU atau Muhammadiyah untuk lebih banyak memberikan respon melalui dakwah keagamaan yang lebih baik, menempati ruang-ruang media konvensional dan sosial agar memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang ajaran-ajaran keislaman.

Rilis yang diungkap oleh Alvara Research Center tidak saja memberikan gambaran soal sebagian kalangan muslim yang memperoleh pengetahuan agamanya secara “instan” yang didapatkan melalui informasi media, tetapi ini menjadi warning bagi ormas-ormas besar muslim lainnya yang sejauh ini justru “gagal” membina dan memberikan edukasi soal keberagamaan yang lebih utuh kepada khalayak. Ormas-ormas Islam besar, baik NU maupun Muhammadiyah, ternyata tak bisa diserap berbagai ajarannya oleh kelas menengah muslim, sekalipun mereka sebagian besar “terafiliasi” secara kultural kepada ormas-ormas tersebut. Tingkat popularitas Habib Rizieq Shihab di tengah kelas menengah muslim, juga sudah seharusnya tidak diremehkan, karena bisa jadi ini penanda ulama-ulama kharismatik yang mumpuni di pesantren-pesantren semakin banyak yang ditinggalkan.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 jam lalu

Terpopuler