x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Purnawirawan Jenderal Berdemokrasi

Jika ada anggapan bahwa masuknya Purnawirawan Jenderal kedalam struktur pemerintahan akan merusak sistem demokrasi, hal ini saya fikir wajar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Ikhsan Yosarie

 

Masuknya para Purnawirawan Jenderal kedalam politik praktis, tidak hanya menyoal posisi mereka dalam struktur pemerintahan. Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, Ryamizard Ryacudu, Agum Gumelar, Moeldoko, Subagyo Hadi Siswoyo, Yusuf Kartanegara, Try Sutrisno dan Wisnu Bawa Tenaya menjadi nama-nama Jenderal Purnawirawan yang tengah berada dalam lingkaran struktur pemerintahan, baik sebagai menteri, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), maupun Kepala Staf Presiden (KSP).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika ada anggapan bahwa masuknya Purnawirawan Jenderal kedalam struktur pemerintahan akan merusak sistem demokrasi, hal ini saya fikir wajar. Landasan utamanya tentu watak, pengalaman Dwi Fungsi ABRI, dan background yang dimiliki oleh para Purnawirawan Jenderal. Mereka dididik dengan cara-cara militer atau cara-cara yang relevan dengan statusnya sebagai alat negara dan fungsinya sebagai alat pertahanan keamanan negara. lebih dari itu, mereka juga didik dengan garis komando yang cenderung paradoks dengan nilai-nilai kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi.

Secara konseptual, pembahasan mengenai fenomena ini akan sampai kepada bahasan relasi sipil-militer. Meskipun Purnawirawan Jenderal bukan lagi merupakan prajurit aktif dan telah menjadi warga negara biasa, namun mereka tetap dianggap dekat dengan TNI ataupun Polri secara institusi, mengingat kaitan ujungnya adalah korps. Indikasi yang muncul cukup masuk akal, yaitu kecemasan terganggungnya netralitas dan profesionalitas duo alat negara tersebut. Pangkat Jenderal yang mereka sandang sebelum pensiun memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap institusi, belum dengan melihat jabatan akhir mereka, semisal sebagai Kepala Staf Angkatan ataupun Panglima.

Kemudian, relasi para Purnawirawan Jenderal ini tentu akan sampai kepada petinggi-petinggi duo institusi ini, sehingga akan ada indikasi memiliki pengaruh secara politis. Lebih lanjut, anggapan tersebut juga dapat kita cerna dengan cara berfikir bahwa sampai kapanpun, militer tetaplah militer, karena dari sanalah jati diri dan identitas mereka ditempa dan terbentuk. Dalam sebuah adagium yang universal yang menguatkan cara berfikir demikian, bahwa old soldier never die, they just fade away.

Selain kedekatan Purnawirawan Jenderal dengan masing-masing institusi, relasi kedekatan lainnya yang patut diperhatikan adalah dengan prajurit aktif. Rasa saling menghormati, kepangkatan, senioritas (tahun masuk), jiwa militer dan Esprit de Corps menjadi nilai dasar yang muncul dalam relasi ini. Hal inilah yang menghubungkan purnawirawan dengan prajurit aktif. Meskipun telah pensiun cara pandang dan jiwa tetaplah militer, karena disanalah mereka ditempa. Mereka yang berada diluar korps ini, tentu tidak akan bisa menghayati kehidupan, pelaksanaan tugas, semangat dan perasaan dalam kesatuan korps tersebut.

Supremasi Sipil?

Memasuki era demokrasi, supremasi sipil menjadikan TNI dan Polri (dahulu ABRI) harus tunduk kepada otoritas  sipil. Filosofi demikian yang bisa dipahami untuk menjawab mengapa duo institusi tersebut bisa menjadi alat negara, dan berada dibawah kendali pemerintah sipil yang sah. Meski demikian, pola relasi sipil-militer itu harus senantiasa diawasi, agar tidak mengarah kepada pemanfaatan alat negara secara politis untuk kepentingan penguasa atau kelompok tertentu.   

Dalam pola relasi sipil-militer, indikasi penyalahgunaan wewenang oleh penguasa terhadap penggunaan alat negara tetap ada. Relasi yang tidak tepat, tentu akan merusak tataran norma dan nilai dalam sistem demokrasi, mengingat salah satu relasi terkait dengan alat negara yang memiliki persenjataan lengkap. Samuel Huntington kemudian mengemukakan dua relasi yang mencerminkan hubungan sipil-militer dalam suatu negara.

Pertama, Objective Civilian Control atau Militarizing the Military. Relasi ini merupakan pengendalian sipil objektif. Caranya dengan dengan memberikan semacam otonomi kepada militer. Pemberian otonomi kepada institusi militer ini penting, karena banyak hal didalam tubuh militer itu tidak diketahui sipil. Menyerahkan sepenuhnya kepada pihak militer adalah pilihan terbaik. Namun, kekuasaan kaum militer juga diminimkan, tetapi dengan tidak menghilangkan kekuasaan dan kekuatan militer itu sendiri. hal ini dilakukan dalam rangka memperbesar profesionalisme kaum militer. Suatu korps perwira yang profesional, seperti halnya di barat, selalu siap melaksanakan kehendak golongan sipil manapun yang merupakan kekuasaan atau pemerintahan yang sah di suatu negara (Nugroho Notosusanto, Seri Prisma:1995).

Kedua, Subjective Civilian Control atau Civilianizing the Military. Relasi inimerupakan keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan yang berkompetisi dalam masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan mereka. Pola ini juga memungkinkan militer dikendalikan oleh korporasi, yang terjadi melalui perantara kelompok yang berkuasa. Tipe relasi ini dapat merusak sistem demokrasi sebuah negara sekaligus internal institusi yang bersangkutan, misalnya menimbulkan fraksi perwira didalam tubuh TNI dan Polri.

Dalam relasi ini, kelompok penguasa tentu dapat dengan leluasa melakukan infiltrasi politik kedalam tubuh duo intitusi TNI-Polri. Campur tangan dalam birokrasi TNI dan Polri, atau bahkan perihal kenaikan pangkat bisa menjadi salah satu target yang ingin diincar penguasa demi menciptakan hutang politik kepada perwira kedua institusi tersebut.

Dalam konteks relasi sipil-militer, bisa kita pahami bahwa masuknya Purnawirawan Jenderal kedalam politik praktis dan struktur pemerintahan memiliki potensi untuk mengantisipasi terciptanya relasi yang negatif dan menjaga supremasi sipil.

Relasi Subjective Civilian Control dapat ditekan dengan adanya jiwa militer dan Esprit de Corps yang dimiliki para Purnawirawan yang akan muncul demi memagari netralitas, profesionalitas, dan harga diri korpsnya. Ketika alat negara berubah menjadi alat penguasa dan mereka dijadikan pilar penopang pemerintahan layaknya militer di zaman Orde Baru, menurut mantan Pangkopkamtib Soemitro, kondisi seperti ini mencerminkan TNI-Polri (dahulu ABRI) mengalami proses down graded (penurunan derajat), dari alat negara menjadi alat kekuasaan politik (Salim Said, 2006).

Adagium bahwa old soldier never die, they just fade away dapat diposisikan sebagai sesuatu yang positif dalam hal ini. Purnawirawan Jenderal tersebut meskipun telah pensiun tetap merupakan bagian dari korps masing-masing. Mereka bisa berada pada posisi pembatas antara institusi alat negara dan lembaga sipil. Jika salah satu dari kedua kelompok melewati batas, misalnya intitusi alat negara bermain politik praktis, atau lembaga sipil melalui politisinya melakukan infiltrasi politik, Purnawirawan Jenderal dapat beroperasi menjadi pemutus rantai yang ilegal tersebut. Pengibaratannya adalah Purnawirawan Jenderal berada “diatas” kedua golongan tersebut apabila indikasi relasi Subjective Civilian Control muncul.

Lebih lanjut, Purnawirawan Jenderal juga dapat berperan lebih dalam menjaga supremasi sipil. Posisi mereka yang dihormati dan mantan Jenderal di institusi TNI-Polri tentu memiliki pengaruh. Dengan pengaruh tersebut, mereka bisa mereduksi kemungkinan-kemungkinan “ketidaksenangan” institusi TNI dan Polri kepada pemerintah, misalnya persoalan anggaran belanja, peralatan persenjataan, maupun kesejahteraan anggota. Artinya, Purnawirawan Jenderal menjadi penghubung diantara kedua pihak, sehingga dapat meredam konflik-konflik yang berpotensi muncul.

Harapannya, tentu para Purnawirawan Jenderal yang telah berada pada teras kekuasaan pemerintahan tidak berfikir pragmatis terhadap jabatan. Jiwa militer yang senantiasa setia untuk melindungi negara dan bangsa, tidak boleh terkikis hanya karena jabatan dan materi.

 

Sumber gambar : Netizenia.com

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler