x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tukang Sorak dan Juru Tafsir Para Capres

Ada beberapa peran dan fungsi yang dimainkan para politikus untuk mendukung calon presiden-wakil presiden yang mereka dukung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Gelanggang politik selalu memperlihatkan beraneka watak manusia, terlebih ketika berkaitan dengan kekuasaan dan pemilihan (legislatif maupun presiden). Dalam ikhtiar menarik perhatian kompetitor politik maupun perhatian rakyat, mereka menampilkan bermacam-macam perilaku. Walaupun begitu, bila barang sedikit dicermati, akan terlihat pola perilaku mereka.

Boleh dikata, ada semacam beberapa peran dan fungsi yang dimainkan para politikus untuk mendukung calon presiden-wakil presiden yang mereka dukung. Mereka bukan hanya mempromosikan dan memuji-muji capresnya, tapi juga memainkan peran lain, seperti jadi penyorak, penyerang, penafsir, dan pembela yang gigih. Sebagian politikus memainkan peran tertentu, tapi ada pula yang borongan—memainkan semua peran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tugas tukang sorak, sesuai namanya, adalah memberi semangat kepada kubunya dan sebaliknya menyoraki kubu lawan yang sedang apes terantuk rintangan tertentu atau terpeleset, misalnya salah ucap atau melangkahi makam. Di satu saat, penyorak bertepuk tangan bila calon dari kubunya sedang berada di atas angin. Di saat yang lain, penyorak akan menyindir, meledek, atau bahkan menyoraki kubu lawan yang terpeleset. Bila disebut sebagai serangan, boleh dibilang serangan tukang sorak itu lebih untuk menertawakan kubu lawan agar tampak kurang cerdas di mata masyarakat.

Lain lagi peran penafsir atau juru tafsir. Ketika pasangan capres/cawapres melontarkan ucapan atau istilah yang bisa ditafsirkan macam-macam oleh banyak orang, beberapa orang dari pendukungnya akan buru-buru mengeluarkan tafsir atas ucapan itu. Contohnya ketika Capres Joko melontarkan istilah Politik Genderuwo dan Prabowo dengan Tampang Boyolali-nya.

Para penafsir dengan buru-buru berusaha menjelaskan apa yang dimaksud oleh capres masing-masing. Tujuannya untuk segera meluruskan ucapan capres/cawapres agar tidak keburu dibengkokkan atau digoreng kubu kompetitor atau dilepaskan dari konteksnya. “Rakyat jangan mau ditakut-takuti. Ini seperti ada orang yang menakut-nakuti, eh jangan lewat jalan itu karena ada genderuwo di sana. Pak Jokowi bilang jangan takut,” kata Arya Sinulingga, juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, seperti dikutip media, berusaha menjelaskan istilah politik Genderuwo.

Ada pula peran penyerang, yang bertugas menyerang pernyataan kubu kompetitor. Mereka kadang-kadang memanfaatkan bahan bakar atau amunisi yang tanpa sadar disediakan oleh kubu kompetitor. Misalnya saja ketika Prabowo menyebutkan bahwa orang miskin di Indonesia mencapai 99%, pemain penyerang di kubu Jokowi menyerang balik: “Dari mana datanya?” Serangan ini berusaha mementahkan pernyataan Prabowo dengan mengatakan pernyataan itu tidak disertai data yang valid.

Pemain bertahan juga ada. Mereka berperan sebagai pembela jika capres/cawapresnya diserang. Layaknya pemain belakang dalam sepakbola, politikus ini berperan menghalau serangan yang ditujukan kepada kubu mereka. Caranya bisa dengan mengelak, menepis, membantah, mengecilkan arti serangan lawan, hingga melakukan serangan balik.

Suatu ketika Hasto Kristyanto, Sekretaris Tim Kampanye Nasional capres Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang juga Sekjen PDI-P, menyindir pasangan Prabowo-Sandiaga. “Apa yang terjadi dengan permintaan maaf yang dilakukan berulang kali oleh prak Prabowo dan pak Sandi sebaiknya jangan terjadi lagi,” kata Hasto.  Ferry Juliantono, dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, membalikkan sindiran itu. Kubu Jokowi-Ma’ruf, kata Ferry, tidak pernah meminta maaf walau sudah beberapa kali melakukan kesalahan. “Jadi, perbedaannya sangat jelas,” kata Ferry, “kami tetap mengambil sikap meminta maaf sekiranya ada pihak yang kurang berkenan, nanti masyarakat yang akan menilai.”

Sayangnya, apa yang terjadi lebih banyak berupa ‘perang kata-kata’ di permukaan, tidak berlanjut menjadi diskusi dan perdebatan yang mendasar atau substansial mengenai berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Para pemain peran agaknya sudah cukup senang untuk bermain gertak sambal dan membiarkan masyarakat menduga-duga apa perbedaan program Jokowi mendatang dibandingkan program pada periode kepresidenannya yang sudah berjalan; apa perbedaan program Prabowo dibandingkan program Jokowi; dan apakah program lama Jokowi berhasil, dan jika ada yang tidak berhasil apa tawaran solusi dari Prabowo? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu