x

Badai.

Iklan

Kiara Indonesia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

KIARA: Indonesia Krisis Iklim, Negara Wajib Lindungi Pesisir

Dalam beberapa pekan terakhir, Indonesia mengalami krisis iklim yang sangat parah. Bentuknya berupa anomali suhu permukaan laut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernyataan Sikap Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Indonesia Krisis Iklim: Negara Wajib Menjamin Perlindungan Masyarakat Pesisir

Dalam beberapa pekan terakhir, Indonesia mengalami krisis iklim yang sangat parah. Bentuknya berupa anomali suhu permukaan laut yang menghangat sekurang-kurannya 26,5 derajat Celcius terjadi di sejumlah wilayah perairan Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena ini dengan siklon tropis. Secara teknis, siklon tropis terjadi akibat adanya proses sirkulasi atmosfer yang memindahkan panas dari daerah khatulistiwa menuju garis lintang yang lebih tinggi.

Fenomena siklon tropis ini menyebabkan gelombang tinggi sekitar 2,5-4 meter di Perairan barat Kepulauan Mentawai hingga Bengkulu, Laut Jawa bagian tengah , perairan utara Jawa Tengah; 4-6 meter di Perairan Selatan Banten hingga Jawa Tengah; dan 6-7 meter di Samudera Hindia selatan Jawa hingga Jawa Timur. Selain menjadi penyebab tingginya gelombang laut, siklon tropis juga menyebabkan kecepatan angin menjadi bertambah dari biasanya. Beberapa pekan terakhir, kecepatan angin bergerak mencapai 96 kilometer per jam.

Setelah Siklon Cempaka dan Siklon Dahlia melanda Indonesia, BMKG memprediksikan, masih ada dua siklon tropis yang akan terjadi di perairan Indonesia, yaitu: siklon tropis 93W dan siklon tropis 97S. Siklon tropis 93W terpantau di Laut Andaman sebelah utara Aceh dengan kecepatan angin maksimun 56 kilometer per jam. Sedangkan siklon tropis 97S terpantau di Samudera Hindia hingga selatan NTT dengan kecepatan angin maksimum 28 kilo meter per jam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fakta-fakta tersebut seharusnya menjadi perhatian pemerintah, baik pusat dan daerah, karena fenomena siklon tropis ini berdampak buruk, khususnya bagi masyarakat pesisir yang berada di dekat garis pantai. Pusat Data dan Informasi KIARA (2017) mencatat, akibat anomali cuaca ini banjir air laut dengan ketinggian bervariasi, merendam desa-desa nelayan di Sumatera bagian selatan, Jawa bagian tengah, dan juga Pulau Lombok bagian timur dan tengah.

Di wilayah Lampung Timur, misalnya, air laut dengan ketinggian mencapai betis orang dewasa membanjiri delapan desa di pertambakan udang Bumi Dipasena yang terletak di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Sejumlah petambak mengeluhkan kondisi banjir rob yang memasuki tambak udang mereka. Dalam waktu lama, jika air laut terus merendam kawasan tambak, maka sarana dan prasarana budidaya terancam tidak dapat beroperasi dan akan berdampak terhadap kelangsungan budidaya udang di Bumi Dipasena. Ancaman gagal panen pun tak dapat dihindari. Satu keluarga petambak akan mengalami kerugian paling kecil sebesar Rp20.000.000 jika mengalami kegagalan panen. Kawasan pertambakan udang dengan luas lebih dari 17.000 ha ini dihuni oleh 6.505 keluarga petambak. Artinya, jika ada 1.000 keluarga petambak yang menalami gagal panen, maka kerugian material mencapai 20 miliar Rupiah.

Sementara itu, banjir rob dengan ketinggian mencapai lutut orang dewasa merendam desa-desa pesisir di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Akibat banjir ini, 10.038 orang nelayan tangkap tidak bisa pergi melaut. Sejumlah nelayan di desa Morodemak, misalnya berharap pemerintah segera turun tangan untuk segera mengatasi masalah ini. Hal serupa terjadi Jepara, Jawa Tengah. Sejak tanggal 29 November 2017 lalu, cuaca buruk melanda desa pesisir di wilayah. Bahkan nelayan setempat menyebutkan setiap tiga bulan sekali nelayan harus menghadapi cuaca buruk yang sangat ekstrim. Akibatnya, 13.090 orang nelayan tak bisa melaut. Tak sedikit nelayan harus bertaruh nyawa dan hilang di laut karena harus menghadapi cuaca seperti ini.

Hal yang sama terjadi di Desa Jerowaru, Kecamatan Jero waru serta Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Banjir rob yang sangat tinggi telah menggenangi kawasan ini sejak beberapa pekan lalu. Akibatnya, 856 orang nelayan tangkap, lebih dari 450 orang petambak garam dan ratuan petambak ikan bandeng pun terkena dampak buruk. Jika dihitung, total kerugian material akibat banjir rob yang melanda sejumlah desa di dua kecamatan di Kabupaten Lombok ini mencapai 5 miliar Rupiah. Kerugian ini merupakan akumulasi dari terhentinnya aktivitas dan hancurnya fasilitas tambak garam, hancurnya tambak ikan bandeng, rusaknya puluhan rumah, kerugian lain yang dialami oleh nelayan tangkap.

Dampak buruk ini diperparah oleh minimnya informasi termurakhir mengenai perkembangan cuaca, iklim dan berbagai anomalinya yang dapat diakses oleh masyarakat pesisir. Dengan demikian, secara psiko-sosial masyarakat pesisir merasakan ketidakamanan karena tidak mengetahui akan adanya bencana susulan yang bisa datang kapan saja.

Tambak Udang Dipasena di Lampung, Demak dan Jepara di Jawa Tengah, Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat merupakan tiga wilayah pesisir di Indonesia yang terkena dampak buruk anomali cuaca di Indonesia. Selain tiga wilayah tersebut, tak sedikit desa kawasan pesisir yang mengalami hal serupa. Dengan demikian, dampak buruk kehadiran siklon tropis ini harus dikategorikan bencana nasional karena tidak terjadi hanya di satu lokasi melainkan di banyak tempat. Secara umum, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya 1,8 juta orang di seluruh Indonesia terdampak. Dari angka itu, 19 meninggal dunia akibat cuaca buruk.

Berkaca pada fakta-fakta tersebut di atas, KIARA menuntut pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk segera memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir yang terkena dampak cuaca buruk. Perlindungan untuk masyarakat pesisir merupakan mandat konstitusi yang harus segera ditunaikan oleh pemerintah. Adapun hal-hal yang harus segera dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, beserta kementerian/lembaga terkait harus menyediakan informasi akurat mengenai segara hal yang terkait dengan anomali cuaca, dampak dan strategi adaptasi yang harus dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Hal ini penting dilakukan mengingat mayoritas masyarakat pesisir tidak dapat mengakses informasi yang detail dan terkini mengenai perkembangan bencana yang akan terjadi.

2. Sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 12 Undang-undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam untuk menyediakan skema perlindungan, yaitu: a) penyediaan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman; b) kemudahan memperoleh sarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman; c) jaminan kepastian usaha; d) jaminan risiko Penangkapan Ikan, Pembudidayaan Ikan, dan Pergaraman; e) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; f) pengendalian impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman; g) jaminan keamanan dan keselamatan; dan h) fasilitasi dan bantuan hukum.

Selain itu, Pasal 12 Undang-undang No. 7 Tahun 2016 memberikan mandat kepada pemerintah untuk menyediakan skema pemberdayaan melalui: a) pendidikan dan pelatihan; b) penyuluhan dan pendampingan; c) kemitraan usaha; d) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan e) penguatan Kelembagaan.

Di dalam konteks perubahan iklim dan bencana alam, Pasal 30 UU No. 7 Tahun 2016 memandatkan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir yang terkena resiko, yaitu dengan memberikan: a) Asuransi Perikanan atau Asuransi Pergaraman untuk kecelakaan kerja; atau b) asuransi jiwa untuk kehilangan jiwa

3. Di dalam dokumen Voluntary Guidelines For Securing Sustainable Small-Scale Fisheries In The Context Of Food Security And Poverty Eradication (Petunjuk Sukarela untuk Menjamin Perikanan Skala Kecil yang Berkelanjutan dalam Konteks Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan) yang dipublikasikan oleh FAO pada tahun 1995, pemerintah memiliki mandat untuk: 1) mengembangkan kebijakan dan rencana untuk mengatasi perubahan iklim di perikanan, khususnya dalam strategi untuk adaptasi dan mitigasi, serta membangun ketahanan, konsultasi penuh dan efektif dengan masyarakat nelayan termasuk masyarakat adat, lelaki dan perempuan, serta memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan. Dukungan khusus harus diberikan untuk masyarakat nelayan skala kecil yang tinggal di pulau-pulau kecil di mana perubahan iklim mungkin memiliki implikasi tertentu untuk keamanan pangan, gizi, perumahan dan mata pencaharian mereka; 2) mempertimbangkan untuk membantu dan mendukung masyarakat nelayan skala kecil yang terkena dampak oleh perubahan iklim atau bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia, termasuk melalui adaptasi, mitigasi dan bantuan rencana; dan 3) memahami tanggap darurat dan kesiapsiagaan bencana dalam perikanan skala kecil dan menerapkan konsep kelanjutan bantuan pengembangan. Tujuan pembangunan jangka panjang perlu mempertimbangkan seluruh urutan tanggap darurat, termasuk pada tahap bantuan darurat, rehabilitasi, rekonstruksi dan pemulihan harus mencakup tindakan untuk mengurangi kerentanan terhadap potensi ancaman di masa depan. Konsep 'membangun kembali lebih baik’ harus diterapkan dalam respon dan rehabilitasi bencana.

4. Indonesia harus segera memiliki peta jalan konkrit dan terarah guna menjawab krisis iklim yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Dengan demikian, agenda-agenda lama pemerintah yang terkait dengan solusi mitigasi dan solusi perubahan atau krisis iklim perlu ditinjau ulang karena tidak memiliki dampak bagi kehidupan masyarakat pesisir. Sejumlah solusi yang ditawarkan seperti proyek Blue Carbon atau proyek Coral Triangle Initiative (CTI) jauh dari persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir. Fakta di lapangan menunjukkan, kedua proyek tersebut justru mengusir masyarakat dari wilayah laut sebagai bagian hidup mereka.

5. Banjir rob yang terjadi di sejumlah wilayah di atas tidak dapat dikategorikan sebagai bencana alam yang bersifat lokal serta bencana alam biasa, sebaliknya ini adalah bencana nasional yang dampaknya luar biasa. Setelah melihat dampak dan kerugian yang dialami oleh masyarakat, bencana alam ini adalah bencana nasional yang luar bisas. Karena itu pemerintah dituntut untuk tidak memberikan penangangan secara biasa, melainkan harus luar biasa.

Jakarta, 5 Desember 2017

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Ikuti tulisan menarik Kiara Indonesia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler