x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Suramadu dan Keunggulan Politik Petahana

Calon presiden petahana punya political advantage atau keunggulan politis dikarenakan ia masih menjabat sebagai presiden

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Penggratisan biaya Tol Jembatan Suramadu oleh Presiden Joko Widodo mengundang kritik bahwa keputusan ini beraroma pencitraan dalam rangka pilpres. Terlebih lagi karena sejumlah ulama yang naik ke truk bersama Presiden sempat mengacungkan satu jari. Kubu kompetitor bilang, kenapa tol Jagorawi yang sudah balik modal dan bahkan sudah untung tidak digratiskan juga? Kubu petahana merespon, penggratisan Jembatan Suramadu ini demi membantu rakyat, bukan untuk pencitraan.

Pencitraan yang disengaja atau bukan, memang harus diakui adanya kenyataan bahwa calon presiden petahana punya political advantage atau keunggulan politis dikarenakan ia masih menjabat sebagai presiden. Jokowi dapat berkeliling Indonesia dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai Presiden. Tanpa berkampanye secara formal sekalipun, ia akan mendapat liputan dari media nasional maupun lokal, terlebih lagi sebagian besar media televisi utama di negeri ini dimiliki pengusaha yang sekaligus politikus pendukung petahana. Tanpa berkampanye secara formal pun, capres petahana dapat mengunjungi rakyat di belahan pulau manapun untuk meresmikan ini dan itu, termasuk mendeklarasikan penggratisan Jembatan Suramadu—yang sebenarnya tak perlu dibuatkan acara khusus semacam itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi itulah political advantage yang dipunyai calon presiden petahana, yang tidak dapat dinikmati oleh kompetitornya. Ini tidak ubahnya (walau tak sama persis) pebalap motor yang memperoleh keuntungan berada di urutan terdepan saat balapan karena ia unggul dalam balapan latihan sebelumnya. Di negara manapun, political advantage akan selalu dinikmati oleh calon petahana. Hanya saja, tidak semua calon petahana mampu memanfaatkan keunggulan posisinya itu dengan jitu.

Mengambil contoh di AS, sosok seperti Bill Clinton, George W. Bush, maupun Barack Obama juga menikmati political advantage saat mereka mencalonkan diri untuk menjadi presiden kembali. Kemenangan mereka sehingga duduk kembali di Gedung Putih untuk periode kedua kepresidenan tidak terlepas dari political advantage yang mereka miliki sebagai calon-calon presiden petahana.

Political advantage semacam itu sebenarnya alamiah belaka. Namun kurangnya kecerdikan dalam pemanfaatannya kadang-kadang jadi mengundang kritik. Lumrah bila kubu kompetitor lantas mengritik beberapa kegiatan Presiden sebagai pencitraan. Kritik ini direspon oleh pendukung petahana dengan berusaha meyakinkan bahwa kegiatan Presiden bukanlah pencitraan. Tak terhindarkan, perdebatan antara dua kubu kompetitor ini jadi berkutat di seputar pencitraan atau bukan.

Dalam pemasaran, pencitraan sebenarnya bagian penting dari strategi memengaruhi persepsi untuk menarik hati konsumen Namun saat ini, istilah pencitraan—terlebih dalam konteks politik—telanjur punya konotasi kurang elok karena terkesan kurang jujur dan tulus. Tak heran bila kubu kompetitor petahana menduga bahwa di balik penggratisan Jembatan Suramadu itu ada hasrat menarik hati warga sekitarnya, khususnya Madura. Sementara itu, kubu petahana berusaha keras meyakinkan publik bahwa keputusan itu bukan untuk pencitraan, melainkan untuk mendongkrak perekonomian Madura. Saling bantah terjadi karena istilah pencitraan kadung punya konotasi negatif sebagai upaya political branding semata.

Sebagaimana di pilpres negara lain yang menganut pembatasan dua periode jabatan, penantang petahana memang menghadapi tantangan yang lebih berat mengingat capres petahana punya political advantage yang melekat pada jabatan presiden yang masih ia pegang. Sekalipun George W. Bush dikritik habis kebijakan pemerintahannya, tapi ia tetap berhasil merebut periode kedua, antara lain berkat keunggulan politiknya sebagai petahana. Jadi, sejak SBY menjabat dua periode, maka presiden selanjutnya sangat berpotensi juga akan selalu memegang jabatan selama dua periode.

Kompetisi politik di manapun selalu melibatkan pembentukan persepsi publik yang memadukan penonjolan kinerja dan branding, termasuk melalui survei. Kinerja yang kurang bagus bisa dipoles sehingga tampak bagus di mata masyarakat, sebaliknya polesan yang tidak bagus akan membuat kinerja bagus jadi terlihat jelek di mata publik.

Memang tidak selalu mudah memilah antara pencitraan semata dan keputusan yang didasari pertimbangan rasional untuk kepentingan masyarakat. Namun secara umum rakyat mampu merasakan. Lagi pula, yang pertama-tama tahu apakah sebuah keputusan—termasuk menggratiskan Jembatan Suramadu—bukan pencitraan untuk sekedar meraih simpati masyarakat adalah hati kecil si pembuat keputusan.

Jadi, alih-alih mengritik apa yang dilakukan petahana sebagai pencitraan, rasanya akan lebih bagus bila capres kompetitor mampu menunjukkan bahwa mereka merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan capres petahana, dari sisi personalitas maupun gagasan dan kinerja. Kapabilitas komunikasi jadi unsur krusial dalam memengaruhi persepsi masyarakat. Lantaran itu, capres kompetitor perlu menyiapkan strategi untuk mengatasi political advantage yang dinikmati capres petahana. Jika tidak, maka masa jabatan dua periode akan jadi kelaziman, siapapun orangnya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler