x

Iklan

Verona Fitria

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mematahkan Klaim Ma’ruf soal Antikorupsi Era Jokowi dan SBY

Empat penerima penghargaan antikorupsi itu adalah KPK, ICW, pers, dan SBY. Ya, presiden RI ke-6, yang kata Ma’ruf Amin, kurang komitmen memberantas korupsi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada Juli 2009 silam, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Anti Korupsi memberikan penghargaan Corruption Award empat individu dan instansi. Keempatnya dinilai berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Empat penerima penghargaan antikorupsi itu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesia Corruption Watch (ICW), lembaga pers, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ya, presiden RI ke-6, yang kata cawapres petahana Ma’ruf Amin, kurang komitmen memberantas pidana rasuah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang, jelang hari antikorupsi se-dunia yang jatuh pada 9 Desember mendatang, para kandidat Pilpres 2019, mulai ‘jualan’ wacana antikorupsi. Salah satunya Ma’ruf, yang mengklaim pemberantasan korupsi di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), lebih gencar dibanding pemerintahan sebelumnya.

Menurutnya, pemerintah saat ini memberikan keleluasaan untuk melakukan pencegahan maupun penindakan kasus korupsi. Salah satu indikasinya, banyak gubernur, bupati, dan walikota yang ditangkap KPK. Baginya, ini bukti pemberantasan korupsi berjalan.

Benarkah demikian? Banyak pejabat yang masuk penjara, menjadi tanda penegakan hukum yang luar biasa?

Rasanya agak naif kalau menilai komitmen antikorupsi penguasa hanya dilihat dari kuantitas jumlah kasus korupsi kepala daerah. Apalagi, jika penilaian yang kurang fair itu dijadikan pula sebagai alasan untuk menjelekkan pemerintahan sebelumnya.

Agar lebih adil, ada baiknya jika kita membuka sedikit data tentang pemberantasan korupsi era SBY. Dengan begitu, kita bisa membandingkan secara menyeluruh dengan rezim Jokowi. Apakah benar klaim Ma’ruf bahwa Jokowi lebih baik, atau malah sebaliknya?

Era SBY

Dalam pidatonya di sidang paripurna DPR, jelang meletakkan jabatan pada 2014 lalu, SBY memaparkan penanganan korupsi selama 10 tahun ia memimpin bangsa ini. Kata SBY, dalam kurun 2004-2014, dia telah menandatangani 176 izin pemeriksaan bagi kepala daerah dan pejabat yang disangka terlibat korupsi.

(https://nasional.tempo.co/read/599916/sby-banggakan-capaian-pemberantasan-korupsi)

Selain itu, pada rentang waktu yang sama, tercatat ada 277 pejabat negara, baik pusat dan daerah, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang ditangkap KPK terkait tindak pidana korupsi. Jumlah ini belum termasuk perkara yang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan.

Kala itu, penegak hukum relatif tidak tebang pilih dalam menangkap para koruptor. Tak peduli apa jabatannya, partai politiknya, dan siapa koneksinya, hukum cenderung berlaku adil. Buktinya tak sedikit anggota dan pengurus partai penguasa yang mendekam di penjara. Bahkan, kerabat presiden sekalipun, tidak diperlakukan istimewa.

Karena itulah, SBY dianugerahi Corruption Award oleh mahasiswa. Semangat dan komitmen ketua umum Partai Demokrat itu dalam pemberantasan korupsi sudah tidak diragukan lagi. Terlebih, sejak dulu hingga kini, keberpihakan SBY terhadap KPK terlihat jelas. Beda jauh dengan pemerintahan sesudahnya.

Era Jokowi

Ada banyak hal yang bisa mementahkan klaim Ma’ruf yang menyatakan penguasa saat ini komitmen dalam pemberantasan korupsi. Di antaranya, Jokowi kerap memberikan remisi kepada koruptor. Sebuah kebijakan yang tak pernah dilakukan SBY sebelumnya.

Pada peringatan HUT RI tahun 2016, Jokowi memberikan remisi terhadap 428 narapidana kasus korupsi. Tahun 2015, pemerintahannya kembali menerbitkan remisi bagi 1.938 narapidana koruptor. Tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan semangat antikorupsi.

Kemudian soal dukungan terhadap Pansus KPK yang bergulir beberapa weaktu lalu. Meski lembaga antirasuah itu tengah babak belur dihajar wakil rakyat, Jokowi memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Semakin memilukan, karena yang tergerak membela KPK justru datang dari kalangan oposisi, Partai Demokrat, PKS, Gerindra dan ditambah PKB.

Namun di atas itu semua, yang paling disorot publik adalah adanya kesan tebang pilih dalam mengusut perkara korupsi. Saat orang-orang dekat penguasa yang bersengketa, kasusnya cenderung aman. Apalagi yang menyangkut kerabat atau sanak famili, dipastikan perkaranya tak akan berjalan.

Jika sudah begini, masihkah juga akan menganggap penanganan korupsi era SBY lebih buruk dari saat ini? Jadi ada baiknya mulai saat ini kiai mempelajari data sebelum bicara. Tak perlulah menjelekkan pemerintah sebelumnya, jika yang ingin dipuji ternyata tidak pula lebih baik.

Ikuti tulisan menarik Verona Fitria lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 jam lalu

Terpopuler