x

Iklan

Yatini Sulistyowati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemilu 2019, Bagaimana Peluang Caleg Perempuan?

Banyak kendala untuk mencapai affirmative action keterwakilan perempuan di lembaga legislatif

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Representasi perempuan dalam politik melalui para politikus perempuan jelas suatu kemajuan peradaban. Namun, perlu dicatat bahwa representasi politik tidak melulu diafirmasi melalui jumlah wakil dalam lembaga politik. Salah satu fungsi partai politik dalam UU No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik adalah “rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan publik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.” Tetapi, langkah untuk ‘memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender’ yang diamanatkan oleh pasal di atas justru telah salah dimaknai oleh para penyusun undang-undang kita. Pasal 65 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum menyebut “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”

UU No. 31 tahun 2002 secara tepat mengakomodasi kehendak untuk meningkatkan derajat keterwakilan perempuan. Dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender, diharapkan bahwa partai-partai politik tidak akan mengabaikan isu-isu tentang kepentingan kelompok penduduk berjenis kelamin tertentu (terutama perempuan, mengingat relatif tertinggalnya kelompok ini dibandingkan laki-laki). UU ini juga akan meminimasi kemungkinan pratik diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam menentukan kapabilitas seseorang untuk menjadi kandidat dalam pemilu.

Menilik aturan dalam kedua undang-undang di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan dasar antara ‘memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender’ dan ‘memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%’. Kalimat kedua menekankan pada aspek jumlah sebagai bukti kesetaraan dan keadilan, sementara kalimat pertama tidak secara eksplisit menyebut demikian. Jika jumlah wakil yang duduk di lembaga perwakilan dianggap sebagai bukti akomodasi negara terhadap kelompok yang dimaksud, maka selain jumlah wakil perempuan yang minimal 30%, seharusnya undang-undang juga mengamanatkan jumlah minimal wakil dari agama tertentu, etnik tertentu, bidang pekerjaan tertentu, atau bahkan kelompok penggemar klub olahraga tertentu yang kepentingannya barangkali relatif kurang terakomodasi dibandingkan kepentingan kelompok lain di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sesungguhnya logika keterwakilan tidak melulu dibangun berdasarkan jumlah wakil. Bagaimana jika ada perempuan yang duduk di parlemen justru mengusung isu yang kemungkinan merendahkan martabat perempuan (hanya karena dia memperoleh keuntungan ekonomi, politik, atau keuntungan-keuntungan sepihak lainnya dari isu yang diusung)? Apakah perempuan yang demikian lebih layak dipertimbangkan untuk dijadikan wakil rakyat ketimbang laki-laki yang mengusung isu pemberdayaan perempuan – hanya atas nama jumlah representasi perempuan?

Pada akhirnya, saya meyakini bahwa kesetaraan dan keadilan gender menjadi agenda yang belum usai untuk dicermati. Konstruk sosial pun mesti menempatkan perempuan pada posisi subjek yang cukup-diri dan berkekuasaan untuk mengusung kepentingan mereka dan merealisasikan gagasan mereka bersama dengan kelompok lain dalam masyarakat. Tetapi, jelas bahwa jalan untuk menempatkan kepentingan perempuan sebagai salah satu pertimbangan dalam politik tidaklah mesti semata dengan memperbanyak jumlah perempuan yang terjun ke dunia politk. Meski harus diakui bahwa ia dapat menjadi salah satu cara. Lebih dari itu, mengusung perspektif gender yang berkesetaraan dan berkeadilan dalam interaksi sosial akan jauh lebih berarti bagi proporsionalitas posisi dan peran perempuan.

 Aturan

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) telah mengakomodasi tindakan afirmatif bagi perempuan. Di antaranya ketentuan yang mengharuskan daftar calon legislatif minimal harus ada 30 persen perempuan.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dan organisasi perempuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, tetapi hasilnya belum sesuai yang diharapkan. Proporsi anggota legislatif perempuan yang terpilih gagal mencapai affirmative action 30 persen pada Pemilu 2014.

Justru proporsi tersebut mengalami penurunan dari 18,2 persen pada tahun 2009 menjadi 17,3 persen di tahun 2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6 persen tahun 2009 menjadi 37 persen pada 2014. keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2014 berada pada angka tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 37 persen. Namun, Anna Margret, ketua Cakra Wikara Indonesia, menyampaikan bahwa walaupun Pemilu 2014 terjadi penguatan kebijakan afirmasi tetapi hasilnya justru  turun.

Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota.

Kemudian tahun pada tahun 2017 terjadi perubahan, UU No. 7 tentang pemilu serentak pemilu legislatif dan pemilihan presiden disahkan. Pemilu 2019 adalah pemilihan umum serentak pertama yang digelar di Indonesia.  Sehingga akan terjadi pemilihan umum secara serentak yaitu pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan legislatif (Pilleg) dan pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).  Dan ada tiga  ranah, yaitu untuk memenangkan presiden, partai dan individu (calon legislative maupun DPD). Dalam UU Pemilu yang baru ini, tak ada perubahan dalam kuota untuk keterwakilah perempuan di legislatif, yaitu tetap 30%.

Pemilu 2019 menggunakan metode sainte lague, sehingga semakin banyak suara semakin banyak kursi bagi partai politil. Sedangkan bagi kandidat  individual, suara terbanyak menjadi dasar  untuk bisa menduduki kursi yang disediakan oleh partai politik.

Pemilu 2019 nanti ada rencana penambahan dapil dan jumlah kursi, yakni dari 500 menjadi 575 kursi. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi penambahan jumlah caleg perempuan.

Kendala

Banyak problem mengapa keterwakilan perempuan sulit direalisasikan di negeri ini, terutama dalam lima tahun mendatang. Problemnya tidak hanya persoalan aturan atau undang-undang saja. Tapi, persoalan kesetaraan gender ini juga terkait dengan budaya, perspektif, dan perilaku.Tidak hanya dari kaum laki-laki, tapi juga terkait dengan kaum perempuan sendiri. Meski harus diakui, akhir-akhir ini sudah banyak sekali aktivisaktivis dari feminis laki-laki yang ikut memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Mereka tersebar di berbagai lini, hingga sampai ke figur kiai, seperti KH Husain Muhammad (Cirebon).

Namun, kadangkala banyak yang mempertanyakan; bukankah yang mengetahui secara persis kebutuhan kaum perempuan adalah kaum perempuan sendiri. Belum tentu kaum laki-laki bisa merasakan problem yang dirasakan oleh kaum perempuan.Makanya wajar jika untuk mewujudkan hak-hak kaum perempuan harus dilakukan oleh kaum sendiri.

Kaum perempuan harus terlibat dalam merumuskan hingga membuat kebijakan atau keputusan, baik dalam konteks keluarga hingga konteks negara. Salah satu cara agar bisa ikut membuat kebijakan adalah masuk dalam lembaga negara, terutama dalam hal ini adalah menjadi anggota parlemen.

Di lembaga negaralah semua kebijakan yang terkait dengan publik akan diputuskan. Harapannya, jika kaum perempuan ikut menentukan keputusan di lembaga negara maka keputusan yang dihasilkan tidak akan menyepelekan kaum perempuan. Harapan yang lebih besar adalah bagaimana kebijakan yang dibuat bisa mengakomodasi kepentingan kaum perempuan, yang selama ini dianggap masih dipinggirkan (terpinggirkan).

Untuk mewujudkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan kaum perempuan memang tidak semudah membalikkan tangan. Banyak persoalan yang membelitnya, baik terkait dengan struktur ataupun kultur.

Pemilu  2019 adalah pemilu keempat sejak pemberlakuan kebijakan affirmative action. Berbagai upaya telah dilakukan agar kebijakan tersebut bisa mengangkat keterwakilan perempuan di legislatif minimal 30 persen. Namun, berbagai tantangan menyebabkan keterwakilan perempuan di legislatif baru tercapai 20 persen (jika ditambahkan dengan pergantian antar waktu). Berbagai kendala menghadang keterwakilan perempuan seperti yang diamanatkan UU. Kendala-kendala tersebut antara lain:

- Regulasi cenderung stagnan karena minimnya komitmen partai untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan, Kalaupun ada, hanya kepada orang yang mendapat privilese dari ketua parpol.

- Gairah perempuan untuk mencalonkan diri dan bertarung dalam Pemilu 2019 cenderung menurun.

- Regenerasi perempuan di partai politik baik sumberdaya manusianya atau perspektifnya mandeg.

Menurut Sri Budi Eko Wardhani, dosen FISIP UI telah terjadi kemandegan dalam transfer of knowledge tentang apa pentingnya affirmasi politik bagi perempuan.  Generasi baru rata-rata adalah generasi yang tidak tahu mengapa perlu afirmasi politik, sehingga perjuangannya bukan atas nama perjuangan afirmasi politik tetapi hanya perjuangan atas nama partai politik saja,” ujarnya.

- Di kalangan masyarakat Indonesia masih terdapat pemahaman bahwa kaum laki-laki lebih pantas dijadikan pemimpin, termasuk di DPR.

- Problem ketidakpercayaan diri dari kaum perempuan kepada kaumnya sendiri ini membuat semakin rumit karena masih ditambah dengan problem- problem lain. Misalnya, masih banyak perempuan yang memandang bahwa politik adalah sesutau yang kotor, wilayah keras, dan penuh dengan tipu muslihat.

Perspektif seperti ini tentu menjadi kendala tersendiri bagi keterwakilan perempuan dalam politik. Perempuan yang seperti ini tentu akan menolak jika diminta masuk ke politik, karena umumnya perempuan seperti ini berkarakter lembut. Padahal, dalam dunia politik tidak mesti harus dengan dunia kotor dan tipu muslihat.

- Selain itu, budaya patriarkhi tampaknya masih terpatri di setiap keluarga.Kaum ibu akan mengikuti segala keputusan yang menjadi pilihan kaum bapak, termasuk memilih partai politik hingga calon legislatifnya.

Ringkasnya, kaum perempuan di Indonesia belum bisa mandiri untuk menentukan segala pilihannya. Dalam keluarga, kaum perempuan masih selalu harus mengikuti segala keputusan yang dibuat oleh orang laki-laki. Tidak seperti di negara-negara yang sudah maju sistem dan kultur demokrasinya, seperti Amerika Serikat.

Di negeri Paman Sam itu banyak keluarga yang memiliki pilihan berbeda saat memilih calon presiden. Lebih hebatnya lagi, mereka tetap bisa hidup rukun dan berdampingan seperti tidak ada permasalahan.Budaya patriarkhi yang masih terjadi di negeri ini tentu juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi partai politik dalam mengajukan calon legislatifnya.Tentu, partai politik tidak akan mengajukan calon legislatif hanya dengan mempertimbangkan jenis kelaminnya.

Bahkan, bisa saja partai politik merasa lebih aman jika mengajukan kandidat laki-laki daripada kandidat perempuan. Penyebabnya, peluang calon legislatif dari kaum laki-laki lebih besar di tengah budaya patriarkhi yang masih terpatri.

Dua paradigama, yaitu perempuan yang tidak percaya diri dan partai politik yang lebih suka mengajukan kaum laki-laki dalam politik, tentu harus segera diluruskan.Satu sisi kaum perempuan harus maju dan percaya diri untuk masuk dalam dunia politik. Kalau selama ini ada pandangan bahwa dunia politik itu kotor juga harus diluruskan. Politik menjadi baik atau buruk buruk tentu tergantung pemainnya.

Tergantung siapa yang berperan dan mengendalikannya. Politik akan menjadi sebuah permainan yang kasar dan kotor apabila diperankan oleh orang-orang yang kasar dan tidak bersih.Politik juga akan menjadi kotor apabila dimainkan dan dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bersih.

Begitu juga sebaliknya, politik akan menjadi permainan bersih dan lembut jika dimainkan oleh orang-orang yang tidak kotor dan memiliki karakter tidak keras.Untuk itu, di masa mendatang dunia politik harus diisi oleh orang-orang yang bersih sehingga kita mampu membalikan fitrah dari makna politik.

Politik disinyalir berasal dari kata polis, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris, sehingga lahir kata polite yang berarti sopan atau santun.Arti harfiyah inilah yang mengandung makna bahwa politik seharusnya selalu mengedepankan kosopansantunan.Dalam konteks seperti itu, maka siapa pun bisa ikut mengatur negara yang tentunya harus dilandasi dengan sopan santun. Tanpa melihat apakah si pengatur itu laki-laki atau perempuan

Ikuti tulisan menarik Yatini Sulistyowati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler